Anak kedua dari tiga bersaudara ini dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Ayahnya seorang diplomat yang mengajarkan tentang esensi bertuhan kepada anak-anaknya. Melalui sang ayah, Heidi belajar bahwa Yesus menyayangi dirinya dan keluarganya. Kepada sang ayah, ia merasa lebih dekat. “Ayah sebagai teman,” tuturnya. Ia sempat merasa kehilangan saat ayahnya meninggal.
Sedangkan ibunya, seorang pianis yang tegas dalam mengajarkan kedisiplinan beribadah kepada anak-anaknya. Kedisiplinan beribadah ini telah tertanam dalam diri Heidi sejak kecil.
Harpa yang Menawan
Perempuan kelahiran Bern, Swiss, 45 tahun yang lalu ini, menyukai musik sejak kanak-kanak. Piano menjadi alat musik yang telah akrab dengannya sejak kecil. Hingga suatu hari, di musim salju saat Natal di Swiss, ia mendengar denting harpa yang melambungkan rasa indahnya. Heidi kecil pun terpikat.
Rasa kagumnya terhadap denting harpa, membuat dirinya ingin mempelajari harpa. Ia mengutarakan keinginannya kepada sang ayah. Ia ingat, saat itu sang ayah bertanya, mengapa Heidi ingin memainkan harpa? “Saya menjawab bahwa keinginan itu ada karena di Indonesia tidak ada harpis,”kenangnya. Dengan jawaban itu, keinginannya mempelajari harpa tercapai. Saat ia dan keluarganya pindah ke Bangkok, ia belajar intensif bermain harpa di Bangkok. Usianya saat itu 14 tahun. Ia mendapat seorang guru perempuan asal Belgia.
Saat ada di Indonesia, selepas sekolah menengah atas, ia mempelajari ilmu hukum di Universitas Pancasila. “Hingga tingkat III mempelajari hukum,” tuturnya. Dan kemudian, tahun 1984-1987, ia beralih mempelajari harpa di Kanada.
Saat kembali ke Indonesia tahun 1987, ia sudah diundang untuk mengiringi lagu-lagu Natal dengan harpa. Dan tahun 1988, ia sudah mulai mengajar privat harpa. Ia juga ikut mengiringi pertunjukan musik Erwin Gutawa dan Chrisye (alm). Kepiawaiannya bermain harpa ia kembangkan dengan mendirikan “musical play group” bernama “Bina Bakat Belia”, tahun 1994.
Titik Balik Menuju Pelayanan
Di tahun 1999, istri Glenn Tumbelaka ini memainkan harpa di sebuah gereja Kristen. Saat itu seseorang menegur, mengapa Heidi tak memainkan harpa untuk memuji Tuhan? Heidi tertegun. Selama satu tahun, ia bertanya diri dan bergumul tentang apa artinya memuji Tuhan. Dalam refleksinya ia merasa bahwa dirinya telah memberikan yang terbaik dari kemampuannya bermain harpa. Ia juga sudah berdoa dan melakukan hal-hal yang baik.
Sebuah peristiwa menghantarnya menjawab pergumulan itu. Di tahun 1999, ada orang tua dari seorang anak yang ingin dibuatkan partitur sebuah lagu pujian. Heidi hanya mendengar lagunya lewat CD. Ia masih ingat syair dalam lagu yang berkesan untuknya, “Bapa Engkau sungguh baik….” Dan syair “Kunaikan syukurku,” telah menyentuh hatinya. Lagu itu ia pelajari dengan cepat. “Saya merasa seperti belajar dari anak itu lewat lagu yang dinyanyikan,” akunya.
Di tahun 2000, dalam Misa akbar Yubelium Gereja Katolik di Jakarta, ia diminta mengiringi lagu-lagu pujian dengan harpa. Peristiwa ini menghantarnya mengenal para tokoh Karismatik Jakarta. Ia mengakui bahwa awalnya ia tidak tahu bahwa lagu-lagu pujian yang diiringinya adalah lagu-lagu Karismatik. Ia sempat marah, ketika tahu bahwa lagu-lagu yang diiringinya adalah lagu-lagu Karismatik. Ia teringat tentang larangan untuk dirinya mengenal Karismatik, sebab saat itu ada imej buruk tentang Karismatik. Hal yang sama sempat dialami juga oleh sang suami.
Menurutnya, tahun 2000 adalah titik balik hidupnya. Bertemu dengan para tokoh Karismatik, membuat ia menemukan makna dari pergumulannya. Ia mulai mengerti bahwa memuji Tuhan artinya Allah ditinggikan. Dan bersama keluarganya, ia mengalami perubahan hidup. “Saya merasa bahwa Yesus ada.” Ia merasa ada kasih dan peneguhan diri dalam hatinya.
Ia mengakui bahwa ia sempat ada di persimpangan jalan. Ia harus memilih antara dunia atau Dia. Tetapi kecondongan batinnya ada untuk Dia. Saat berdoa di kamar, ia merasa ada gelap dan terang. “Saya memilih terang,”ujarnya. Peneguhan ini membuatnya tidak ragu-ragu dengan pilihannya hingga sekarang.
Mengandalkan Tuhan
Titik balik itu menghantar hidup Heidi agar tak mengandalkan manusia, tetapi mengandalkan Tuhan. Ia belajar melalui pengalaman konkrit. Contohnya, tentang ketidaktegasannya dalam berelasi. Dulu, ia tak bisa memilih hal yang penting atau tidak penting, juga prioritas dalam pergaulan. Kini, ia bisa menegaskan bahwa yang penting untuknya adalah apakah berkenan atau tidak di mata Tuhan.
Penggemar musik klasik ini merasa bahwa kesombongannya juga diubah. Dulu, ia merasa dimanfaatkan dan dibutuhkan orang. Sekarang, ia merasa membutuhkan orang lain untuk berbagi. Lewat pengalaman konkrit, ia melihat bahwa semuanya harus berubah. “Bila merasa ingin diubah Tuhan, maka harus siap diubah.” Ia merasa bahwa Yesus tidak mencari kelemahan, tapi Yesus mampu mengubah atau menerima apa adanya. Ia menyebut cinta Yesus, “unconditional love”.
Ibu empat anak ini melihat bahwa yang diajarkan Tuhan lewat peristiwa konkrit adalah dengan tidak menghakimi, karena karya Yesus bisa masuk lewat jalan mana saja. Saat ia merasa batinnya kering, lelah, putus asa, juga kelelahan fisik, ia teringat perjalanan Yesus. Hal yang sama juga berlaku untuk relasi suami isteri. Ia tidak melupakan kasih mula-mula.
Heidi pun terlibat aktif dalam PD Elisabeth. Dan sejak 2002, ia menjadi Ketua Imago Dei hingga sekarang. Dalam pelayanannya mengajar anak-anak melalui musik, ia menanamkan nilai agar mereka bisa bersaksi tentang kasih Yesus, melalui perilaku sehari-hari di lingkungan dan sekeliling. Ia mengajarkan anak-anak agar mengandalkan Yesus. Ia juga melakukan kaderisasi tim kerja di Imago Dei Kids.
Pelayanan lain bersama harpanya ia lakukan ke beberapa daerah. Contohnya ke Manado, Kupang, pedalaman Kalimantan, Medan, dan Sumatera. Menurutnya, pelayanan itu membawa kepuasan batin tersendiri. Baginya, itu adalah suka cita. “Jangan pernah takut menyaksikan Tuhan Yesus, bisa dengan apa pun, misalnya musik, kata-kata.” Pelayanan dengan harpa dilakukan juga bersama keluarganya.