Featured Image Fallback

Apakah Yesus Lahir dalam Keluarga Kita?

/

Seksi Komsos

Kiranya saat ini adalah waktu yang sangat tepat untuk merefleksikan secara lebih serius bagaimana Yusuf dan Maria sebagai keluarga yang dipilih Allah menjadi tempat lahirnya Yesus. Disini Allah menunjukkan bahwa keluarga diberi peran yang amat penting bagi terselenggaranya rencana Allah. Refleksi ini menjadi semakin penting mengingat keluarga zaman sekarang cenderung direduksi menjadi sebuah lembaga sosial yang kehilangan makna Ilahi. Keluarga seolah tidak lebih dari sekedar wadah untuk memfasilitasi manusia memuaskan nafsu, tempat tindak kekerasan fisik, psikologis dan emosi. Keterasingan dan kerapuhan masyarakat bersumber dari dalam keluarga.  Natal adalah momen yang paling tepat untuk mengembalikan keluarga kita kepada makna terdalam maksud Allah dengan keberadaan setiap keluarga, yaitu keluarga yang mau, dan mampu melahirkan Yesus seperti keluarga Yusuf–Maria.

 
Keluarga yang memungkinkan Yesus lahir, tumbuh besar dan menjadi bagian dari terlaksananya Karya Keselamatan Allah. Tulisan ini merefleksikan kondisi yang menjadi syarat lahirnya Yesus dalam sebuah keluarga kendati tidak mungkin memberi gambaran lengkap. Paling tidak beberapa pointer berikut layak untuk kita hidupi, dan perjuangkan demi proses mejadi keluarga kristiani.
 

 
Yusuf–Maria: Keluarga Sederhana BUKAN Miskin

Peristiwa Natal selalu menggambarkan kelahiran Yesus dalam kondisi kemiskinan, sampai-sampai lahir di kandang karena orangtuanya tidak mampu membayar penginapan. Paling tidak gambaran seperti itu yang saya terima ketika saya kecil. Untuk ukuran waktu itu Yusuf dan Maria bukanlah orang miskin. Tradisi suci mengatakan Yusuf adalah tukang (ahli) dalam hal mebel. Sementara Maria juga bukan orang miskin karena Lukas menceritakan Maria adalah sanak Elisabet, keturunan Harun, istri Zakharia, seorang imam, dari rombongan Abia (Luk 1:5).  Kelompok imam menempati strata terhormat dalam masyarakat. Sederhana kiranya gambaran yang lebih tepat untuk Yusuf dan Maria – itupun dalam arti model hidup – sebuah pilihan yang didasari pada nilai, bukan dalam arti ekonomis.
Mereka tidak mendapat penginapan bukan karena tidak mampu membayar, tetapi karena semua penginapan memang sudah penuh. Mereka sampai di tempat pasti paling akhir. Selain jauhnya perjalanan, mereka berjalan sangat lambat dan sering beristirahat mengingat Maria sedang hamil tua. Justru dari peristiwa ini kita dapat menarik sebuah nilai kesederhanaan Yusuf dan Maria. Kesederhanaan itu ditunjukkan dengan sikap sabar dari Yusuf. Yusuf dapat dipastikan seorang laki-laki yang sangat sabar, mendampingi istrinya yang sedang hamil. Di tengah perjalanan Maria pasti mengalami kelelahan, lambat dan juga mengeluh. Kesabaran adalah keutamaan Kristiani, nilai yang yang amat penting dalam membangun kesuksesan hidup berkeluarga. Lawan dari kesabaran adalah ketergesa-gesaan atau orang juga menyebut terburu nafsu, alias diburu oleh nafsu. Kesabaran Yusuf, dan tentu Maria,  karena mereka saling mengasihi. Sabar adalah sifat dari kasih (I Kor 13:4) Kesabaran merupakan sisi lain dari ketekunan, dan kemauan untuk terus berjuang. Hal ini ditampakkan oleh Yusuf dengan terus mencari penginapan kendati selalu menjumpai penginapan yang penuh.
 
Kesederhanaan sebagai cara berpikir ditunjukkan dengan kesantunan dan penghargaan dirinya terhadap orang lain. Mereka tidak mau berpikir rumit. Sebenarnya Yusuf dapat saja “memaksa” pemilik penginapan untuk merenerima mereka dengan alasan istrinya sedang hamil tua. Dengan kondisi Maria yang hamil, lelah setelah perjalanan yang sangat jauh tentu orang akan merasa “maklum” jika Yusuf memaksa, dan orang akan iba. Namun Yusuf tidak melakukan itu. Yusuf tahu bahwa semua orang mengalami perjalanan jauh dan capek. Yusuf menghargai orang lain. Kesantunannya bukan dibuat-buat untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya, mengkondisikan orang lain agar jatuh kasihan sehingga mau berkorban untuk mereka. Kesantunannya muncul dari kesadaran akan pentingya menghargai orang lain. Sebuah cara berpikir sederhana.
 
 
Tulus Hati dan Jujur

Tulus hati dan jujur adalah nilai dasar dalam kehidupan. Semua nilai bersumber dari nilai ini. Pada zaman Yesus lahir, nilai ini sangat langka. Zaman itu tidak lebih baik dari zaman sekarang. Kita dapat lihat betapa bobroknya keadaan masyarkat kala itu.  Amos menggambarkannya dengan sangat lugas. Yesus mengecam dengan menggunakan kata-kata yang sangat pedas. Di tengah runyamnya  keadaan masyarakat, masih ada sosok yang bersinar dengan ketulusan hati dan kejujurannya: Yusuf dan Maria. Ketika Yusuf tahu bahwa Maria tunangannya telah mengadung sebelum mereka menjadi suami istri, Yusuf tidak mau mencemarkan istrinya di muka umum, ia bermaksud mencerikan secara diam-diam karena ia seorang yang tulus hati (Mat 1:18-19).  Pastor Petrus Maria Handoko, CM mengartikan tulus hati sebagai seorang yang mengikuti jalan Tuhan, menghormati karya Tuhan, dan mau mengorbankan apa pun untuk Tuhan. Yusuf tahu diri dan tidak mau menjadi pesaing Allah, maka ia mau membebaskan Maria dari pertunangan (Hidup No. 49 Th ke-63/Des 2009). Hanya orang yang tahu diri yang dapat berlaku tulus dan jujur.

 
 
Yusuf–Maria: Beriman–Bertangung Jawab

Yusuf adalah orang beriman, dan Maria tidak meragukan akan hal itu sehingga ia nurut kepada Yusuf. Ia mengikuti perintah Tuhan yang ditangkapnya melalui mimpi. Dalam tradisi Yahudi, mimpi diyakini sebagai cara Allah berbicara kepada manusia karena perjumpaan Allah dengan manusia yang dianggap layak adalah melalui mimpi. Manusia tidak layak dan pasti akan binasa jika melihat Allah, maka mimpi diyakini menjadi cara yang membuat manusia tetapi hidup. Peristiwa seperti ini  sangat sering dialami Yusuf dalam proses menyelamatkan Yesus dari ancaman Herodes. Karena iman itulah Yusuf menjadi suami yang bertanggung jawab. Kelahiran Yesus bukan membawa kemudahan bagi Yusuf tetapi membawa dirinya berhadapan dengan ancaman kematian karena ia menjadi orang yang paling dicari Herode sebagai orang yang paling berkuasa dan paling kejam. Tanggung jawab Yusuf untuk menyelamatkan Yesus memaksa Yusuf lari ke Mesir (Mat 2:13b), sebuah negara yang penuh dengan kenangan buruk bagi orang Yahudi. Di Mesir dapat dipastikan Yusuf mengalami banyak kesulitan. Secara religius, Mesir adalah simbol keterasingan, pembuangan, jauh dari Allah. Yusuf merelakan diri mengalami semua ini.

 
Yusuf : Orang yang Setia

Inilah nilai yang sekarang semakin langka. Bukan hanya di antara suami istri tetapi juga di antara para hidup bakti. Kesetiaan dihayati dengan hati yang tulus, tanggung jawab dan kesabaran menanggung penderitaan. Penderitaan Yusuf menyelamatkan Yesus dan Maria adalah penderitaan karena kesetiaan. Kesetiaan bukan sesuatu yang mudah diperjuangkan dan kerap tidak menyenangkan.   Ketika Yesus berumur 12 tahun, mereka pergi ke Yerusalem dan Yesus tidak ada di antara saudaranya.  Mereka lalu kembali ke Yerusalem mencari Yesus. Tidak diceritakan bahwa antara Yusuf dan Maria terjadi pertengkaran, saling menyalahkan dengan hilangnya Yesus. Nampaknya, Maria dan Yusuf bukan tipe orang yang suka mencari siapa yang salah. Mereka adalah tipe orang yang solution oriented (mencari solusi). Keluarga ini memang sangat indah untuk direnungkan. Dalam keluarga seperti inilah Yesus lahir dan dibesarkan. Tidak heran jika Yesus tumbuh   menjadi anak yang kuat “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya” (Luk 2:40)
 
 
Penutup

Setiap tahun kita merayakan Natal. Sebuah perayaan atas kelahiran yang sering diwarnai dengan lampion, pohon natal, musik dan pesta dengan taburan kado. Gembira dan sorak-sorai diberbagai tempat publik. Di gereja, umat merayakan dengan keagungan paduan suara. Umat saling memberi ucapan “Selamat Natal”. HP tiada berhenti menjadi penyalur kalimat “Selamat Natal” dengan berbagai fitur dan segala keindahannya yang tergantung pada kecanggihan teknologi. Setelah dua hari berlalu, para Imam akan merasakan kelelahan karena ritual perayaan, dan umat mulai menghitung besarnya pengeluaran untuk pesta Natal. Sementara anak-anak mulai menghitung hari dan bulan Natal berikutnya. Kita lupa bahwa semua itu hanyalah ungkapan yang sangat dangkal dan lahiriah.  Semua itu bukannya tidak penting, namun yang penting  belum tentu utama dan pokok.

Mari kita renungkan dan refleksikan apakah kita sudah mengusahakan kondisi yang memungkinkan dan mensyaratkan Yesus lahir, tumbuh dan besar dalam keluarga kita? Natal adalah Kelahiran Yesus, peristiwa inkarnasi, saat Allah menjadi manusia. Yesus lahir dalam keluarga. Allah menjadi manusia di tengah keluarga jika kita, terutama suami-istri menghidupi nilai-nilai yang dihidupi Yusuf dan Maria: sederhana, diwarnai dengan kesabaran, dilandasi dengan iman, bertanggung jawab, tulus hati dengan kejujuran dan saling setia. Itulah yang kita rayakan, karena dengan kondisi tersebut itulah Yesus lahir. Amin.

Kontribusi: Agustinus Purwanto, Ketua Lingkungan St. Marcelinus, Wilayah 3

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Menjadi Pelayan Yang Bahagia

/

Seksi Komsos

Rekoleksi Dewan Paroki Pleno Trinitas, 9-10 Januari 2016 diikuti oleh 165 peserta yang terdiri dari para ketua lingkungan, wilayah, seksi dan kategorial. Rekoleksi yang dilaksanakan ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Family Gathering 2015

/

Seksi Komsos

LINGKUNGAN ST. ROSA VIRGINIA (RV) – WILAYAH 8 Cuaca panas, teriknya matahari dan udara yang lembab tak mengurangi semangat para peserta family gathering lingkungan St. ...
SELENGKAPNYA