Meski mengangkat kisah tentang Romo Soegijapranata namun film “Soegija” tidak hanya menggambarkan sosok uskup pribumi pertama di Indonesia bernama lengkap Albertus Soegijapranata itu saja.
Film garapan sutradara Garin Nugroho itu menampilkan nilai-nilai kemanusiaan universal melalui kisah-kisah di tengah revolusi.
Garin mencoba melukiskan situasi dalam setiap pernyataan yang disampaikan Soegija dalam gambar-gambar khasnya, membuat “Soegija” tidak hanya menuturkan sejarah secara verbal tapi juga menyuguhkannya sebagai ilustrasi kehidupan.
“Karena misal Soegija mengatakan soal penderitaan, kalau tidak digambarkan situasi zamannya seperti apa, itu tidak mungkin. Nanti hanya dialog saja seperti film umumnya,” kata Garin usai penayangan film beranggaran Rp12 miliar itu di Jakarta, Kamis (24/5).
Sutradara kelahiran Yogyakarta itu mengumpulkan referensi dari berbagai sumber seperti buku sejarah, buki harian serdadu Belanda dan Jepang, kisah-kisah revolusi dan sahabat-sahabat Mgr. Soegijapranata untuk menghidupkan sisi-sisi kemanusiaan sang uskup.
“Kami mencari cerita-cerita ketika dialog itu dimunculkan. Sumber macam-macam kami kumpulkan untuk ilustrasi situasi pada saat Soegija bicara. Itu yang sangat sulit karena kalau tidak nanti isinya hanya pidato dia saja,” tambahnya.
Maka jadilah film sejarah yang sangat “Garin”, dengan gambar-gambar bercerita yang disempurnakan dengan muatan dialog dari narasi sarat makna yang dibuat Armantono dan Garin Nugroho.
Sang sutradara tampaknya secara cermat memilih penampilan adegan dengan gambar yang bercerita atau narasi sehingga adegan-adegan dengan format berbeda terasa pas, dan bertambah enak dinikmati dengan tata musik Djaduk Ferianto dan akting para pemain yang natural.
Garin, yang sebagian karya filmnya mendapat penghargaan internasional, menampilkan pemain dengan beragam latar belakang budaya untuk mewujudkan gambaran situasi dan pelaku sejarah yang terkait dalam filmnya.
Pemeran film itu berasal dari beberapa etnis di dalam negeri dan beberapa pemain dari luar negeri. Secara keseluruhan, penggarapan film itu melibatkan 2.775 pemain dari Jawa, Cina, Belanda, dan Jepang.
Perenungan
Film “Soegija” mengisahkan kerja kepemimpinan dengan “silent diplomacy” serta prinsip kebangsaan dan kemanusiaan Soegija pada era 1940-1950.
Garin mengangkat sisi-sisi kemanusiaan dari delapan tokoh utama dalam film yang berlatar masa penjajahan Belanda, lalu perebutan kekuasaan oleh Jepang serta masa krisis menjelang dan setelah kemerdekaan.
Meski berlatar zaman perang namun film “Soegija” sama sekali tidak menampilkan adegan-adegan berdarah maupun kekerasan. Tidak ada sosok penjahat juga di sini.
Sang sutradara memilih suasana di pengungsian dan menyusup ke dalam diri tokoh-tokoh utamanya, mengajak penonton merenung dengan menampilkan sisi kemanusiaan mereka dengan gambar yang indah, dialog yang kuat dan iringan musik dramatis.
Dalam film sepanjang 115 menit ini, perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar manusia.
Ketika Jepang datang ke Indonesia (1942), Mariyem (Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (Abe), kakaknya dan Ling Ling (Andrea Reva) terpisah sang ibu (Olga Lydia).
Keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjajah, tetapi juga mereka yang menjajah.
Serdadu Jepang, Nobuzuki (Suzuki), tidak pernah tega terhadap anak-anak karena ia juga punya anak yang selalu ia rindukan di Jepang.
Robert (Wouter Zweers), seorang serdadu Belanda yang merasa menjadi mesin perang hebat, hatinya tersentuh oleh bayi yang ia temukan di medan perang yang membuat dia merindukan ibunya, bukan negaranya.
Sementara bagi Hendrick (Wouter Braaf), perang membuat dia tak bisa memiliki cinta yang dia temukan.
Soegija (Nirwan Dewanto) ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan kematian.
Bagi dia, kemanusiaan itu satu meski berbeda berbeda bangsa, agama, asal-usul, dan ragamnya.
Soegija berusaha mewujudkan keinginannya melalui surat menyurat dan pertemuan dengan para pemimpin Indonesia seperti Syahrir, dan Soekarno.
Dia juga mendukung pengorganisasian gerakan pemuda dan pelayanan sosial. Ia menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan melalui kunjungan warga, khotbah dan tulisan-tulisan. “Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri kita sendiri,” katanya.
Menurut Garin, nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini oleh Soegijapranata sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini meski dalam perspektif yang berbeda. Yakni bahwa seperti Soegija, para pemimpin seharusnya mampu mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan untuk meredam gejolak kekerasan, untuk mendamaikan.
“Film ini merupakan sebuah catatan tepat untuk hari ini. Ini perayaan kegembiraan beragam dan berbangsa. Sudah saatnya tidak ada ketakutan,” demikian Garin Nugroho. (Editor: Maryati)
Sumber: situs antaranews.com