Featured Image Fallback

Hari Ibu di Tahun Imam : Curhat dan Harapan Bunda Seorang Imam

/

Seksi Komsos

Menjadi seorang imam ternyata bukan hal yang mudah, apalagi untuk zaman sekarang ini.  Begitu banyak godaan duniawi menghalang di jalan.  Sulitnya, godaan di zaman yang serba maju ini mengalami transformasi bahkan reformasi, sehingga sangat amat sulit menentukan batas antara wajar dan tidak wajar, antara boleh dan tidak boleh, antara baik dan tidak baik.


Menyambut Hari Ibu yang selalu kita rayakan di bulan Desember, dan mengambil momen Tahun Imam yang dicanangkan oleh Bapa Paus Benediktus XVI, Sabitah mencoba berbincang-bincang dengan Ibunda dari para Imam yang bermukim di Paroki Trinitas – Cengkareng.  Mereka adalah Ibunda Romo Theodora Treka Permonosidi, Pr, Ibunda Romo Cornelius Adi Parditya, OFM Conv, Ibunda Romo Herybertus Managamtua Simbolon, SJ, dan Ibunda Romo Andre Delimarta, SDB.

Mengenai kegembiraan, kekuatiran dan rasa yakin mereka:
“Saya bersyukur sekali anak saya dipercaya Tuhan menjadi imamNya.  Tidak mudah dan tidak semua orang yang mampu melewati tahap-tahap persiapannya.  Tentu saya punya kekuatiran, karena di zaman sekarang ini, jubah bukan lagi menjadi tanda identitas atau jati diri seorang imam jika berada di tempat umum.  Para Romo boleh berpakaian layaknya awam di luar ritual keagamaan.  Jadi, sulit kan bagi awam dan masyarakat umum untuk mengetahui bahwa dia itu seorang Imam Kristus.”

“Godaan-godaan duniawi semakin banyak saja.  Tapi saya percaya bahwa anak saya dapat membawa diri dengan baik dan pada tempatnya.  Saya hanya bisa berdoa dan berdoa setiap harinya.  Saya selalu menyerahkan anak saya kepada Tuhan.  Selain itu, saya juga banyak berkomunikasi dengan anak saya.  Romo itu juga manusia biasa, hanya Tahbisan Imamatnya yang membedakan dia dari umat Tuhan lainnya, jadi Romo juga bisa ‘jatuh’.”

“Karena keterbatasan waktu bertemu, anak saya jarang curhat.  Biasanya, kalau ada sesuatu yang menjadi keluh-kesahnya, maka orang yang dipercaya anak saya, yang diceritakan itu, akan menghubungi saya.  Kalau ada yang dikeluhkan anak saya, maka saya akan membawa keluhan itu ke hadapan Tuhan.”

“Anak saya suka curhat ke saya tentang apa yang dihadapinya.  Kegembiraannya juga kekecewaan dan kesulitan yang dihadapinya sebagai Romo.  Kalau sudah mendengar begitu, saya hanya bisa mengajaknya lebih berserah dan berjalan bersama Tuhan Yang Maha Segalanya.  Jangan dikira hidup sebagai Romo tidak menghadapi konflik, lho.  Suatu waktu, ada juga terjadi konflik terjadi antar sesama Romo yang bertugas di Paroki yang sama.”

“Terkadang saya suka merasa sedih kalau mengetahui anak saya sedang sakit, tetapi saya sebagai ibunya tidak dapat menolong meringankan penderitaannya.”

“Kalau melihat anak saya sedang banyak tugas, kecapekan, kurang tidur, sebagai seorang ibu saya sering sedih dan kasihan.  Tetapi biasanya anak saya yang akan menghibur saya.”

“Saya bersyukur, anak saya tidak terlalu mementingkan materi.  Bagi dia, asal apa yang dibutuhkan sudah tersedia, ya, sudah.”

“Saya sering bertanya pada anak saya kalau saya melihat ada yang terlalu dekat dengannya.  Biasanya saya juga akan mewanti-wanti dia, agar dia tetap menjaga jarak yang wajar.”  

“Saya tahu, menjadi Romo itu menghadapi banyak godaan.  Senjata saya adalah berdoa setiap hari.  Saya juga rajin mengunjungi gua-gua Maria, memanjatkan permohonan saya supaya Bunda Maria selalu melindungi dan mendoakan anak saya.”

“Untuk mengusir kekuatiran saya, biasanya saya banyak berbagi dengan para Romo dan Suster yang sudah senior.  Saya juga banyak membaca untuk memperkaya diri supaya terus mendapat pencerahan.  Saya hanya bisa berpasrah pada Tuhan, karena hanya dengan berbuat demikianlah maka saya tidak merasa kuatir akan anak saya yang menjadi Romo.”

“Sekarang handphone sudah menjadi barang yang tidak mewah lagi.  Salah satu keistimewaan handphone adalah SMS.  Terkadang saya kesal juga kalau melihat anak saya sibuk SMS-an dengan … – mungkin umatnya, ya… – yang kadang-kadang bisa sampai senyum-senyum sendiri.  Nah, kalau sudah demikian, saya akan bertanya, ‘SMS dari siapa itu?  Koq, jadi senyum-senyum sendiri?’  Anak saya tidak menutupi, tapi menerangkan sehingga saya tidak curigaan.”

“Saya sering sedih kalau mendengar cerita anak saya tentang umat yang berani menegur Romonya dengan makian.  Sedih, karena sebagai orangtuanya saja, saya tidak pernah memaki anak saya.  Cobalah kita berpikir begini: bagaimana kalau kita yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba didatangi seseorang dan langsung dimaki dan didamprat.  Selain bingung, pasti hati kita sedih bahkan bisa jadi terluka.  Kalau Romo ada salah, kenapa umat tidak bisa menegur Romo secara baik-baik, sopan dan penuh persahabatan? Romo juga manusia biasa kan….”   

“Saya sungguh percaya bahwa Tuhan yang telah memilih anak saya, Tuhan juga yang akan berjuang untuk anak saya.  Tuhan selalu menolong tepat waktu, jadi kalau ada sesuatu masalah yang sedang dihadapi anak saya, maka saya serahkan saja ke Tuhan.”

Harapan mereka untuk para Romo:
“Kalau mendengar atau mengetahui tingkah laku Romo yang aneh-aneh, hati saya menangis.  Sekarang zaman maju, tahu internet, main facebook, punya handphone adalah bukan sesuatu yang tidak diperbolehkan.  Boleh saja, tapi tetap Romo harus tahu batas dalam mempergunakannya.”

“Semoga Romo selalu mau melayani umat tanpa membeda-bedakan.  Semua dilayani dengan baik.”

“Jangan takut untuk terus maju.  Jangan juga ambil pusing akan apa yang dikatakan umat.  Jangan takut juga mendengar gosip umat tentang Romo.  Hadapi gosip dengan perbuatan, dengan keteladanan.  Hanya dengan demikian umat akan sadar bahwa itu hanyalah gosip, bukan sungguhan.”

“Romo perlu punya batas dan jarak yang pasti.  Akrab dengan umat itu bagus, tapi kalau sampai terlalu akrab, terlalu perhatian… malah menjadi tidak baik lagi.  Sesuatu yang ‘terlalu’ memang menjadi kurang baik, karena dari yang ‘terlalu’ itulah godaan-godaan akan muncul.”

“Kalau saya kuatir akan anak saya, maka anak saya akan katakan: ‘Ma, Tuhan Yesus saja mengalami banyak pencobaan, apalagi kita yang manusia biasa…’  Bagi saya, jawaban anak saya mencerminkan keteguhan dan kemantapan pilihan hidupnya.  Semoga semangat demikian selalu ada dalam diri setiap Romo.”

“Dengarkanlah khotbah Romo.  Jangan selalu mengatakan tidak berisi, membuat ngantuk, dll.  Dengarkan dengan baik dan penuh konsentrasi, pasti ada sesuatu yang Tuhan taruh di dalamnya untuk kita.”

“Terhadap kemajuan teknologi, Romo harus dapat menentukan batasnya sendiri. Dunia ini luas dan tidak terbatas, hanya diri kita sendiri yang mampu menarik garis batas.  Disiplin diri, sampai sejauh mana hal ini berguna bagi Romo, dan sampai sejauh mana hal itu tidak bermanfaat bagi Romo.”

“Romo harus dapat menjaga, mengusahakan, dan berjuang untuk kesucian dan kemurnian dirinya sendiri.  Romo harus mampu untuk berkata ‘tidak’ dan menolak tawaran umat yang berlebihan.”

“Tetap setia pada panggilan khusus ini, karena tidak semua orang punya kesempatan untuk mendapat Sakramen Imamat.  Pandai-pandai menjaga diri, kalau banyak godaan datang, ingatlah bagaimana Romo berjuang untuk sampai pada hari pentahbisan.  Jubah yang Romo kenakan adalah sebuah kebanggaan.  Bertahanlah untuk dapat selalu mengenakan jubah itu.”

“Jangan melupakan jam-jam khusus untuk berdoa dan menyelidiki diri sendiri.  Buatlah komitmen pribadi untuk selalu tidak melupakan persekutuan dengan Tuhan.  Boleh nonton TV, boleh main handphone (SMS maksudnya? – red) atau ngobrol di telepon, tapi semuanya punya batas, dan semuanya harus distop, harus memberi porsi besar untuk selalu berhubungan dengan Tuhan.”

“Semoga Romo bisa lebih kuat, lebih tabah lagi.  Jangan sampai mudah tergoda dan mudah melupakan janji suci di hadapan Tuhan.  Sedih sekali kalau mendengar seorang Romo yang gagal.  Saya saja sebagai orangtua Romo akan sangat terpukul kalau mendengar ada Romo yang gagal, apalagi Tuhan.”

Harapan mereka untuk para umat:
“Umat sekarang menuntut banyak dari Romonya.  Harus pintar khotbah, harus dekat dengan umat, harus ini, harus itu….  Tetapi, saya ingin bertanya kepada umat: apakah umat mendoakan Romonya setiap hari?  Satu kali Salam Maria saja setiap hari, khusus dipersembahkan untuk Romo?  Jadi Romo itu tidak mudah, boleh saya katakan sangat berat.”

“Umat seharusnya mendoakan Romo, bukan menggodanya. Saya sering trenyuh kalau mendengar seorang Romo yang jatuh dan melepaskan Imamatnya hanya karena tergoda lawan jenisnya.  Umat seharusnya menjaga hidup Imamat Romonya dengan mendoakan, karena doa akan memberikan kekuatan kepada Romo.”

“Jangan memanjakan Romo.  Bukan saja memanjakan materi atau perhatian, tapi juga makanan.  Romo hanya punya satu perut, tapi terkadang saya melihat umat memberikan makanan yang melimpah-ruah.  Syukur kalau makanan-makanan itu dapat disalurkan ke yang membutuhkan, seperti misalnya panti asuhan.”

“Ada umat yang sangat amat memperhatikan Romonya untuk suatu tujuan khusus – ada pamrihnya.  Mungkin ingin lebih diperhatikan Romo, ingin lebih dekat dan mungkin juga ingin memiliki Romo untuk dirinya sendiri.”

“Saya seorang wanita, tapi saya bingung kalau menerima telepon dari seorang wanita yang mencari anak saya yang Romo di Parokinya.  Jam 5 pagi sudah telepon, dikatakan Romo tidak ada di rumah, malah marah-marah dan mencaci-maki.  Lalu jam 10 pagi orang yang sama menelepon lagi.  Dikatakan keluar rumah, kembali dia marah-marah.  Jam 2 siang, kembali ia menelepon lagi.  Apa maksudnya?  Bolehkah saya katakan orang yang demikian sebagai ‘penggoda’?”

“Romo adalah Imam kita.  Dalam pergaulan, umat sering terlihat akrab banget, main pukul, cubit, colak-colek… Saya sering risih melihatnya – atau saya yang ketinggalan zaman?  Berteman dengan Romo boleh-boleh saja, tapi tetap harus ingat rambu-rambu pembatasnya.  Kalau seorang Romo jatuh, sulit untuk bangkit lagi.  Pada akhirnya, yang rugi juga kita – Gereja – karena sudah mengeluarkan banyak tenaga dan dana untuk melahirkan seorang Romo. Itu semua harus ditebus dengan rusaknya Romo karena ulah umatnya sendiri…”

“Umat menuntut Romonya untuk selalu bersih dan suci, tetapi Romo itu juga manusia biasa.  Kalau mau Romo selalu suci dan bersih, bagaimana dengan umat sendiri?  Menghadiri Misa Kudus saja dengan berpakaian ‘serba kelihatan’, seperti mau ke mal atau malah ke pasar saja….”

“Romo dituntut sempurna, tapi bagaimana dengan umat?  Rasanya timpang kalau hanya Romo yang sempurna sedangkan umatnya bertindak semau gue.  Harus ada timbal baliknya dong.  Romo sempurna, umat pun perlu bertindak dan berlaku sempurna.”

“Pesan keras ini khusus untuk para gadis dan, maaf, para janda.  Stop menggoda Romo.  Masih banyak pria lain, pilihlah satu dari antara mereka, jangan Romo.  Gereja sungguh berkorban banyak untuk dapat menghadirkan seorang Romo.  Ingatlah akan hal itu.  Jangan membuat Gereja menangis, jangan juga membuat Tuhan menangis…”

“Ibu-ibu muda tolong juga tahu posisinya.  Jangan berpikir sudah menikah, jadi merasa ‘aman’.  Banyak ibu muda yang jatuh, lebih memilih Romo daripada suami yang dinikahinya di depan Altar Tuhan juga.  Betapa menyedihkan…..”

“Umat berdoa agar banyak yang terpanggil untuk menjadi Romo, tetapi ‘semoga yang dipanggil Tuhan itu bukan anak saya’.  Atau, ‘Tuhan, Engkau boleh mengambil anakku untuk menjadi Romo, tapi jangan yang sulung, yang nomor 3 saja….’ atau ‘Jangan yang paling pintar, pilihlah yang kurang cerdas…’  Kasihan sekali Tuhan….”

“Para wanita perlu selalu sadar, Romo adalah Imam Kristus, milik Kristus.  Beliau adalah panutan kita, bukan buat dicandai atau digoda.  Terkadang saya risih melihat canda umat yang menurut saya telah kelewat batas.”

“Doakan Romo, tak perlu doa yang muluk-muluk.  Cukup berdoa agar Romo selalu gembira, teguh dan kuat menjalani panggilannya.  

“Semoga umat yang senang menebar gosip tentang Romo menjadi sadar bahwa hal itu tidak baik dan tidak tepat.  Gosip itu belum tentu kebenarannya, kenapa kita mau merusak Romo kita dengan hal-hal yang belum tentu benar-benar terjadi demikian?”

“Umat jangan sampai ingin memiliki Romo hanya untuk dirinya sendiri.  Jangan sampai tergiur dan ingin menikah dengan Romo.  Ingatlah, Romo itu milik Tuhan.  Sama halnya dengan pernikahan, Romo ‘menikah’ dengan Tuhan lewat Sakramen Imamat.  Sebetulnya, kalau Romo melepaskan Imamatnya, secara rohani ia tetap terikat ‘menikah’ dengan Tuhan.  Gereja kita tidak mengenal perceraian, ”

“Berdoalah untuk Romo.  Doa-doa kita akan sangat menguatkan Romo dalam menjalani hidup Imamatnya.  Banyak kesaksian dari para Romo sendiri bahwa dalam situasi sulit, para Romo dapat terus bertahan dan mengambil keputusan untuk terus menjadi Romo hanya karena doa-doa umat bagi mereka.”

“Mari kita jaga kehidupan Imamat Romo kita.  Kalau banyak Romo yang keluar, yang repot kita juga, bukan?  Bagaimana Gereja masa depan kalau Romo semakin hari semakin sedikit jumlahnya?” (disusun berdasarkan wawancara khusus/smartis)

 
Sumber: Majalah Sabitah Edisi 41, Januari-Februari 2010

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Surat Cinta Untuk Anakku

/

Seksi Komsos

Romoku Terkasih – Anakku, Hari ini dengan segala sukacitaku sebagai ibumu, aku menghantarmu menuju Altar Tuhan untuk menerima tahbisanmu menjadi Imam Kristus. Rasa haru dan ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Hidup Bersama, Bukan Sama-Sama Hidup

/

Seksi Komsos

Hakekat hidup membiara memberi tempat yang paling dasar pada Hidup Bersama (HB). Hidup bersama dalam membiara bukanlah sekedar hidup bersama sama dalam satu tempat, atau ...
SELENGKAPNYA