Featured Image Fallback

Hari Minggu Saatnya Keluarga Ber-Ekaristi

/

Seksi Komsos

Keluarga adalah sebuah komunitas Gereja dengan jumlah anggota yang kecil dan menjadi pilar penting dalam pembangunan Gereja.

Pada suatu hari Minggu saya mengikuti perayaan Ekaristi yang dimulai pukul 08.00 di Gereja St. Ignatius Waibalun, Flores Timur.  Di depan gereja saya berjumpa dengan seorang bapak, namanya Polus, biasa saya sapa Om Pou.  Orang-orang di daerah kami memang suka mempersingkat nama karena leih mudah diingat dan menjadi motif tersendiri bagi masyarakat sekampung, misalnya Polus menjadi Pou, Petrus menjadi Pite, Yakobus menjadi Kobu, Antonius menjadi Tony, dan Maria menjadi Mia.

Penyingkatan nama ini sejalan dengan tipikal masyarakat yang cenderung memilih hal-hal yang singkat, yang langsung ke titik sasar atau inti persoalan.  Oleh sebab itu, jika khotbah pastor terlalu panjang dan tidak menyentuh inti persoalan pasti akan menuai protes. 


Kembali ke cerita.  Pandangan Om Pou jauh ke timur.  Ia sepertinya sedang menanti seseorang yang datang dari arah matahari terbit.  Saat itu lonceng gereja sudah berdentang tanda perayaan Ekaristi segera dimulai. “Om Pou belum masuk?” tanya saya.

“Aduh, saya masih menunggu Rio yang pulang lagi untuk ganti sepatu,” jawabnya. Rio adalah anaknya yang akan menerima Komuni Suci.  “Dia lihat teman-temannya memakai sepatu.  Jadi ia paksa mamanya untuk pulang menemaninya agar bisa menukar sandal dengan sepatu,” lanjutnya.

Om Pou harus menunggu Rio dan ibunya karena perayaan Ekaristi pagi itu dikhususkan untuk orangtua dan anak-anak yang akan menerima Komuni Pertama.

Tak lama berselang, Rio muncul dari arah timur bersama ibunya.  Om Pou harus menunggu karena di dalam gereja, ayah dan ibu harus duduk mendampingi anaknya di tempat yang sama.  Ini sudah menjadi suatu ketetapan bagi orangtua dan teristimewa bagi anak-anak yang akan menerima Komuni Pertama.

Posisi duduk seperti ini sebenarnya menjadi suatu model pembinaan sendiri bagi orangtua dan anak-anaknya.  Dalam homili, terkadang pastor mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana, entah berkaitan dengan Ekaristi atau menghayatan iman.  Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada anak-anak, tetapi juga orang tua.  Diharapkan agar pada saat yang sama orangtua dapat mengarahkan anak-anaknya untuk semakin beriman kepada Yesus.

Dalam praktiknya, anak-anak terkadang lebih senang bermain dengan teman-temannya.  Hal ini bisa mengganggu konsentrasi orangtua dan umat lain.  Sejauh yang saya lihat, senakal apa pun perilaku anaknya, orangtua yang berada di samping kiri dan kanannya sebaiknya dengan sabar mengarahkan sang anak untuk kembali berkonsentrasi.

Memang, kesabaran orangtua sangat dibutuhkan.  Anak-anak yang masih bayi, yang juga turut serta dalam perayaan Ekaristi kadang lebih merepotkan.  Namun, ibu-ibu paling pandai mengatasi bayi menangis.  Kalau direfleksikan dengan baik, kita bisa menyimpulkan bahwa di balik tindakan orangtua ini ada cinta kasih.  Cinta kasih yang menjelma dalam tindakan manusiawi.

Pengalaman orang tua pergi ke gereja pada hari Minggu bersama anak-anaknya memang tidak hanya terjadi di paroki tertentu, tetapi menjadi satu kekhasan yang patut dibanggakan untuk Gereja Katolik di mana saja.  Di beberapa kota besar, seperti di Jakarta atau Surabaya, hal ini juga menjadi warna tersendiri.  Orangtua dan anak-anaknya pergi ke gereja untuk merayakan Ekaristi pada hari Minggu merupakan suatu hal yang membanggakan dan harus dipertahankan.

Namun, seturut perkembangan zaman, perlu diakui bahwa terkadang nilai-nilai pendidikan yang humanis mengalami benturan dengan pola hidup instan yang tidak lepas oleh pengaruh perkembangan teknologi sehingga tidak heran kalau pendidikan yang harus dilakukan oleh manusia justru digantikan oleh teknologi.

Dengan adanya perkembangan teknologi, terkadang ruang antara yang sakral dan yang profan terpaksa harus luntur.  Batas antara yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat sakral pun kian terkoyak.

Saya mempunyai pengalaman sederhana ketika menghadiri perayaan Ekaristi di beberapa paroki di Surabaya.  Terkadang pada saat perayaan Ekaristi sedang berlangsung, ada segelintir umat yang mengeluarkan BlackBerry dan mulai asyik bermain dengan BlackBerry-nya.  Tidak hanya anak-anak, orang tua pun melakukannya.  Ketika anak-anak melihat perilaku orang tuanya seperti itu, tidak mengherankan kalau anaknya kemudian meniru tindakan orangtua.  Malah ada orang tua yang memperbolehkan anak-anaknya bermain dengan Facebook, Twitter, atau situs lainnya agar tidak ribut di dalam gereja.

Hal ini menjadi gambaran bahwa suatu pola pendekatan yang seharusnya dilakukan secara manusiawi digantikan oleh sarana teknologi.  Suatu tanggung jawab seharusnya dilakukan oleh orangtua pun malah digantikan oleh orang lain.  Gaya hidup seperti ini memang tidak dipraktekkan oleh semua orang.  Namun, praktek hidup seperti ini juga tidak banyak dikritik oleh Pastor Paroki.  Boleh jadi hal ini dilihat sebagai hal yang normal dan biasa.  Jika tidak waspada, segi bahaya dari yang biasa-biasa ini bisa membawa dampak yang negatif.

Pengalaman-pengalaman ini memang harus mendapat perhatian serius dari Pastor Paroki dan dari Lingkungan umat.  Kerjasama yang baik memang sangat dibutuhkan untuk kemajuan Gereja.  Di sini perlu ditekankan lagi bahwa hari Minggu semestinya menjadi hari khusus bagi anggota keluarga untuk bersatu dalam iman di dalam perayaan Ekaristi.

Bagi suami dan istri, kesempatan ini menjadi kesempatan untuk memperbaharui janji pernikahan dan mempererat relasi yang sudah disatukan oleh ikatan cinta.  Selain itu, ini menjadi suatu kesempatan untuk mempersembahkan seluruh anggota keluarga dalam bimbingan Tuhan.  Andai karena kesibukan selama hari kerja dan waktu untuk keluarga lebih banyak tersita sehingga anak harus diurus oleh orang lain, maka pada hari Minggu seluruh waktu menjadi milik keluarga.

Pastor Paroki atau juga Pastor Pemimpin Perayaan Ekaristi perlu memanfaatkan momen kebersamaan ini untuk membangun keutuhan Gereja yang dimulai dari Lingkungan keluarga dengan berbagai tanggung jawab yang harus dipikul orangtua dan anak-anak.  Berbagai kebijakan pastoral yang lahir dari musyawarah bersama umat hendaknya memberikan langkah-langkah taktis dan cerdas dalam menjawab kebutuhan umat, termasuk juga pembinaan kaum muda dalam menentukan pasangan hidup dengan latar belakang agama yang sama, sebab akan agak sulit berbicara tentang kebersamaan sebagai satu keluarga di dalam perayaan Ekaristi jika suami datang ke gereja tetapi sang istri harus ke tempat ibadah yang lain. (Bill Halan)

(Sumber: Rubrik Ekaristi, Majalah Utusan, No. 03, Tahun ke-63, Maret 2012)

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Tantangan Keluarga Katolik di Zaman Sekarang

/

Seksi Komsos

Romo Alexander Erwin Santoso, MSF, Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta, beberapa waktu yang lalu sempat bertandang ke Gereja Stasi Santa Maria Imakulata untuk ...
SELENGKAPNYA