Catatan Redaksi:
Bapak Nicholas Suhadi, salah seorang umat yang banyak berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan Gereja tingkat Paroki berpulang ke Rumah Bapa pada 23 Oktober 2012 setelah 11 minggu menderita stroke. Sabitah berterima kasih kepada Ibu Fransisca, istri dari Alm. Bpk. Nicholas Suhadi yang berkenan membagikan pengalaman pergumulan imannya dari sejak menemani suaminya di rumah sakit hingga sekarang.
“Kamu adalah emas bagiku. Jatuh ke dalam lumpur apa pun, akan tetap berkilau,” itulah kata-kata yang terus saya ingat, kata-kata yang memancar dari lubuk hati suami saya yang terdalam. Siapa sangka, kata-kata itu akan menjadi warisan kenangan manis dan indah buat saya dari suami terkasih?
Saya, Fransisca, istri dari almarhum Nicholas Suhadi. Suami saya memang seorang aktifis di Paroki Trinitas, Cengkareng. Banyak waktu luangnya dihabiskannya untuk menjadi pelayan Gereja sebagai Ketua Lingkungan, Ketua Panitia APP, Prodiakon, hingga yang terakhir ia terlibat intens dalam Panitia Pembangunan Gereja (PPG) Santa Maria Imakulata. Sejak pagi di hari Minggu, 07 Agustus 2011, suami saya memang ikut Tim PPG yang sedang menggalang dana di Paroki Santa Maria, Tangerang. Pada siang menjelang sore hari itu, rencananya kami akan ke Paroki Trinitas untuk Misa bersama. Masih kami bersiap-siap, tiba-tiba suami saya katakan: “Pusing…,” dan “Kena stroke….., kena stroke….” dan memang, suami saya terkena stroke. Kami lalu membawanya ke RS Pantai Indah Kapuk. Di sana dokter tidak dapat berbuat banyak. Saya panik, saya tidak tahu yang sebaiknya dilakukan. Semuanya serba gelap, semua serba tak dapat dipikirkan. Saya bingung, sungguh-sungguh bingung.
Tuhan tidak tinggal diam. Tengah malam, ada seorang Bapak yang datang, menenangkan saya dan memeluk saya: “Bu Sisca, tenang… tenang….” Dari saat itulah Tuhan bekerja. Dia kirim malaikat-malaikatNya untuk saya, dan itu memang saya rasakan sekali. Malam menjelang pagi buta, suami saya dipindahkan ke RS Siloam Karawaci dan langsung dilakukan operasi otak. Di sela kebingungan saya, hanya doa yang mampu saya panjatkan kepada Tuhan: “Ya, Tuhan, saya mau melakukan yang terbaik bagi suami saya. Saya mengharapkan kesembuhan, saya akan perbuat apa pun yang diminta kepada saya, akan saya lakukan, Tuhan. Saya mau yang terbaik untuk suami saya.”
Suami saya memang sedang terlilit masalah berat. Dia mengalami stress panjang karena kena tipu usaha yang dirintisnya bersama sahabatnya. Uang habis, hutang banyak, bahkan sertifikat rumah pun telah digadaikan. Suami saya sungguh bingung, tapi memendam segalanya dalam dirinya sendiri. Itulah penyebab utama serangan strokenya.
Selama 10 minggu 3 hari suami saya dirawat di RS Siloam Karawaci. Dari ruang ICU, lalu dipindah ke ruang High Care dan lalu di ruang rawat biasa. Orang-orang katakan “masuk ke rumah sakit”, tapi saya katakan “masuk ke rumah pertempuran.” Saya mulai bertempur bersama suami saya dan untuk suami saya. Saya mau menang. Saya ingin terjadi mujizat dari Tuhan. Dalam setiap doa saya, dalam setiap hari saya, saya ada terus menemani suami saya. Ternyata Tuhan begitu memperhatikan saya. Setiap hari iman saya terus bertumbuh. Sungguh, saya merasakan kasih Tuhan. Di saat saya merasa kebingungan, di saat saya merasa kesusahan, Tuhan memperhatikan saya. Ternyata Tuhan sangat sayang kepada saya. Saya diingatkan untuk selalu harus tegar dan kuat, untuk selalu ingat anak-anak. Campur tangan Tuhan sungguh luar biasa untuk keluarga saya.
Suami saya terus bergelut melawan penyakitnya. Ia tak bisa berkata-kata, tetapi ia bisa merasakan kehadiran istri dan anak-anaknya, teman-temannya, dan sanak famili yang datang. Ia memang tergeletak, tetapi ia merasakan semuanya. Hatinya masih mendengar dan juga merindukan kehadiran teman-temannya, karena mungkin ia takut, benar-benar takut untuk menghadapi maut. Sering saya berbisik di telinganya: “Pi, jangan takut, Tuhan besertamu, Pi, pokoknya percaya saja.” Saya pun tak lepas dari mengalami kasih Tuhan yang luar biasa. Saya tidak rela melepaskan suami saya begitu saja, tapi Tuhan membawa saya pada kesiapan untuk menerima apa pun yang digariskan olehNya. Bahkan dalam kesesakan luar biasa yang saya alamai berkali-kali, Tuhan selalu ada menemani, Ia datang dan berkata kepada saya: “Sisca, jangan takut. Aku memberikan kuk kepadamu, pikullah kuk yang Kuberikan kepadamu itu.” Saya tahu bahwa kuk yang Tuhan berikan kepada saya tidaklah saya pikul sendiri, tetapi saya ada bersama-sama dengan Tuhan yang membantu memikulnya. Tuhan ada beserta saya selama suami saya bergelut dengan keadaannya. Tuhan ikut menanggung beban yang kami sekeluarga alami.
Benang kusut permasalahan yang dihadapi suami saya sekarang ada di tangan saya. Saya harus menguraikannya satu per satu. Sungguh, Tuhan benar-benar ada dan menolong selalu. Modal saya hanyalah percaya pada penyelenggaraan kasihNya setiap hari buat saya sekeluarga. Masalah sertifikat rumah yang tergadai bisa diselesaikan dengan cepat karena Tuhan mengirimkan malaikat penolong tepat waktu. Saya dapat dengan mudahnya memperoleh pinjaman uang yang sungguh besar jumlahnya dari sesama umat Trinitas. Kalau bukan Tuhan yang bekerja dan mengatur segalanya, apakah mungkin saya sedemikian dipercaya?
Saya boleh katakan bahwa saya bertahan karena iman. Saya tidak tahu apa lagi yang harus saya perbuat, tetapi saya punya Tuhan yang luar biasa. Banyak kejadian di rumah sakit yang saya alami yang tak lepas dari mukjizat Tuhan. Mungkin sebagian orang mengharapkan suami saya mendapatkan mukjizat kesembuhan, tetapi bagi saya, mukjizat yang saya dapat adalah mengalami segala kebesaran Tuhan lewat segala hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya yang bisa terjadi, seperti yang dikatakan di dalam Injil: “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37). Rasanya tidak mungkin, tidak akan bisa terjadi, tidak ada jalan untuk itu. Tetapi bagi Tuhan, Tuhan benar-benar memberikan mukjizat dalam setiap kejadian yang saya alami. Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Selama suami saya di rumah sakit, terus terjadi mukjizat-mukjizat di depan mata saya.
Biaya rumah sakit yang tidak sedikit dapat tertutupi dari uluran kasih dan keprihatinan dari sahabat, saudara, dan teman seiman. Dukungan moril dan materil serasa tak henti mengalir bagi kami setiap harinya, membuat saya mampu terus bertahan dan berjuang untuk suami saya. Seakan Tuhan sudah merancang segalanya, anak perempuan saya yang sedang studi di luar negeri pun mendapat kesempatan untuk dapat berkumpul bersama ayahnya di saat-saat terakhir.
Saya tahu suami saya sudah ingin kembali ke keluarga, tempat ia merasakan kehangatan dalam rumah dengan ditemani oleh anak-anak. Mukjizat luar biasa dirancang Tuhan supaya suami saya bisa ada kembali di rumahnya, berkumpul bersama istri dan anak-anaknya sebagai satu keluarga. Teman-teman yang tak sempat menjenguk ke rumah sakit, begitu juga sanak saudara semua bisa hadir berkunjung. Suami saya tahu bahwa teman-temannya datang menjenguk, di situlah saya merasakan sentuhan kasih Tuhan yang luar biasa. 4 hari penuh kenangan manis diizinkan Tuhan terjadi pada kami sekeluarga. Bahkan Tuhan memberikan waktu indah buat saya dan suami saya untuk merasakan kembali kehangatan dan cinta kasih kami sebagai pasangan suami-istri yang diberkati Tuhan. 2 malam saya sempat tidur berdua dengan suami saya yang sudah kritis di ranjang yang sempit. Saya peluk dia erat-erat dan katakan padanya: “Pi, biar Papi sudah sekarat, saya tetap mencintai Papi sampai mati. Jangan takut, Pi, saya ada di sisimu selalu.” Itulah bentuk kasih yang masih bisa saya ungkapkan dan berikan kepada suami saya, tanda saya ingin terus menepati janji perkawinan saya padanya dan pada Tuhan.
Kalau pada akhirnya suami saya harus pulang ke Rumah Bapa tepat di minggu ke-11 pertempurannya, saya anggap itu sebagai suatu kemenangan iman yang luar biasa. Suami saya telah lama berjuang untuk dapat sampai ke garis akhir, dan sekarang, ia telah mencapai garis akhir dengan tetap memelihara imannya. Tuhan tidak meninggalkan kami. Dia terus bekerja dengan mencengangkan. Saya dan anak-anak melihat betapa ajaib Tuhan itu. Betapa sayang Tuhan pada kami. Begitu banyak teman-teman yang datang melayat dan yang menemani kami selalu. Begitu banyak yang peduli dan ulurkan tangan membantu kami dalam banyak hal. Itulah bentuk kehadiran Tuhan yang saya rasakan selalu sampai sekarang.
Tuhan katakan: “Jangan takut, Aku besertamu.” Itulah yang perlu selalu kita percaya dan imani. Itulah yang saya dapat rasakan selama saya berperang, bergumul, berjuang, dan menemani suami saya hingga ia berpulang. Selamat jalan, suamiku. Semoga Papi bisa menjadi pendoa bagi kami semua yang masih berziarah di dunia ini. Papi jalan dulu, Tuhan akan selalu menyertaimu. Dan kami di sini, semoga engkau selalu mendoakan kami. (Bersambung)
Sumber: Majalah Sabitah Edisi 54, Maret-April 2012