Kiranya saat ini adalah waktu yang sangat tepat untuk merefleksikan secara lebih serius bagaimana Yusuf dan Maria sebagai keluarga yang dipilih Allah menjadi tempat lahirnya Yesus. Disini Allah menunjukkan bahwa keluarga diberi peran yang amat penting bagi terselenggaranya rencana Allah. Refleksi ini menjadi semakin penting mengingat keluarga zaman sekarang cenderung direduksi menjadi sebuah lembaga sosial yang kehilangan makna Ilahi. Keluarga seolah tidak lebih dari sekedar wadah untuk memfasilitasi manusia memuaskan nafsu, tempat tindak kekerasan fisik, psikologis dan emosi. Keterasingan dan kerapuhan masyarakat bersumber dari dalam keluarga. Natal adalah momen yang paling tepat untuk mengembalikan keluarga kita kepada makna terdalam maksud Allah dengan keberadaan setiap keluarga, yaitu keluarga yang mau, dan mampu melahirkan Yesus seperti keluarga Yusuf–Maria.
Peristiwa Natal selalu menggambarkan kelahiran Yesus dalam kondisi kemiskinan, sampai-sampai lahir di kandang karena orangtuanya tidak mampu membayar penginapan. Paling tidak gambaran seperti itu yang saya terima ketika saya kecil. Untuk ukuran waktu itu Yusuf dan Maria bukanlah orang miskin. Tradisi suci mengatakan Yusuf adalah tukang (ahli) dalam hal mebel. Sementara Maria juga bukan orang miskin karena Lukas menceritakan Maria adalah sanak Elisabet, keturunan Harun, istri Zakharia, seorang imam, dari rombongan Abia (Luk 1:5). Kelompok imam menempati strata terhormat dalam masyarakat. Sederhana kiranya gambaran yang lebih tepat untuk Yusuf dan Maria – itupun dalam arti model hidup – sebuah pilihan yang didasari pada nilai, bukan dalam arti ekonomis.
Tulus hati dan jujur adalah nilai dasar dalam kehidupan. Semua nilai bersumber dari nilai ini. Pada zaman Yesus lahir, nilai ini sangat langka. Zaman itu tidak lebih baik dari zaman sekarang. Kita dapat lihat betapa bobroknya keadaan masyarkat kala itu. Amos menggambarkannya dengan sangat lugas. Yesus mengecam dengan menggunakan kata-kata yang sangat pedas. Di tengah runyamnya keadaan masyarakat, masih ada sosok yang bersinar dengan ketulusan hati dan kejujurannya: Yusuf dan Maria. Ketika Yusuf tahu bahwa Maria tunangannya telah mengadung sebelum mereka menjadi suami istri, Yusuf tidak mau mencemarkan istrinya di muka umum, ia bermaksud mencerikan secara diam-diam karena ia seorang yang tulus hati (Mat 1:18-19). Pastor Petrus Maria Handoko, CM mengartikan tulus hati sebagai seorang yang mengikuti jalan Tuhan, menghormati karya Tuhan, dan mau mengorbankan apa pun untuk Tuhan. Yusuf tahu diri dan tidak mau menjadi pesaing Allah, maka ia mau membebaskan Maria dari pertunangan (Hidup No. 49 Th ke-63/Des 2009). Hanya orang yang tahu diri yang dapat berlaku tulus dan jujur.
Yusuf adalah orang beriman, dan Maria tidak meragukan akan hal itu sehingga ia nurut kepada Yusuf. Ia mengikuti perintah Tuhan yang ditangkapnya melalui mimpi. Dalam tradisi Yahudi, mimpi diyakini sebagai cara Allah berbicara kepada manusia karena perjumpaan Allah dengan manusia yang dianggap layak adalah melalui mimpi. Manusia tidak layak dan pasti akan binasa jika melihat Allah, maka mimpi diyakini menjadi cara yang membuat manusia tetapi hidup. Peristiwa seperti ini sangat sering dialami Yusuf dalam proses menyelamatkan Yesus dari ancaman Herodes. Karena iman itulah Yusuf menjadi suami yang bertanggung jawab. Kelahiran Yesus bukan membawa kemudahan bagi Yusuf tetapi membawa dirinya berhadapan dengan ancaman kematian karena ia menjadi orang yang paling dicari Herode sebagai orang yang paling berkuasa dan paling kejam. Tanggung jawab Yusuf untuk menyelamatkan Yesus memaksa Yusuf lari ke Mesir (Mat 2:13b), sebuah negara yang penuh dengan kenangan buruk bagi orang Yahudi. Di Mesir dapat dipastikan Yusuf mengalami banyak kesulitan. Secara religius, Mesir adalah simbol keterasingan, pembuangan, jauh dari Allah. Yusuf merelakan diri mengalami semua ini.
Setiap tahun kita merayakan Natal. Sebuah perayaan atas kelahiran yang sering diwarnai dengan lampion, pohon natal, musik dan pesta dengan taburan kado. Gembira dan sorak-sorai diberbagai tempat publik. Di gereja, umat merayakan dengan keagungan paduan suara. Umat saling memberi ucapan “Selamat Natal”. HP tiada berhenti menjadi penyalur kalimat “Selamat Natal” dengan berbagai fitur dan segala keindahannya yang tergantung pada kecanggihan teknologi. Setelah dua hari berlalu, para Imam akan merasakan kelelahan karena ritual perayaan, dan umat mulai menghitung besarnya pengeluaran untuk pesta Natal. Sementara anak-anak mulai menghitung hari dan bulan Natal berikutnya. Kita lupa bahwa semua itu hanyalah ungkapan yang sangat dangkal dan lahiriah. Semua itu bukannya tidak penting, namun yang penting belum tentu utama dan pokok.
Kontribusi: Agustinus Purwanto, Ketua Lingkungan St. Marcelinus, Wilayah 3