Hampir setiap pagi aku melewati dua perempatan, Ring Road dan Gejayan. Kuperhatikan bapak-bapak menawarkan koran-koran yang diletakkan di tangan mereka, mulai dari Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan beberapa yang lain. Koran-koran itu tertata rapi di tangan mereka dengan memperlihatkan judul-judul koran paling atas.
Sebelum mendekat ke pengendara mobil dan motor, para penjual koran, dari jauh, sudah tersenyum. Mereka mendekat dan memperlihatkan judul-judul koran yang mereka bawa, menawarkannya dengan harga yang bervariasi. Meskipun korannya tidak dibeli sang pengendara atau bahkan senyuman pun tidak dibalas, mereka tetap tenang dan mampu tersenyum pada pengendara berikutnya. Kulihat senyuman yang nyaris tanpa beban.
Dengan rompi biru yang hampir mirip dengan rompi khas polisi pengatur jalan, penampilan mereka cukup menarik perhatianku. Hanya saja mereka tidak memakai sepatu lars berwarna hitam yang terbuat dari kulit yang lumayan mahal dan helm di kepala. Mereka hanya memakai alas kaki seadanya dan topi tipis biasa.
Siang hari, di tengah panas teriknya matahari, saat aku pulang dari kampus, ternyata senyuman itu masih dapat kusaksikan. Hati kecilku mengatakan: “Mereka luar biasa!” – “Mereka profesional” dalam bekerja. Hampir setiap hari aku bisa menyaksikan semua itu. Aku seakan terus disapa, meskipun sebenarnya mereka hampir tidak penah menawari koran-koran yang mereka jajakan padaku.
Sejenak, kulepaskan bayang-bayang para penjual koran. Aku melihat ke dalam diriku, melihat perjalanan hidupku beberapa tahun terakhir ini. Kadang-kadang aku merasa sulit melewati hari-hariku, kadang juga merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk kotak Yogya. Perasaan bosan kadang-kadang menyelimuti benakku. Perutusan yang aku jalani seakan menjadi beban bagi diriku. Pada saat-saat seperti itu, ternyata aku begitu sulit untuk tersenyum. Aku lebih senang meratapi keadaanku.
Aku kembali ke para penjual koran. Aku bertanya pada diriku sendiir: “Bisakah aku seperti mereka?” Meskipun korannya tidak dibeli sang pengendara atau bahkan senyumannya tidak dibalas, mereka tetap tenang dan mampu tersenyum kepada pengendara berikutnya. Mereka memberikan senyuman yang nyaris tanpa beban.
Tersenyum di tengah panasnya terik matahari kehidupan, di tengah perutusan yang kadang-kadang membosankan, apakah mungkin? Mereka menjadi sumber inspirasiku untuk dapat tersenyum, meski tidak dibalas. Aku bisa belajar banyak dari mereka, terutama menjadi profesional dalam perutusanku.
Aku yakin bahwa ini adalah cara Tuhan mendidikku, yaitu belajar sesuatu yang sederhana dari orang-orang sederhana. Belajar untuk menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, meski tidak mudah, adalah tantangan bagiku di kemudian hari. Dan akhirnya, belajar menjadi profesional di tengah panas teriknya matahari kehidupan adalah suatu pelajaran sederhana dan inspiratif bagiku. (Valentina, SdC)
Sumber: Majalah Rohani No. 02, Tahun ke-58, Februari 2011