Frater Oratus menceritakan bagaimana ia sekarang khusyuk berdoa pribadi dengan Yesus. Ia mengakui bahwa ia belajar banyak dari seorang ibu dan bapak yang ia lihat di gereja tiap pagi. Bapak dan ibu itu setelah Misa selalu masih berlutut di depan Sakramen Mahakudus. Mereka sangat khusyuk berdoa. Frater Oratus, yang tadinya kadang malas dalam doa pribadi, menjadi tertarik dan terpacu dengan melihat bapak dan ibu itu. “Ternyata dorongan untuk tekun berdoa aku peroleh dari hidup doa sepasang awam.”
Suster Setiarini suatu hari mulai bosan di biara. Banyak soal dialami, entah di komunitas, di perutusan, dan dalam hidup pribadi. Ia mulai sedikit merasa kering. Kadang terpikir dalam hati untuk mundur dari kongregasi. Pada waktu ia mau memikirkan niatnya itu, ia tinggal di rumah orang tuanya yang sudah tua. Selama seminggu di rumah, ia menimba banyak semangat dari kedua bapak ibunya, yang ternyata mereka saling setia. Meski kadang banyak persoalan dialami, tetapi mereka tetap setia. Pulang dari libur di rumah, Sr. Setiarini menjadi mantap untuk tetap setia dalam kongregasi. Ia bersyukur atas teladan hidup orangtuanya.
Bruder Pauperius mengungkapkan bagaimana ia belajar hidup sederhana di kongregasi dari kakaknya yang berkeluarga. Kakaknya adalah seorang guru SMP. Kakak dan istrinya adalah pekerja giat. Yang menarik bagi Bruder adalah bahwa kedua kakaknya hidup sederhana. Rumahnya biasa. Meski mereka dapat berpesta-pesta, tetapi mereka tidak membuatnya. Meskipun dapat membeli macam-macam barang, mereka tidak melakukannya. Prinsip mereka adalah, bila suatu barang itu tidak berguna bagi kehidupan mereka, meski itu baik, mereka tidak mau membelinya. Dengan prinsip itu ternyata mereka sekeluarga lebih gembira dan tenang. Semangat hidup sederhana yang real itu sangat mempengaruhi bruder, sehingga bruder semakin dapat menghayati kaul kesederhanaan dengan lebih mantap dan gembira.
Pastor Dermawansa sangat heran dengan sikap Bapak Jefri, seorang anggota Dewan Paroki yang sangat dermawan. Pak Jefri orangnya mudah menolong siapa pun di paroki itu. Setiap ada kematian umat Lingkungannya, ia datang membantu, setiap ada orang membutuhkan bantuan dia menolong dengan penuh semangat. Ia dengan mudah juga meminjamkan kendaraan dan beberapa peralatan yang dipunyai untuk kepentingan Gereja dan kegiatan Mudika. Meski sebenarnya sibuk dengan perusahaannya, ia selalu hadir dalam rapat Dewan dan idenya sangat banyak untuk mengembangkan kehidupan Gereja, terutama generasi muda. Bila dimintai pertolongan, ia selalu menyisihkan waktu untuk membantu. Ia tidak kikir dengan waktu dan dana bagi kepentingan umat Paroki. Pastor Dermawansa yang masih muda melihat Pak Jefri menjadi tertarik dan kagum. Dan bukan hanya tertarik, tetapi kemurahan hati Pak Jefri bagi kehidupan Gereja itu mempengaruhi sikapnya. Pastor Dermawansa belajar lebih memberikan diri bagi kehidupan umat lewat teladan Pak Jefri.
Frater Taatius pernah mengalami rasa berat karena harus taat kepada pembesarnya. Menjadi sangat berat karena ia merasa benar dan mempunyai ide cemerlang, sedangkan ide pemimpinnya tidak cemerlang. “Bagaimana aku dapat menaati pembesarku yang kurang benar?” demikian suatu hari ia mengeluh. Suatu hari ia bertemu dengan mantan temannya di SMP dulu yang sekarang menjadi militer. Dalam pembicaraan sekitar 2 jam yang relax, ia akhirnya dapat mengerti bahwa di militer ternyata ketaatan itu menjadi unsur sangat penting. Temannya harus taat pada pemimpinnya meski ide pimpinan kadang juga kurang hebat dibandingkan idenya. Frater juga pernah bertemu dengan temannya yang bekerja di perusahaan swasta, ternyata di sana ia dituntut ketaatan yang besar juga. Sejak itu ia lebih mudah untuk menaati pimpinannya apa pun yang terjadi.
Suster Tabahita mempunyai pengalaman yang sungguh meneguhkan panggilannya, yaitu waktu live in di suatu keluarga di desa. Keluarga itu masih keluarga muda, tidak kaya, dengan 2 anak. Yang menarik bagi suster adalah keluarga ini begitu tabah menghadapi banyak cobaan dan tantangan hidup. Mereka menghadapi suami di PHK dari perusahaan karena bangkrut, anaknya yang kecil sakit leukemia yang sepertinya sulit disembuhkan. Semua ini menjadi beban tersendiri yang harus dipikul. Namun mereka kelihatan tabah, pegangannya adalah pada Tuhan sendiri, yang selalu mereka mintai tolong dan kekuatan tiap hari. Dari live in Sr. Tabahita menjadi semakin kuat, dan tidak mudah cengeng bila mengalami tantangan dalam hidup maupun perutusan. “Ada banyak orang yang hidupnya lebih berat dari aku, dan mereka tabah, maka aku juga harus kuat,” demikian refleksinya.
BELAJAR HIDUP DARI AWAM
Beberapa teman kita di atas mempunyai pengalaman belajar hidup dan menghayati hidup membiara dari teman-teman awam, entah dari orang tua, saudara, teman, dan orang lain. Nampak peran awam sangat besar dalam membantu mereka mengembangkan dan meneguhkan hidup panggilan mereka, terlebih dalam situasi yang tidak mudah. Hidup awam yang sungguh baik dan bersemangat Kristus memberikan kekuatan dan juga peneguhan bagi mereka yang tadinya belum mantap dalam hidup membiara mereka. Ada yang belajar berdoa khusyuk, ada yang belajar hidup setia, hidup sederhana, belajar memberi secara tuntas, belajar taat, dan belajar mencinta sungguh-sungguh dari rekan awam.
Dari pengalaman kita semua kiranya kita dapat mengiyakan bahwa kita dapat hidup membiara seperti sekarang dan menjadi lebih kuat, tidak lepas dari peran rekan awam selama proses formasi sampai kita berkarya sekarang ini. Kiranya jelas bahwa sebagai sesama umat Allah dalam Gereja, kita dapat saling belajar untuk meneguhkan panggilan kita masing-masing.
BANTUAN AWAM DALAM FORMASI
Dari pengalaman di atas, kiranya dalam formasi, kita dapat melibatkan awam dalam pembentukan semangat kaum biarawan-biarawati. Untuk itu meman perlu dibuat langkah-langkah yang nyata, dalam hal apa kita minta bantuan awam dan dalam hal apa mereka dapat dilibatkan. Beberapa hal kiranya dapat dipikirkan antar lain:
Dalam pembentukan kedewasaan manusiawi: Proses formasi yang awal adalah membantu calon untuk mengembangkan kedewasaan manusiawi mereka. Mereka perlu dibantu untuk menjadi orang dewasa secara manusiawi. Hal ini meliputi kedewasaan fisik, psikologis, sosial, afeksi, kognitif, dll. Dalam proses pelatihan dan pengembangan kedewasaan ini kiranya banyak awam dapat dilibatkan untuk mebantu. Di luar biara sekarang ini banyak pusat atau pelatihan untuk menantang kedewasaan orang muda. Kiranya kita dapat mempertimbangkan untuk juga meminta bantuan profesional dalam hal ini, sehingga calon kita dapat dibantu lebih mantap dan terarah dalam pembentukan kedewasaan pribadi manusia. Beberapa awam ahli psikologi, ahli pendampingan kelompok sosial, ahli pelatihan outbound, ahli pengaturan manajemen diri, dapat dipertimbangkan untuk membantu kita. Apalagi tenaga formasi kita biasanya tidak banyak dan juga ketrampilan dan keahliannya terbatas. Jasa ahli awam kiranya dapat digunakan. Kebutuhan live in di masyarakat, kebutuhan live in di keluarga, pelatihan hidup sederhana dan pelatihan daya tahan, dapat meminta bantuan rekan awam. Dari pengalaman lapangan, rekan awam biasanya dengan senang hati membantu kebutuhan formasi bagi calon biarawan dan pastor.
Kebutuhan peningkatan keahlian non-teologis/rohani: Mengingat kebutuhan hidup dan karya, banyak dari kita harus meningkatkan ketrampilan dan keahlian dalam berbagai bidang yang dibutuhkan seperti keahlian mengajar, keahlian manajemen, keahlian keuangan, keahlian kesehatan, dan lain-lain. Sangat jelas kita tidak akan dapat memenuhi dan melatih hal itu sendirian. Kita harus mintabantuan ahli-ahli awam yang memang banyak berkecimpung dan menangani hal-hal di atas. Maka kita pun harus terbuka untuk minta bantuan mereka.
Sharing hidup keluarga dengan nilai-nilai Kristianinya: Di dalam formasi awal (novisiat dan postulat), kadang sangat dibutuhkan pengertian yang realistik dan juga sharing hidup berkeluarga dari orang yang memang menjalankannya dengan baik. Bagaimana hidup berkeluarga, persoalan-persoalan yang dihadapi, nilai-nilai kesetiaan dan Kristiani keluarga, diperlukan agar calon memang memahami hidup berkeluarga secara baik dan tepat. Dengan pemahaman itu mereka dapat membandingkan dan mensejajarkan hidup panggilan mereka dengan panggilan hidup keluarga. Dari berbagai pengalaman, calon dapat diperkuat tentang panggilannya justru karena dapat menerima dan menghargai panggilan hidup berkeluarga. Apalagi bila yang ber-sharing dapat juga mengungkap nilai-nilai kesetiaan, kasih, kesederhanaan, ketaatan, kedewasaan, tanggungjawab, dan kesucian dalam keluarga yang juga ada di biara, akan sangat membantu mereka.
BAGAIMANA MEMILIH FORMATOR AWAM
Persoalan yang kiranya perlu dipertimbangkan matang oleh para formator dan kongregasi adalah bagaimana memilih awam yang ingin dilibatkan dalam proses formasi? Kriteria apa yang akan kita gunakan untuk memilih mereka, sehingga bantuannya sungguh dapat meningkatkan hidup dan panggilan calon. Menurut saya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Bila yang diminta adalah personal: Beberapa awam kita minta untuk membantu formasi secara pribadi bukan sebagai kelompok institusi. Mereka kita minta karena mempunyai kompetensi, keahlian, ketrampilan yang dapat membantu proses formasi calon kita. Untuk bantuan yang lebih personal ini perlu diperhatikan antara lain:
a. Kompetensi awam: Apakah mereka mempunyai kompetensi yang kita butuhkan? Apakah mereka ini mempunyai keahlian khusus, ketrampilan khusus, yang memang kita butuhkan bagi perkembangan calon. Misalnya, ahli musik yang akan melatih calon; ahli bahasa Inggris yang dibutuhkan calon; psikolog yang dimintai mengetes karakter dan daya tahan calon; dokter atau perawat yang akan membantu menjelaskan tentang kesehatan atau seksualitas secara medis; ahli pidato yang akan mengajari berpidato di depan orang banyak.
b. Hidup dan karakternya baik: Oleh karena ini bantuan untuk formasi yang kadang sangat memerlukan keteladanan hidup, maka perlu juga dipertimbangkan kehidupan dan karakter awam yang kita mintai tolong. Apakah secara umum hidupnyab aik, tidak banyak skandal, tidak menjadi soal di masyarakat? Bila dia Katolik, minimal menghidupi kekatolikannya secara baik. Kadang memang orangnya ahli, tetapi karena hidupnya kurang bersih di masyarakat, lalu dapat berdampak jelek bagi calon karena calon kita kadang belum sangat kritis.
c. Menghargai hidup membiara: Ada baiknya juga bila awam yang kita mintai tolong itu memang juga punya penghargaan pada hidup membiara. Hal ini penting karena mereka kita mintai bantuan untuk ikut mendidik dan mengembangkan calon yang mau hidup membiara. Bila dia anti hidup membiara atau terlalu sinis, dampaknya akan lebih jelek bagi calon. Salah-salah ia tidak menyemangati calon untuk setia dalam biara, tetapi malah membakar untuk keluar semua!
2. Bila yang diminta adalah institusi/badan: Kadang kita tidak minta sebagai pribadi tetapi sebagai institusi atau kita menitipkan calon kita dalam institusi tersebut. Misalnya calon kita kuliahkan di institusi itu, atau dikursuskan dalam institusi tersebut. Untuk ini perlu diperhatikan beberapa hal antara lain:
a. Institusi dan programnya bermutu. Kita perlu melihat dan memilih institusi yang bermutu yang memang dapat membantu kebutuhan peningkatan calon kita. Institusi bermutu berarti pengelolaannya baik, programnya yang ingin kita ambil juga baik. Bila itu institusi sekolah penting kita lihat apakah terakreditasi baik atau tidak; diakui oleh pengguna lulusan atau tidak. Kadang ada kongregasi yang asal menitipkan calonnya untuk kuliah di suatu institusi, yang ternyata di situ tidak ada proses belajar mengajar karena hanya merupakan institusi pencetak sertifikat dan ijazah aspal. Maka calon tidak akan mendapatkan tambahan pengetahuan dan ketrampilan, sehingga setelah lulur tidak dapat melakukan apa-apa juga. Maka kongregasi dirugikan.
b. Ada tempat dan dukungan untuk mengembangkan hidup biara: Yang tidak kalah penting adalah apakah di situ dan di sekitarnya ada tempat atau suasana yang juga mendukung hidup membiara calon. Hal ini penting agar calon tetap kuat panggilannya meski belajar atau kursus di tempat itu. Kadang kongregasi harus berani memutuskan yang terbaik bagi calon. Dapat terjadi bahwa institusinya bermutu, tetapi di sekitar itu tidak ada dukungan untuk hidup membiara; maka perlu dipilih institusi lain yang mungkin rankingnya kedua, tetapi situasinya mendukung untuk panggilan.
Jelas kita dapat saling belajar dari kaum awam, baik dalam hal kompetensi dan nilai-nilai kehidupan. Kita dapat bahkan menjadi semakin kuat dalam hidup membiara, karena dukungan dan bantuan kaum awam. Maka penting bila kita terbuka untuk kerjasama itu, terutama kerjasama dalam meningkatkan mutu panggilan masing-masing. Dan dalam hal formasi, proses kerjasama ini pun sudah dapat dimulai, dengan melibatkan beberapa awam untuk membantu proses formasi. (Paul Suparno, SJ)
Sumber: Majalah Rohani No. 06, Tahun Ke-58, Juni 2011