Elizabeth Deny Retno Putri atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Lisa A. Riyanto adalah artis penyanyi ibukota yang tak asing lagi. Lahir 6 September 1975 sebgai anak bungsu A. Riyanto – pencipta lagu dan pentolan grup band The Favourite’s yang berjaya di Nusantara di tahun 1970-an – Lisa memang kental mewarisi bakat seni ayahnya. Buktinya adalah 5 album lagu yang dihasilkan ibu muda berputera satu ini yang cukup mendapat sambutan penggemarnya. Belakangan, Lisa terkesan meninggalkan dunia selebriti yang menjanjikan dan malahan aktif melayani di jalur rohani. Mengapa demikian?
“Pertama-tama, saya menyanyi memang bukan untuk mengejar penghasilan, tetapi karena darah seni kental mengalir dalam keluarga saya. Kalau ditanya awal mula saya terjun di jalur rohani, itu adalah di tahun 1995, saat saya diminta untuk mengisi penutupan acara kaum muda di Kalimantan. Waktu itu, Panitia menghubungi saya karena mengetahui saya seorang Katolik. Sejak itulah saya mulai melayani di jalur rohani. Saya pun terus mengikuti arah tuntunan Tuhan untuk terus berkiprah di jalur rohani. Terus terang, hingga sekarang saya belum bisa berbuat banyak untuk berterima kasih pada kemurahanNya pada saya, dan saya pikir inilah salah satu bentuk rasa syukur saya pada Tuhan,” terang Lisa yang ditemui di sela-sela waktunya menanti giliran naik panggung menghibur pengunjung Expo Panggilan di Paroki Cengkareng.
Lisa, pelantun lagu “Ave Maria” ciptaan Pance Pondag di album rohani Lisa “Ave Maria”, menilai bahwa panggilan khusus itu adalah dorongan yang kuat sekali yang memang asalnya dari Tuhan yang terus menuntun untuk melangkah ke arah yang ditentukanNya. “Memang tidak semua orang mendapat panggilan khusus, karena hal itu adalah suatu anugerah yang luar biasa.” Di matanya, panggilan Tuhan itu bukan hanya menjadi seorang biarawan/biarawati, tetapi juga dapat berupa menjadi seorang dokter, pekerja kantoran, atau juga hidup berkeluarga. “Kalau memang kita merasakan panggilan itu berasal dari Tuhan, maka kita akan dengan sukacita menjalaninya. Kita tak mudah mengeluh dan mudah untuk bangkit kembali saat jatuh, karena kita tahu itu semua berasal dari Tuhan,” terangnya lagi.
Ternyata, Lisa yang mengaku tidak terlalu aktif di Parokinya tetapi masih setia ikut acara Doa Rosario di Lingkungannya ini pernah pula mempunyai keinginan untuk menjadi seorang biarawati. “Dulu, sewaktu saya kecil, saya memang pernah bercita-cita menjadi Suster, selain pernah juga mengutarakan ingin jadi dokter atau guru. Suatu kali, saya menonton di TV yang mengupas kehidupan membiara di Jawa Tengah. Rasanya enak sekali – hidup tenang, kegiatannya macam-macam, tak banyak pikiran, ada kerja sosialnya, banyak waktu berdoa dan punya kebun olahan sendiri. Pokoknya, enak banget! Belakangan, memang keinginan menjadi Suster itu tak terlaksana, tapi walau sebagai awam, saya berkeyakinan saya pun tetap melayani Tuhan dan sesama, terutama di lingkungan keluarga saya.”
Pengalaman mengisi acara-acara rohani sudah tentu membawa Lisa kenal dan mengerti akan kehidupan para imam, baik yang muda maupun yang senior. Apa harapannya pada mereka? “Saya melihat semua imam menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Saya pun melihat sering ada gap (jurang pemisah – red) antara para imam muda dan seniornya atau yang jauh lebih tua umurnya. Sering-seringnya, hal ini mengakibatkan kurang adanya persatuan di antar mereka dan cenderung menimbulkan persaingan. Saya sangat menyayangkan hal ini, karena sebetulnya mereka mungkin kurang berkomunikasi atau ada beda pendapat yang tak diselesaikan. Biasanya, para imam muda lebih maju, sedangkan seniornya atau yang jauh lebih tua umurnya kurang setuju. Mungkin bisa dicoba dicarikan cara agar komunikasi menjadi lancar, karena semuanya kan untuk kebaikan kita bersama juga – baik buat para imam, baik juga buat umatnya. Kalau semuanya aktif, para imam dan suster bersatu dalam pelayanan, tentu semangat kekeluargaannya pun makin akrab,” pesannya menutup perbincangan kami.
(Sumber: Sabitah no. 10, tahun 2004)