Menyediakan tempat sampah, memilah, dan memanfaatkan sampah adalah sebuah usaha bertobat dari dosa ekologis. Menjelang Masa Prapaskah, baik bagi umat Katolik untuk bertobat dari dosa-dosa ekologis.
Gereja Katolik memaknai Masa Prapaskah sebagai masa pertobatan yang ditandai dengan pantang dan puasa. Biasanya pertobatan itu dipahami dan dilakukan dalam konteks hidup pribadi dan hidup sosial, serta hidup berdampingan dengan alam. Berikut ini pendapat Koordinator Gerakan Hidup Bersih dan Sehat Keuskupan Agung Jakarta yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Pastor Al. Andang L. Binawan SJ mengenai pertobatan ekologis dan sampah.
Apa arti pertobatan ekologis?
Pertobatan ekologis adalah pertobatan manusia dalam kaitan dengan lingkungan hidupnya. Ketidakpedulian manusia pada alam menimbulkan dosa ekologis. Karena itu, bertobat dari dosa ekologis berarti berbalik menjadi peduli.
Bagaimana istilah itu muncul?
Kata ’pertobatan ekologis’ dalam khazanah Gereja Katolik memang baru populer sejak Paus Yohanes Paulus II. Ia menyatakan secara eksplisit dalam sambutannya pada 17 Januari 2001. Paus Yohanes Paulus II juga pernah menyatakan hal yang sama dalam sambutan dalam rangka Hari Perdamaian Dunia, 1 Januari 1990. Ia mengingat kerusakan bumi dan lingkungan hidup yang makin parah. Paus Yohanes Paulus II mengajak umat Katolik untuk lebih peduli pada alam, bukan hanya pada manusia saja.
Lalu, Paus Benediktus XVI melanjutkan semangat itu. Bahkan, banyak pihak menjulukinya sebagai ’Paus Hijau’. Memang Paus Benediktus XVI banyak membuat pernyataan tentang keprihatinan dan kepedulian pada lingkungan hidup. Dalam ensiklik Caritas in Veritate (2009), pada bab ke-4, Paus menyebut dengan sangat eksplisit masalah lingkungan hidup.
Apakah Paus hanya berteori?
Tentu tidak. Secara nyata, Paus menunjukkan pertobatan ekologis itu. Atap perkantoran kepausan di Vatikan diubah dengan atap yang bisa mengubah panas matahari menjadi listrik. Paus juga secara khusus meminta Vatikan memelihara hutan seluas 6.000 hektar di Hongaria untuk mengimbangi karbon yang dihasilkan oleh Vatikan.
Apa penyebab dari dosa ekologis?
Jika disimak lebih jauh, ketidakpedulian manusia pada alam terkait dengan kemalasan. Udara, air, dan tanah menjadi kotor, bahkan pada akhirnya rusak. Kerusakan yang dimaksud di sini adalah bahwa baik udara, air, maupun tanah tidak lagi bisa mendukung hidup manusia dengan baik. Sangat jelas, hal itu tidak akan terjadi jika manusia tidak malas untuk memperhatikannya.
Lebih jauh, keserakahan manusia juga menjadi sebab utama dari kerusakan lingkungan. Tak perlu banyak dijabarkan, orang gampang melihat bagaimana manusia, terutama manusia modern, yang dibekali dengan peralatan teknologi merusak alam. Hal ini paling tampak dalam usaha pertambangan dan perkebunan besar.
Apakah umat Katolik juga serakah dan tidak peduli?
Keserakahan itulah yang kiranya membuat manusia, khususnya orang Kristen (termasuk Katolik tentunya), menafsirkan perintah Tuhan untuk ‘berkuasa atas alam’ (Kej. 1: 28) sebagai pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kelangsungan dan kenikmatan hidup manusia saja. Padahal, jika dilihat konteksnya, yang dimaksudkan dengan ’berkuasa’ adalah ’menjaga’.
Lalu, bagaimana agar pertobatan ekologis itu diwujudkan
Sebenarnya, dibanding makhluk lain, manusia adalah makhluk istimewa. Ia dibekali akal budi dan hati. Dalam hubungannya dengan yang lain, manusia perlu memanfaatkan kelebihannya itu untuk memelihara semua supaya bisa saling menghidupi.
Maka, ada dua pemahaman dasar tentang pertobatan ekologis. Pertama, manusia harus mengatasi kemalasan dan keserakahannya. Manusia harus berusaha untuk tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pusat ciptaan. Bukan hanya manusia yang harus hidup. Benar, manusia istimewa, tetapi makhluk lain juga punya hak hidup. Pertobatan berarti menghargai makhluk lain, juga bumi, bukan sekadar sebagai alat bagi manusia.
Kedua, menjaga keseimbangan. Maksudnya, setiap ciptaan Tuhan, baik makhluk hidup maupun tidak hidup, telah disusun saling berkait dengan sempurna. Keserakahan manusia bisa menyebabkan keseimbangan kehidupan menjadi rusak. Karena itu, pertobatan manusia berarti juga mengembalikan keseimbangan ini.
Bagaimana hal ini diwujudkan?
Pertobatan adalah aksi positif, bukan sekadar sesal. Pun, sebuah pertobatan radikal biasanya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dibutuhkan upaya terus-menerus untuk mewujudkannya. Untuk ini, pertobatan perlu diwujudkan dalam tiga bentuk yang akan saling mendukung.
Pertama, pertobatan personal. Pertobatan ini dilakukan secara pribadi berdasar niat pribadi. Lebih peduli pada sampah dengan tidak membuang sembarang, melainkan menaruh dan memilah sampah adalah salah satu contoh. Yang diharapkan bukan sekadar pertobatan yang sekali-sekali saja dilakukan, tetapi diharapkan membentuk habitus atau suatu kebiasaan yang mendarah daging.
Kedua, pertobatan struktural. Artinya, pertobatan yang dilakukan suatu komunitas, entah itu komunitas kecil atau besar, baik lingkungan maupun paroki, bahkan juga keuskupan. Contoh lain adalah suatu paroki yang menyediakan tempat sampah dan ‘kontrol’ yang lebih ketat tentang pengelolaan sampah di kompleks gereja. Kerjasama yang intensif tentang kepedulian ini dengan komunitas lain, asal berkelanjutan, bisa juga jadi contohnya.
Lalu, ketiga, bentuk pertobatan yang lebih bersifat simbolis. Membuat pohon atau kandang Natal dengan botol minuman bekas adalah contoh bentuk ini. Hal ini lebih bersifat mengingatkan dan menggugah kesadaran. Bahkan, menanam pohon di kompleks gereja pun bisa masuk kategori simbolis, karena yang diharapkan adalah dampak yang lebih luas, tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Kemudian, hal yang perlu ditindaklanjuti adalah kontekstualisasi. Artinya, bagaimana menemukan bentuk pertobatan yang paling sesuai dengan konteks setempat. Usaha bertobat pada Masa Prapaskah untuk bisa menaruh sampah pada tempatnya mungkin tidak terlalu relevan di Kalimantan yang lebih membutuhkan kepedulian pada hutan. Diharapkan, pilihan nyata pertobatan itu bisa berdampak secara nyata.
Maka, untuk menemukan bentuk pertobatan yang kontekstual, dukungan studi yang bersifat komuniter, entah bersama, entah perwakilan akan sangat berguna. Suatu studi yang lebih luas dan mendalam akan mendasari suatu tindakan pertobatan lebih kokoh. Pun, dengan itu, semoga pertobatan ekologis menjadi lebih bermakna!
(Sumber: Maria Pertiwi – hidupkatolik.com, Senin, 12 Maret 2012)