Bekerja Keras Demi Penyakit Kaki Gajah
“Saya dengar Profesor suka mencangkul, ya?” sapa seorang rekan ketika Prof. Dr. dr. Fransiscus Assisi Sudjadi (61) menyambangi kantornya yang berada di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Mendengar sapaan itu, Guru Besar Bidang Parasitologi ini tersenyum dan mulai berkisah mengenai kesibukannya di rumah.
“Sejak kecil saya memang suka bergelut dengan tanah. Meski sudah jadi dokter dan guru besar, saya masih senang mencangkul dan menanam pohon,” tuturnya. Memang, di halaman rumahnya yang terletak di Jl. Permandian 5, Blabak, Magelang, terdapat sebuah taman kecil yang asri dan tertata apik. Ikan-ikan pun berkecipak riang di kolam belakang rumah. Sebidang lahan persawahan di luar pemukimam juga akrab disapanya ketika belum terkena stroke.
Kecintaannya pada alam dan sesama manusia dalam diri para pasien, merupakan wujud nyata kecintaan dan kekagumannya pada figur Santo Fransiscus Assisi. Orang kudus yang baru saja dinobatkan PBB sebagai Pelindung Lingkungan Hidup ini menjadi salah seorang inspirator dalam hidupnya.
“Sebelum dibaptis saat kelas 3 SMA, saya terlebih dulu mengenal figur Bunda Maria dan St. Fransiscus Assisi. Entah kenapa, saya dulu cenderung ngeri kalau melihat salib Tuhan Yesus. Hati saya lebih ayem kalau memandang Bunda Maria dan belajar dari spiritualitas Fransiskan,” tuturnya.
Perkenalannya dengan banyak buku-buku rohani tentang spiritualitas Fransiskan mengubah cara pandangnya atas dunia. Ia belajar untuk mencintai ciptaan dan tidak terlalu materialistis. Sebagai dokter, ia tidak ragu bergelut dengan kemiskinan. Ia tidak semena-mena dalam menarik uang periksa kepada pasiennya. Ia juga tidak ragu berkecimpung dalam penelitian penyakit kaki gajah atau filariasis yang umumnya menyerang orang msikin.
“Filiriasis itu penyakitnya orang kecil. Memang tidak langsung mematikan, namun mengakibatkan kerugian ekonomis karena penderita tidak bisa bekerja. Penyakit ini biasanya menjangkiti penduduk yang tinggal di lingkungan yang tidak sehat. Di Jakarta banyak lho yang kena penyakit kaki gajah. Yang kena memang yang rumahnya tidak tertutup rapat, sehingga gampang kemasukan nyamuk-nyamuk pembawa bibit penyakit ini. Dokter yang butuh uang banyak, biasanya ndak mau nglirik penyakit ini,” ungkap suami Vinsentia Sri Mulyati (60) ini.
Pilihan Sudjadi untuk menghidupi semangat kemiskinan, persaudaraan, dan kerendahan hati yang diterimanya sejak menjadi anggota Ordo Fransiskan Sekular (OFS) ini sempat juga mendapat tentangan dari sang istri. Namun, perlahan-lahan mereka bisa menyatukan hati. Bahkan kini sang istri menjadi anggota OFS yang sangat rajin berdoa bersama anggota lainnya. “Kadang kalau saya malas berdoa bersama atau berdoa ofisi, istri saya yang mengingatkan dan memaksa,” lanjut ayah 4 anak ini dengan riang.
Doa ofisi baginya menjadi sebuah kebutuhan dan kerinduan untuk berdoa bersama para imam, biarawan, dan biarawati. “Doa ofisi itu kan menyatukan doa kita dengan doa semua orang Katolik,” terang umat Stasi Santo Petrus Canisius, Mungkid Magelang, ini. Namun, ia sendiri mengakui keterbatasannya dalam menjalankan doa ofisi harian. Sebab, “Doa ofisi itu didaraskan 5 kali sehari. Tapi kalau saya ya sesempatnya saja. Kadang saya juga berdoa di kantor.”
Doa ofisi ini juga menjadi sarana baginya dalam bersaksi. Suatu ketika seorang teman sakit parah, dokter sudah angkat tangan. Ketika mengunjunginya di rumah sakit, Sudjadi sempat memberinya dorongan semangat dan mengajaknya berdoa ofisi. Doa itulah yang kemudian menyemangati temannya itu selama hari-hari terakhir hidupnya.
“Saya sendiri tidak menyangka kalau doa ofisi itu begitu berharga. Padahal dulu waktu penelitian di Kalimantan dan Semarang, cuma saya bawa-bawa karena tidak tahu bagaimana mendoakannya,” kenang Sudjadi.
Selama masa penelitiannya, ia memang sering menempuh perjalanan bolak-balik Kalimantan, Semarang, dan Yogyakarta. Sekali sebulan, ia pulang ke rumah. “Waktu itu bapak sampai membawa binatang percobaan segala. Saya takut anak-anak tertular penyakit. Saya pun minta hewan-hewan percobaannya dijauhkan dari anak-anak,” kenang Mulyati gemas.
Meski sempat mengeluh, Mulyati tetap setiaa mendampingi proses penelitian sang suami. Hingga akhirnya Sudjadi menemukan spesies lain dari cacing penyebab kaki gajah di Kalimantan. Penemuan ini kemudian ditindaklanjuti dan akhirnya membawa Sudjadi ke jenjang doktoral, hingga dilantik menjadi guru besar.
“Saya memang sudah bekerja keras sampai bisa dikukuhkan menjadi profesor. Tapi saya sering merasa kalau pengukuhan ini tidak perlu bagi seorang Fransiskan seperti saya. Ya, memang tidak perlu. tapi juga tidak dilarang,” renungnya lebih dalam.
Di matanya, seorang Fransiskan (orang yang menghidupi semangat Fransiscus Assisi) tidak perlu membawa pundi-pundi. Cukuplah ia menerima perutusan Yesus untuk menjadi misionaris tanpa memperhitungkan berapa biayanya dan apakah dia mampu untuk itu.
“Gelar-gelar itu mungkin perlu untuk dunia akademis. Tapi saya juga tidak merasa berbeda setelah menyandang gelar itu. Biasa saja. Saya tetap Sudjadi yang suka mencangkul. Kecuali setelah kena stroke ini,” kenangnya bersahaja.
Dalam relasinya di kampung, Sudjadi memang tidak pernah mencantumkan gelar-gelarnya. Ia merasa nyaman dengan nama Sudjadi saja. Juga ketika berelasi dengan anggota ordo-ordo Fransiskan yang lain, ia lebih akrab dipanggil Pak Djadi.
Gelar-gelas ini pun tidak melunturkan semangat kemiskinan dan kerendahan hatinya. Ia juga tidak pernah menggunakannya untuk memperkaya diri. “Saya ini relatif miskin dibanding guru-guru besar yang lain. Tapi saya tidak pernah merasa sakit hati. Keluarga saya hidup nyaman tanpa terlalu menggantungkan diri pada materi. Kami juga sangat menikmati kebersamaan dan persaudaraan para Fransiskan yang boleh kami rasakan. Baik lewat pertemuan doa harian anggota OFS di sekitar sini maupun dalam persekutuan yang lebih besar dengan anggota ordo-ordo yang lain.”
Kerendahan hati juga menjadi sarana baginya untuk berkarya. Nun jauh di Kalimantan, ia melayani para pasiennya dengan penuh kerendahan hati seperti melayani saudara sendiri. Maka tidaklah mengherankan apabila petualangannya di rimba Dayak melahirkan kenangan tersendiri. “Kalau saya datang dari Jawa, warga akan bersorak-sorak – ‘Ini dia dokterku datang!'”
Begitulah, tanpa embel-embel apapun, sosok Sudjadi, Saudara Dina dari Ordo Sekular Fransiskan, menjadi bagian dari mereka yang menderita, miskin, dan sakit di sudut terpencil Nusantara.
Sumber: Rubrik Pelayanan, Majalah Utusan No. 5, Tahun ke-59, Mei, 2009