Nama lengkapnya Charles Patric Edwards Burrows, lahir di Seville Place, Dublin, Irlandia Selatan pada 08 April 1943. Di usia 19 tahun, Charlie – begitu Beliau biasa disapa – masuk Novisiat Oblat Maria Immaculata (OMI). Serangkaian formasi dan pendidikan sebagai seorang calon Imam OMI dilaluinya hingga Beliau meneguhkan panggilannya dalam Tahbisan Imamat di Piltown, sebuah desa kecil di selatan timur Irlandia pada 21 Desember 1969. Imam muda ini kemudian ikut dalam rombongan imigran Irlandia ke Australia di bulan September 1970 dan sempat berkarya beberapa waktu di Paroki Sefton, Sydney, Australia. Sejak 09 September 1973, Beliau dikirim ke Indonesia untuk berkarya di Paroki St. Stephanus, Cilacap, Jawa Tengah hingga sekarang.
Di Indonesia, Beliau disapa dengan panggilan “Romo Carolus”. Apa yang menarik dari Romo Carolus? Tak ada yang tidak kenal Beliau di daerah Kampung Laut, Cilacap. Dari masyarakat kecil hingga pejabat Pemerintah setempat yang berasal dari berbagai aliran agama mengenal sosok Romo Carolus sebagai pencinta orang miskin, pekerja keras, visioner (bukan peramal tapi praktis untuk kebutuhan masa depan), suka humor, sangat sederhana dalam gaya hidup, ramah dan mudah akrab dengan siapa saja. Lewat Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) yang dinahkodai Romo Carolus, telah banyak program padat karya dilaksanakan di Kampung Laut dan daerah-daerah miskin sekitarnya. Sejumlah sekolah dan lembaga pendidikan ketrampilan turut pula meramaikan daerah tersebut demi mempersiapkan manusia yang berketerampilan dan siap bekerja mencari nafkah penyambung hidup setiap harinya. Bukan itu saja, YSBS juga menangani proyek irigasi, perumahan, pembangunan jalan, pembuatan bak penampungan air yang airnya kemudian dialirkan ke kampung-kampung berbukit dan berbatu lewat pipa-pipa kecil. Semua karya Romo Carolus adalah demi membuat sosok manusia Kampung Laut dan daerah sekitarnya menjadi lebih manusiawi, tidak terus terpuruk dalam kemiskinan dan keputusasaan. Romo Carolus senantiasa membantu mengangkat derajat mereka lewat proyek padat karya – memberi kail dan umpan agar si manusia dapat mencari ikannya sendiri.
Tahun ini, Romo Carolus merayakan 40 tahun hidup imamatnya, sebuah perjalanan pemberian diri yang cukup panjang. 36 tahun di antaranya adalah untuk membangun manusia-manusia Indonesia lewat karya-karya kemanusiaan di daerah yang bernaung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tertarik untuk mengenal Romo Carolus lebih jauh, Sabitah mengontak Beliau untuk sedikit bertanya-jawab:
Mengapa ingin jadi imam?
“Saat saya masih kecil, di kelas TK dan SD, sering saya mendengar tentang karya-karya misionaris dari Irlandia ke dunia ketiga seperti ke Afrika. Saya sering mendengar sulitnya hidup anak-anak di sana. Lalu saya melibatkan diri dalam usaha-usaha pencarian dana guna meringankan penderitaan anak-anak di sana. Caranya adalah dengan menggambar kalung Rosario. Setiap orang yang menyumbang 1/2 Penny – kira-kira sebesar Rp 30,- – orang itu boleh menusuk 1 mata rantai Salam Maria dengan jarum. 60 orang menyumbang, maka mata rantai Rosario sudah tertusuk semua dan 2 Shilling 6 Pence melayang ke Afrika sebagai dana bantuan. Lama kelamaan, dalam diri saya muncul keinginan untuk berbuat yang lebih berarti lagi jika saya dewasa. Waktu itu belum ada kejelasan dalam diri saya untuk menjadi seorang imam atau bruder, hanya saya mau memberikan pelayanan kepada manusia untuk dapat menjadikan mereka manusia seutuhnya – bukan hanya rohaniah saja. Saya baru memberitahu keluarga bahwa saya diterima masuk di Novisiat OMI kira-kira 6 minggu sebelum saya harus bergabung di Novisiat. Tentu, ibu sedikit kecewa dengan keputusan saya, karena saya adalah tulang punggung keluarga, yang mencari nafkah untuk keluarga setelah ayah saya menderita sakit. Sejak kecil saya dinilai orangtua sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah untuk mengubah keputusan yang telah saya buat. Jadi, ya, ibu hanya pasrah saja. Ayah mendukung penuh dan mengatakan bahwa jika saya tidak betah di Novisiat, saya akan disambut kembali oleh keluarga dengan senang hati.”
Mengapa memilih Oblat Maria Immaculata (OMI)?
“Sebelumnya, saya tidak kenal sama sekali dengan OMI. Tetapi ada seorang Oblat datang ke sekolah dan meninggalkan pamflet yang memuat foto-foto para Misionaris OMI di Afrika yang sedang memotong rambut anak-anak. Ada juga foto Misionaris OMI di Laos yang dengan pakaian seadanya sedang naik kuda kecil, berjalan-jalan di hutan, dan foto-foto lainnya yang sungguh menggugah saya. Dan memang, saya tertarik untuk bisa juga menjadi pemotong rambut anak-anak, untuk bisa juga naik kuda di hutan….”
Tentang Kampung Laut dan daerah sekitarnya?
“Di zaman penjajahan Inggris maupun Belanda, di tahun 1800-an, Kampung Laut dikenal sebagai daerahnya bajak laut atau bejagalan. Konon, daerah itu menjadi basis perompak. Terus terang, saat pertama saya berkunjung ke sana, saya langsung jatuh cinta. Sehari sesampainya saya di Cilacap, saya mendapat tugas menemani dokter dan perawat ke Kampung Laut. Suasana Kampung Laut saat itu masih dikitari hutan bakau/mangrove dan nipah. Perkampungannya masih rentan terhadap berbagai macam penyakit. Wabah malaria, sakit mata, sakit kulit selalu menjadi langganan mereka yang menetap di sana. Tak ada sarana pendidikan, ekonomi penduduk juga pas-pasan karena hanya mengandalkan hasil laut – tangkap ikan dengan peralatan seadanya. Mereka seperti orang-orang yang terlupakan dan tak tersentuh oleh lajunya pembangunan. Mereka terisolasi, tak banyak orang luar yang mau bergaul dengan penduduk Kampung Laut karena mereka dianggap kasar. Saya tersentuh, saya lalu minta dokter dan perawat untuk mengajari saya cara-cara mengobati orang. Saya bukan seorang berlatar pendidikan medis, tapi saya bisa membaca, maka saya membaca literatur kesehatan supaya mendapat pengetahuan kedokteran dari sana. Tujuan saya supaya saya dapat lebih sering mengunjungi Kampung Laut untuk memberikan pengobatan.”
Tentang YSBS?
“Melihat kondisi Kampung Laut, terbersit keinginan untuk dapat berbuat sesuatu, untuk dapat membangun dan memberdayakan masyarakat di sana. Maka bersama beberapa orang teman, di tahun 1973 saya membuka Yayasan Sosial Bina Sejahtera – YSBS – dengan tujuan memberantas kemiskinan dan penderitaan yang terjadi karena kemiskinan-kemiskinan dalam arti luas, seperti miskin kasih, miskin perhatian, miskin pertolongan, dll.”
“Dana mengelola YSBS saya dapat dari berbagai Gereja dan lembaga donor dari luar negeri. Dana ini kemudian kami olah untuk digunakan dalam proyek padat karya. Kami memang memilih padat karya dengan tujuan agar masyarakat penerima bantuan mau bekerja juga. Dengan mau ikut bekerja, mereka punya tanggungjawab, mereka pun bisa berkembang dan membangun harga diri.”
“Proyek padat karya YSBS banyak sekali seperti membangun tanggul-tanggul, mendirikan rumah, membuat bak penampungan air minum di Nusakambangan, membuat jalan raya, menyediakan perahu motor dan jala untuk menangkap ikan. Kami juga memberi bantuan bebek, ayam, dan kambing supaya masyarakat bisa jadi peternak. Saya optimis, dengan proyek-proyek padat karya seperti ini, semua orang bisa hidup lebih layak lagi sebagai manusia.”
“Sejak tahun 1979 kami mulai membuka sekolah dan memberikan beasiswa yang kami berikan kepada siswa berprestasi maupun yang orangtuanya tak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Meski prestasinya kurang, siswa tersebut tetap kami berikan beasiswa. Orang tidak mampu juga berhak menikmati pendidikan yang bermutu, bukan?! Kami membantu semua golongan masyarakat, tidak memandang kaya, miskin, atau juga SARA. Pengelolaan sekolah membutuhkan biaya besar, sedangkan jumlah penerimaan SPP atau uang sekolah tidak mampu menutupi pengeluaran. Maka kami pun membuka divisi-divisi usaha seperti misalnya menyewakan truk dan tronton. Selain itu, kami coba buka divisi pelatihan dan pengiriman TKI. Semua hasil divisi usaha adalah untuk membiayai kegiatan YSBS.”
Juga merambah ke kegiatan peningkatan pendapatan ibu rumah tangga?
“Ah… yang ini adalah proyek beberapa putri Katolik yang bisa berkembang baik. Banyak terdapat ibu rumah tangga yang tidak produktif padahal mereka memiliki potensi. Kegiatan untuk membantu mereka dinamakan Proyek IGA – Income Generating Activity. Proyek ini mulai di tahun 2001 dengan modal sekitar Rp 200 juta. Ibu-ibu dihimpun dalam satu kelompok dengan anggota sekitar 20 orang. Ke dalam kelompok-kelompok ini diberikan kredit tahap pertama sebesar Rp 250.000,- untuk membuka kegiatan produktif. Modal awal ini harus mereka kembalikan secara bertahap dalam waktu 6 bulan beserta bunga 2%. Ternyata kegiatan ini cukup berhasil, tingkat pengembalian modal juga cukup tinggi, sampai 97%, artinya, hampir tidak ada yang menunggak. Proyek IGA ini juga dilaksanakan di Cilacap dengan nama Kelompok Swadaya Wanita (KSW) dan di Yogyakarta dengan nama Kelompok Swadaya Perempuan (KSP). Lewat kegiatan ini ingin ditanamkan rasa empati, belarasa, dan menjaga harga diri sebagai manusia. Bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dengan harkat dan martabat, bahwa manusia harus bekerja untuk mencukupi kebutuhannya, bukan dengan jalan menjadi pengemis, peminta-minta, yang malah akan menjatuhkan harga dirinya.”
Pernah mendapat tentangan dari masyarakat yang hendak dibantu?
“Tentangan dan tantangan banyak saya hadapi. Itu semua saya anggap sebagai bagian dari pengajaran Tuhan bagi pendewasaan saya dalam mengasihi. Tentangan bahkan pernah datang dari seorang “oknum Gereja” yang menilai apa yang kami lakukan adalah memanjakan umat dan masyarakat. Ya, mungkin Beliau ingin menguasai dan menuntut umat daripada membebaskan dan melayani mereka. Saya sendiri baru jadi Katolik + 50% saja, dan saya tidak mungkin mengkristenkan orang lain. Coba saja datang ke tempat-tempat yang pernah kami bantu. Angka pendapatan dan kesejahteraan penduduknya meningkat, tapi kalau saya ditanya: Apakah dari orang yang dibantu itu makin banyak yang menjadi umat Katolik? – maka saya jawab: Tidak ada. Nol persen. Misi utama saya adalah membantu yang miskin. Kalau saya diutus ke suatu tempat untuk berkarya, yang pertama kali saya pikirkan bukan bagaimana saya membangun kapel atau gereja, tetapi bagaimana saya dapat meningkatkan kesejahteraan si miskin. Saya seorang OMI, sudah menjadi kewajiban saya untuk bermisi dan berkarya bagi si miskin.”
Sejak tahun 1973 hingga sekarang berkarya di Cilacap. Tidak bosan?
“Hahahaha… mungkin orang yang sudah bosan dengan saya, tetapi saya masih punya rencana-rencana kerja untuk 100 tahun ke depan lagi! Sekarang ini saya baru saja mau memulai rencana-rencana itu. Saya tidak pernah bosan, itu sudah menjadi tugas perutusan saya.”
Pengalaman paling berkesan sebagai Oblat?
“Pengalaman yang sungguh berkesan buat saya sampai sekarang adalah saya mendapat kesempatan untuk masuk hutan-hutan bakau di Segara Anakan, Kampung Laut. Itu yang saya katakan tadi, cinta pertama saya, karena masuk hutan itu pula saya dapat melihat dan merasakan secara langsung kemiskinan penduduk yang tak terjamah di sana. Saya juga terkesan dengan dukungan kuat yang saya dapatkan dari Kongregasi OMI dan Gereja-Gereja Katolik untuk setiap karya saya di Kampung Laut.”
Mengapa jadi Warga Negara Indonesia?
“Hahaha… saya ini pegang Warga Negara Kerajaan Allah! Di mana pun saya ditempatkan, di sana adalah rumah bagi saya. Dan saya selalu mau terlibat penuh dengan para penghuni rumah, dalam hal sekarang ini, yaitu Indonesia.”
Harapan ke depannya?
“Seluruh karya saya di sini adalah karya OMI. Masih banyak yang bisa dikembangkan di sini. Saya akan terus mempersiapkan dan mengusahakan segala-galanya untuk jangka waktu ke depan yang melebihi sukses yang ada sekarang. Semoag nanti yang melanjutkan karya-karya di sini akan lebih sukses lagi – evolusi memastikan lebih baik!”
Sedikit pesan untuk umat Cengkareng?
“Saya senang mendengar kemajuan di Paroki Trinitas – Cengkareng. Perkembangan umat yang terus terjadi, dan Gereja-Gereja baru yang sedang dipersiapkan. Juga sukses perkembangan Koperasi Kredit dan karya sosial kesehatannya. Umat juga dengan cepat memberikan respon dalam menolong sesama yang terkena bencana. Saya sangat percaya bahwa kekayaan materi adalah sangat tidak membahagiakan, tetapi kekayaan kasih pasti akan membuat kita berbahagia selamanya. Semakin kita mengasihi, semakin kita merasa dikasihi. Hiduplah dalam kasih senantiasa, sebab Tuhan kita adalah Kasih itu sendiri.” (dari wawancara dengan Romo Carolus Burrows, OMI, dengan pelengkap dari Kompas, Suara Pembaruan, dan UCANews – smartis)