Penulis:
Gordon Thomas
Penterjemah:
Harris Hermansyah Setiajid
Penerbit:
Kanisius, 2009
Tebal:
468 halaman
Sukses buku karangan Dan Brown “The Da Vinci Code” sepertinya mengilhami banyak orang untuk menerbitkan buku-buku sejenis. Tokoh sentral tetap sama, yakni Yesus. Selama 21 abad sejak kematianNya, tokoh dari Nazareth itu tak henti-hentinya dibicarakan. KerahasiaanNya dikuak, ke-ilahian-Nya dipertanyakan, sepak terjang karyaNya yang teramat singkat dicoba diutak-atik. Para pakar dari berbagai disiplin ilmu seperti berlomba-lomba untuk menyingkap tabir rahasia yang mengungkung tokoh tiada tandingan tersebut.
Dari kebangkitanNya yang spektakuler, makamNya yang kosong, kain kafanNya yang misterius, sampai wanita-wanita yang paling dekat dalam hidupNya; semua ditelusuri dan diungkit-ungkit. Dalam beberapa buku yang menguak sosok Maria Magdalena, nama Yesus tak bisa dipisahkan. Kedekatan perempuan dari Magdala dengan lelaki dari Nazareth itu jika diramu dengan baik bisa jadi konsumsi publik yang layak jual.
Penemuan manuskrip-manuskrip kuni di Nag Hammadi, Mesir, pada 1945, seolah semakin meyakinkan orang bahwa ajaran Yesus tidak hanya terwadahi dalam 4 Injil kanonik (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes). Masih ada manuskrip yang layak dipertimbangkan oleh para Bapa Gereja, antara lain Injil Tomas dan Injil Yudas. Jika digali lebih dalam lagi, masih ada juga beberapa Injil aprokrif, seperti Injil Petrus dan Injil Maria Magdalena.
Di dalam buku Gideon Thomas ini, penulis tidak menyoroti ajaran Yesus dan mengungkap kerahasiaanNya secara detil sesuai ajaran yang selama ini diyakini jutaan umat Kristen. Yang jadi fokus perhatian penulis adalah situasi dan kondisi zaman Yesus hidup, mengajar, memilih murid, diadili, dan akhirnya dibunuh.
“Ajaran Yesus tentang masa depan – tidak hanya bagi para murid, melainkan juga bagi seluruh dunia – sangat berbeda dengan wahyu-wahyu ilahi sebelumnya. Ajaran Yesus merupakan sistem filosofis yang dinubuatkan dengan sangat hati-hati dan menjadi pedoman praktis bagi perilaku semua umat manusia di masa depan.” (hal. 89)
Bukan ajaranNya itulah yang sebenarnya menyeret Dia menuju bukit Golgota untuk kemudian mati di salib. Menurut Gordon, karena situasi politik benar-benar tidak mendukung saat itu. Kekaisaran Romawi mencengkeram begitu kuat Israel. Pemberontakkan sporadis muncul di sana-sini. Sebagai wali negeri yang memperoleh mandat Kaisar, Pilatus tidak ingin jabatannya lepas hanya karena seorang Yesus. Begitu pun Imam Agung Kayafas tidak mau kehilangan legitimasi dari rakyat yang selama ini menghormatinya.
Dari bab ke bab, penulis memang sengaja menuntun pembaca menuju klimaks. Penulis membeberkan alasan dan ‘fakta’ mengapa seorang Yesus layak dibenci dan bahkan sampai dihukum mati.
Meski isi buku tidak ada sesuatu yang mengejutkan, namun sebagai informasi tambahan bagi umat Kristen untuk memahami kematianNya, buku ini memberi banyak hal yang mungkin belum kita ketahui. Sayang hampir semua halaman buku tampak gelap dan kurang menarik karena disain buku yang tidak memanjakan mata pembaca. Mungkin maunya ‘nyeni’, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: mengganggu.
(B. Sardjono)
Sumber: Rubrik Memilih Buku, Majalah Utusan No. 5, Tahun ke-59, Mei 2009