Dalam Syahadat Iman yang diakui oleh Gereja Katolik sedunia, terdapat sebuah penggalan kalimat, “Aku percaya akan Roh Kudus”. Disinilah Gereja mengajak kita untuk benar-benar meyakini adanya Roh Kudus.
Roh Kudus sendiri dalam pengertian dan pengartian Perjanjian Lama kerap mempunyai tiga arti. Pertama: (qadosy) yang berarti ‘bersifat kudus atau khusus’ (Keluaran 29:31).
Kedua, (ruakh elohim), yang berarti ‘Roh Allah, nafas Allah, angin Allah’.
Ketiga, (ruakh qadosy), yang berarti ‘Roh Kudus’ (Kejadian 1:2; Yehezkiel 37:1-14; Yunus 1:4; Zakharia 4:6).
Menegaskan keyakinan ini, St. Ambrosius dalam De mysteriis pernah mengajarkan, “Karena itu, engkau harus ingat bahwa engkau telah menerima pemeteraian oleh Roh: roh kebijaksanaan dan pengetahuan, roh nasihat dan kekuatan, roh pengertian dan kesalehan, roh takut akan Allah; dan peliharalah apa yang telah engkau terima. Allah Bapa telah memeteraikan engkau, Kristus Tuhan telah menguatkan engkau dan memberikan jaminan Roh dalam hatimu” (7,42).
Berangkat dari pelbagai hal di atas, arti kata Roh Kudus jelas memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah manusia. Hal ini terlebih tampak dalam keyakinan Yahudi dan fakta sejarah dalam Alkitab, dimana Roh Kudus memiliki peranan yang sangat lekat-dekat dengan manusia. Katekismus nomor 1831 bahkan menyatakan “Roh Kudus itu di utus ke seluruh Bumi, supaya menolong orang percaya tetap hidup baik.”
Sebenarnya, kalau Roh Kudus itu turun dan diam di dalam diri kita, maka tentu akan terpancar di dalam kehidupan harian kita yaitu Ruah Hokema/Roh Hikmat, Ruah Bin’ah/Roh Pengertian, Ruah Etsa/Roh Nasehat, Ruah Geburah/Roh Keperkasaan, Ruah Yahweh Yir’et/Roh Takut akan Tuhan, serta Ruah Yahweh Da’at/Roh Pengenalan akan Tuhan, serta juga Roh Kesalehan (Bdk: Yesaya 11:12). Dan, indahnya ternyata pelbagai lambang Roh Kudus ini bisa kita singkat-padat dengan sebutan sederhana penuh makna, yakni “mama”.
Nah, dalam konteks sebuah keluarga, tentu ada juga dari antara kita yang menyapa ibu atau isteri sebagai “mama”, bukan? Secara sederhana, mama adalah orang-tua perempuan seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, mama memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak. Mama adalah sebutan lain untuk ibu. Pemanggilan ibu dengan sebutan “mama” sudah menjadi hal yang umum di masyarakat perkotaan Indonesia. Ibunda atau bunda adalah panggilan lain yang kadang lebih hormat dan lebih menunjukkan panggilan kasih kepada sosok mama. Satu hal yang jelas, mama adalah pribadi istimewa: Bebannya boleh dikatakan dua kali lipat lelaki, sementara haknya tampaknya lebih banyak dikebiri dunia lelaki. Ia mengalami menstruasi yang sering menyebabkan rasa sakit setiap bulan, ia ‘harus melayani suami’, ia mengandung dan memelihara janin di rahimnya berbulan-bulan, ia melahirkan biasanya dengan kesakitan.
Banyak dari kita juga tahu, seorang mama mengalami menopause, ia menyusui, memasak, mengurus rumah, dan merawat anak. Ia pun semakin dituntut sebagai pencari nafkah. Sering pula dituntut untuk merawat suaminya. Ia juga dituntut agar selalu cantik dan menarik. Bahkan dalam mitologi Jawa, terlebih lewat cerita Damar Wulan, digambarkan tentang Minak Jinggo (yang melalui kekuasaannya) dengan mudah dapat mengambil isteri sesuka hatinya, dan memperlakukan mereka secara semena-mena. Mitologi ini mungkin menjadi salah satu dasar budaya patriarki di tanah Jawa selama ini.
Saya sendiri sepakat dengan sebuah aksioma yang menyebut bahwa dibalik kesuksesan setiap pria ada seorang ibu (baca: mama) yang hebat. Perlu kita ketahui juga, kebanyakan tokoh adalah pribadi yang dekat dengan figur ibu. Artinya, apa yang telah ditanamkan oleh ibu semasa balita, itulah pegangan pasti seumur hidupnya. Sebab itu, sangat bisa jadi, tugas paling mulia seorang wanita adalah melahirkan anak (1 Tim 2:15).
Secara historis-kultural, kita juga semestinya mengetahui betapa menentukannya peranan seorang mama. Beberapa guliran sketsa contohnya: Mengapa bintang rock n roll sekaliber Elvis Presley menjadi ‘kacau’ kehidupannya setelah ditinggal oleh mama tercintanya? Mengapa penyanyi pop legendaris, Michael Jackson menjadi ‘aneh’ dan gagal menemukan makna hidup sejak mamanya tidak bertegur sapa lagi dengan dia atas larangan ayahnya yang kecewa? Mengapa musikus klasik kelas dunia, Ludwig Van Beethoven menjadi setengah gila selepas ditinggal mati oleh mamanya? Mengapa pentolan The Beatles, John Lennon masih selamat meski ditinggal mama tercintanya setelah menemukan sosok mama pengganti pada diri Yoko Ono? Mengapa Kaisar Calligulla menjadi sangat bengis dan membantai siapa saja setelah membantai ibu dan saudara perempuannya sendiri?
Ada juga sebuah pengamatan yang menyatakan bahwa dari 200 orang paling berpengaruh dalam sejarah, diketahui bahwa peran seorang mama ternyata sungguh memberi pengaruh dominan. Sebuah contoh, tak banyak orang tahu bahwa Stalin, seorang pemimpin kejam dalam rezim komunis di Rusia mempunyai ibu yang bengis dan tak berperasaan, bukan?
Ada juga sebuah buku dari penerbit KOMPAS (Daoed Joesoef, “Hebatnya sang Emak”, 2010): “Alangkah bahagianya mempunyai Emak. Dia yang membesarkan aku dengan cinta keibuan yang lembut. Setiap langkah, tahap dan jenjang selalu membisikkan harapan”, begitulah tukas Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1978-1983).
Walaupun “mama” tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dia mendorong anak-anaknya agar tidak berhenti belajar, dan menjadikan Daoed Joesoef menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar doktor ekonomi di Universitas Sorbonne, Paris. Impiannya sendiri bermula dari figur mama. Mama yang terus menerus tanpa pernah bosan menggugah dan mendorong ke tingkat yang lebih tinggi. Satu satunya duka yang ia rasakan adalah berita duka kabar meninggalnya mama, saat dia sedang bersiap-siap untuk menempuh rangkaian ujian “Doktorat d’Etat”, sebuah gelar yang amat bergengsi: “Emak pasti bangga melihat aku bisa menyelesaikan tantangan ini. Kepergian emak bukan merupakan akhir perjalanan, tapi menjadi bagian dari hidup ini.”
Nah, dalam permenungan masa Pentakosta bersama dengan Bulan Maria inilah, “mama” bukan sekedar berarti ibu atau isteri yang banyak dituntut dan kadang mengalami aneka-ria “penindasan” seperti dimekar-paparkan di atas. Tentunya bukan pula “mama” yang dimaksud itu mamamia, mama lemon, mama loren atau bahkan mamalia, tapi mama yang sungguh-sungguh “mama”. Bagi saya, “mama” adalah sebuah kata sederhana dengan empat huruf yang ternyata merupakan pelbagai lambang dan fungsi Roh Kudus yang ternyata juga tercantum dalam Katekismus Gereja Katolik. Apa saja itu?
1. “Mama” memiliki arti pertama, yaitu: Minyak (Kat 695). Minyak disini bukan berarti minyak telon, minyak kayuputih, minyak rambut, minyak tawon, minyak lawang, minyak goreng ataupun minyak zaitun. Minyak ini bukan sembarang minyak tapi minyak urapan (Bdk. 1 Yoh. 2:20). Minyak urapan sendiri adalah salah satu lambang Roh Kudus dalam Gereja Katolik (Bdk. 1 Yoh. 2:20-27; 2 Kor 1:21). Tetapi untuk mengerti sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini, orang harus mengingat urapan pertama, yang Roh Kudus kerjakan, yakni: Urapan Yesus. Yesus yang disebut “Khristos” sendiri (terjemahan dari perkataan Ibrani “Mesias”) berarti “yang diminyak/diurapi dengan Roh Allah”. Dalam tradisi Gereja Katolik, kita juga mengenal adanya tujuh sakramen, dan salah satu sakramen yang diberikan oleh Uskup, adalah sakramen krisma. Kata krisma sendiri bisa juga berarti minyak, “Khrismation” dalam Gereja-gereja Timur. Nama lain sakramen Krisma sendiri berarti sakramen penguatan. Dkl: Minyak ada untuk menguatkan yang lemah. Dalam Kitab Suci, minyak kerap hadir, sebagai obat yang menguatkan: ia diberikan kepada yang sakit, atau diolesi pada luka (Mazmur 109:18; Yesaya 1:6; Injil Markus 6:13; Yakobus 5:14). Dkl: Sifat “mama” yang pertama yaitu, sebagai minyak, yang ada untuk menguatkan yang lemah.
2. “Mama” memiliki arti kedua, yaitu: Air, (Kat 694). Tentunya bukan sekedar air mata, air keringat, air susu, air terjun, atau bahkan air mancur, tapi lebih pada air hidup. Bicara soal air, saya jadi teringat ketika saya mengunjungi pastoran seorang romo projo di lereng Merapi. Romo Kirdjito namanya. Ia menegaskan, betapa rakyat Merapi sangat mencintai air, terlebih adanya sebuah keyakinan bahwa air itu punya roh (jiwa). Air hidup sendiri melambangkan tindakan Roh Kudus dalam upacara pembaptisan: “kita dibaptis dalam satu Roh”, kita juga “diberi minum dari satu Roh” (1 Kor. 12:13). Air hidup ini mengalir, dari Kristus yang disalibkan (Yoh. 19:34; 1 Yoh. 5:8) yang memberi kehidupan abadi (Bdk. Yoh. 4:10-14; 7:38; Kel. 17:1-6; Yes. 55:1; Zakh. 14:8; 1 Kor 10:4; Why. 21:6; 22:17). Air sendiri sesungguhnya adalah elemen penting dalam kehidupan. Tanaman membutuhkan air sebagai penyalur sari-sari makanan, bukan? Hewan juga membutuhkan air untuk menjaga suhu badannya stabil, bukan? Manusia? Sudah pasti manusia tidak dapat hidup tanpa air! Seorang filsuf pertama Yunani, bernama Thales pernah mengatakan bahwa semua makhluk hidup itu berasal dari air. Bahkan, seorang pemikir dan penulis buku dari Jepang mengatakan bahwa 80% lebih bagian tubuh manusia terdiri dari air. Jangan dilupakan juga, pelbagai kegiatan harian manusia pasti memerlukan air, seperti: mandi, minum, keramas, mencuci baju/celana/piring/gelas, dsbnya. Dkl: Sifat “mama” yang kedua, yaitu, sebagai air, yang ada untuk menyegarkan yang dahaga.
3. “Mama” memiliki arti ketiga, yaitu: Merpati, (Kat 701). Banyak dari kita tentu mengingat ketika Kristus naik dari air pembaptisan-Nya, Roh Kudus – dalam rupa merpati – turun atasNya dan berhenti di atasNya. Atau juga, ketika air bah sudah surut, maka dipilihlah seekor merpati, – yang diterbangkan oleh Nabi Nuh dari dalam bahtera. Merpati itu kembali dengan sehelai daun zaitun segar di paruhnya sebagai tanda bahwa bumi sudah dapat didiami lagi (Bdk. Kej 8:8-12). Yesus sendiri pernah mengatakan pada Injil Matius 10:16, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Merpati sendiri adalah seekor burung yang mampu terbang berkilo-kilometer jauhnya, dan mau kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu, merpati dipakai sebagai lambang PT POS, yang mengantarkan surat ke tempat tujuannya, walaupun jaraknya jauh. Walaupun ia dilepas di tempat yang jauh, ia sanggup untuk kembali ke rumah. Lalu, dimana letak ketulusannya? Banyak orang menganggap, merpati putih adalah lambang perdamaian, karena sifatnya yang elok dan bulunya yang melambangkan kesucian. Dkl: Sifat “mama” yang ketiga yaitu, sebagai merpati, yang ada untuk melembutkan yang keras (Bdk: Mat 3:16,Yoh 1:32).
4. “Mama” memiliki arti keempat, yaitu: Api, (Kat 696). Api adalah lambang daya transformasi perbuatan Roh Kudus. Dalam “lidah-lidah seperti api”, Roh Kudus turun atas para Rasul pada pagi hari Pentakosta dan memenuhi mereka (Kis 2:3-4). Dalam Alkitab, kita mengetahui bahwa Nabi Elia, yang “tampil bagaikan api dan perkataannya bagaikan obor yang menyala” (Sir 48:1), dengan perantaraan doanya, ia menarik api turun atas kurban di gunung Karmel (1 Raj 18:38-39). Yohanes Pembaptis, yang mendahului Tuhan “dalam roh dan kuasa Elia” (Luk 1:17) mengumumkan Kristus sebagai Dia, yang “akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk 3:16). Mengenai Roh ini, Yesus berkata: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku harapkan, api itu telah menyala” (Luk 12:49). Dalam tradisi rohani, lambang api ini dikenal sebagai salah satu lambang yang paling berkesan mengenai karya Roh Kudus. Rasul Paulus juga pernah menegaskan, “Janganlah padamkan api Roh Kudus” (1 Tes 5:19). Menurut Alkitab, murid-murid Yesus pada hari mereka menerima Roh Kudus mampu mempertobatkan tiga ribu jiwa, masing-masing memberi dirinya dibaptis. Disinilah, bicara soal api Roh Kudus, saya jadi mengingat sebuah api unggun yang kerap kami buat ketika berada di puncak gunung atau mengadakan kemping bersama. Dkl: Sifat “mama” yang keempat yaitu, sebagai api, yang ada untuk menghangatkan yang dingin. Bukankah Rasul Paulus juga pernah berkata kepada jemaat di Roma, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” (Roma 12:11).
Pentakosta sendiri berarti, hari “kelima puluh” sesudah Paskah. Sebelum Pentakosta, Gereja mempersiapkan diri “mohon karunia Roh Kudus” dengan ber-novena selama 9 (novem) hari berturut-turut. Dasar Gereja menganjurkan novena adalah doa para rasul yang menantikan turunnya Roh Kudus selama 9 hari di Yerusalem. Ada spiritus sapientiae – roh kebijaksanaan, Ada spiritus intellectus—roh penalaran, ada spiritus consilii – roh penasehat dsbnya: “Roh Engkaulah hawa. Di dalam-Mu, nafas kami ada. Jika Kau berhenti bernafas bagi kami, habis pulalah nafas kami. Kadang, dalam ruwet kehidupan kami lupa. Kami cari nafas yang bukan nafas-Mu. Hawa yang bukan hawa-Mu: Dalam kegelapan, dalam kepengapan dan kekelaman. Di sana kami bernafas dengan nafas kebutaan dan kesesakan. Kami bernafas bukan dengan nafas-Mu”.
Akhirnya, bersama perayaan dan Ulang Tahun Gereja di masa Pentakosta ini, marilah kita memohon rahmat Tuhan, supaya setiap pribadi dalam keluarga dan pelbagai komunitas basis kita masing-masing, juga berani memiliki “mama”: minyak-menguatkan yang lemah, air-menyegarkan yang dahaga, merpati-melembutkan yang keras, serta api-menghangatkan yang dingin. Yah….semoga! Selamat ber-Pentakosta.
Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Salam interupsi,
Rm.Jost Kokoh Prihatanto, PR