Bayangkanlah sekarang sebuah lingkungan kerja yang dihuni hanya oleh manusia-manusi yang pekerjaannya hanya satu: jatuh cinta. Hari ini jatuh cinta pada pekerjaan. Besok jatuh cinta pada diri sendiri. Lusa jatuh cinta pada suami atau istri. Tiga hari kemudian, jatuh cinta pada anak-anak. Hari berikutnya jatuh cinta pada orang tua. Akhirnya, jatuh cinta pada mertua. Singkat kata, lima hari kerjanya diisi penuh dengan jadwal jatuh cinta. Siklus kerja mingguan penuh dnegan warna dan spirit hidup jatuh cinta. Wow… betapa indahnya!
Mari kita mulai dengan jatuh cinta pada pekerjaan. Tidak banyak orang yang bisa hidup tenang tanpa berganti-ganti pekerjaan setiap kali tidak suka. Kalaupun ada orang pintar yang mudah diterima di sana-sini, pada suatu titik ada juga batas kebosanan kegiatan berpindah-indah kerja itu. Tempat kerja yang satu tidak jauh berbeda dengan tempat kerja yang lain. Di tempat kerja mana pun, selalu ada masalah, ada tantangan, ada ketidakcocokan antar-orang, ada konflik, dan deretan hal sejenis. Setelah jadi pengusaha pun, deretan hal tadi akan senantiasa hadir.
Jatuh cinta yang kedua adalah jatuh cinta pad diri sendiri. Orang yang teramat sering jatuh cinta pada dirinya, apalagi senantiasa awas akan bahaya kesombongan, sebenarnya sudah sampai pada titik lebih tinggi dari sekedar bahagia. Kebahagiaan masih dibayang-bayangi oeh kesedihan. Namun, pecinta diri sendiri secara penuh tidak lagi dikejar bayang-bayang kesedihan atau mengejar bayangan kebahagiaan. Bayangan itu sendiri sudha tidak ada karena sudah menyatu dengan sang aku. Tidak ada orang yang lebih beruntung dari orang yang sudah sampai di titik ini.
Di tempat mana pun, di waktu kapan pun, dan bersma siapa pun, ia selalu bercumbu dengan sang aku. Suka duka, sedih bahagia, siang malam, rindu benci, dan dikotomi hidup sejenis, sudah musnah bersamaan dengan jatuh cinta dia pada sang aku. Tidak ada penolakan terhadap sang aku, yang ada hanya penerimaan. Tidak ada keterpaksaaan, yang ada hanyalah sikap ikhlas yang senantiasa mengalir dalam setiap kesempatan. Tidak ada pembandingan, yang ada hanyalah ketulusan untuk melihat bahwa saya ini adalah saya. Nikmat sekali, bukan? Lebih-lebih ongkos ke arah itu tidak terlalu mahal, hanya memerlukan keikhlasan untuk menerima dan kemudian mencintai sang aku. Itu saja.
Memasuki pintu rumah, terutama ketika baru pulang dari tugas luar kota, seperti memasuki gerbang surga. Betapa pun mewahnya hotel tempat kita menginap, betapa pun bersihnya bandar udara yang kita lalui, betapa pun cantik dan gagahnya orang-orang yang ditemui dalam perjalanan, itu semua tetap tidak bisa menggantikan posisi orang-orang di rumah.
Perhatian, kesabaran, dan kesediaan untuk menerima seutuhnya hanyalah hal murah, sederhana, dan dimiliki setiap orang yang bisa menimbulkan hasrat orang lain untuk jatuh cinta pada diri kita. Seperti pernah ditulis Deborah Waitley “To love another is to look at the good” – mencintai berarti melihat aspek baik dari orang lain. Atau, mirip dengan apa yang pernah ditulis Katherine de Burb, “Love has nothing to do with what you are expecting to get – only with what you are expecting to give – which is everything.” – Cinta berkaitan dengan apa yang kita berikan, dan di sinilah letak kebesaran cinta. Kalau demikian, bukankah tak terlalu sulit membuat orang lain jatuh cinta pada diri kita setiap hari?
Sumber: Di Sudut Hati, Anthony Harton, Penerbit Kanisius, 2003