Oleh: Romo F.X. Sudirman, OMI
Pada dasarnya, dalam setiap manusia ada suatu gerakan untuk menjadi semakin besar. Manusia dilahirkan dalam keadaan kecil (bayi) lalu bertumbuh menjadi besar dan semakin besar. Demikian juga dalam kehidupan manusia dewasa, saat memasuki jenjang kerja, misalnya, manusia cenderung untuk menggapai kedudukan yang semakin tinggi atau semakin diakui. Keinginan untuk menjadi besar, diakui, dihormati, bermartabat tinggi, selalu ada menempel pada manusia sepanjang waktu.
Para murid Yesus pun bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Karena hawa nafsu, para murid jadi bertengkar dan cekcok. Begitupun di dunia kita sekarang ini. Karena hawa nafsu, maka perang antar bangsa berkecamuk, lingkungan hidup menjadi rusak, relasi antar manusia menjadi terputus. Marilah kita bersama-sama membaca kembali Surat Rasul Yakobus 3:16 – 4:3. Sudah menjadi jelas di dalamnya, dan sudah menjadi nyata bahwa itulah yang selalu kita temui sehari-harinya.
Kita sering dikuasai hawa nafsu yang membuat kita mudah bertengkar. Kita pun sering salah berdoa, karena doa-doa kita adalah untuk kepentingan diri kita sendiri. Yesus Kristus mengajarkan sesuatu yang lain.
Dia mengajak para pengikutNya – umat Allah – untuk tidak mengenal adanya kedudukan atau jabatan sebagai tujuan martabat seorang pelayan Gereja yang baik. Para murid ditegur dengan halus tapi mengena. Pelayanan harus diberikan tanpa pamrih, senada dengan salib yang harus kita panggul. Kita harus berani menderita untuk memperoleh kemuliaan.
Dia juga meminta kita untuk berlaku seperti seorang anak kecil. Sikap dasar seorang pengikut Kristus bukanlah mempertengkarkan siapa yang lebih tinggi kedudukannya, tetapi berpaham pada budaya persahabatan. Anak kecil adalah manusia polos dan suci. Seorang anak kecil mudah bersahabat dan berteman dengan siapa saja. Itulah yang Tuhan Yesus kehendaki, bahwa kita, para pengikutnya, senantiasa dapat bersahabat dengan siapa saja tanpa memperhitungkan kedudukan dan martabat.