Featured Image Fallback

Rm. Hery Berthus Managamtua Simbolon, SJ

/

Seksi Komsos

Untuk menyalakan kobaran api, haruslah ada sepercik api yang menyulut. Dan percikan ini muncul dalam kisah kelahiranku. Ibuku mengalami kesulitan untuk melakukan persalinan. Butuh beberapa rumah sakit hingga akhirnya Bapaktuaku (alias Pakdhe) yang di tinggal Bogor mengambil inisiatif untuk membawa ibuku ke Bogor. Dan aku pun dilahirkan di RS PMI Bogor pada tanggal 17 Juli 1979 ke tengah-tengah keluarga M. Simbolon. Sejak saat itu, Bapaktua Bogor dengan kumis dan jenggotnya yang lebat selalu menjadi gambaran akan Allah yang penuh kasih, sebagaimana dikatakan pemazmur: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.” (Mzm 139:13).  Pengalaman kasih Allah bahkan sudah kurasakan sejak aku belum melihat dunia.
Konon ceritanya, nenekku sudah menyiapkan nama bagiku, yaitu Martua (alias Yang Diberkati), bahkan selimut dan segala perlengkapan bayiku sudah diberi label nama tersebut. Namun kemudian datang permintaan dari pihak ayahku bahwa namaku adalah Managamtua, yang berasal dari bahasa Batak manogam (menantikan atau yang dinantikan) dan tua (berkat), berhubung aku adalah anak pertama dari empat bersaudara dengan kisah persalinan yang menegangkan. Jadilah namaku Managamtua Hery Berthus Simbolon.
 
Sebenarnya sewaktu kecil tak pernah terbersit dalam benakku cita-cita untuk menjadi seorang imam. Aku selalu ingin menjadi seorang astronot atau ahli komputer. Ibuku sendiri mengharapkanku menjadi seorang pengusaha atau dokter. Namun minat akan pengetahuan sudah muncul sejak masih kanak-kanak. Ketika pendaftaran masuk TK telah lewat ditambah lagi usiaku yang belum cukup, aku dengan ditemani ibuku datang memohon langsung kepada Kepala Sekolah TK Strada Dewi Sartika II agar aku boleh sekolah. Mungkin Ibu Kepala Sekolah berpikir, ”Pede (Percaya Diri) banget anak ini”, dan karena terkesan ia lantas mengijinkanku masuk.
 
Selama bersekolah di SD Strada Bina Mulia I (1985-1991) lalu SMP BHK (1991-1994), aku bukanlah termasuk anak yang gaul. Ukuran tubuh yang imut tentu saja kerap membuatku kalah ’bertarung’ dengan kawan dan lawanku. Namun tubuh yang sebesar biji sesawi tadi diimbangi dengan nyali yang sebesar gunung. Tak heran aku kerap diminta menjadi Ketua Kelas, Pemimpin Pasukan Upacara, bahkan mewakili sekolah dalam kompetisi-kompetisi akademik. Dan sejak kelas V SD aku sudah ’berkaul’ ingin hidup mandiri, tinggal di asrama, jauh dari orang tua saat SMU nanti. ”Pede aja lagi…”, pikirku kala itu.
 
Tawaran kasih Allah menjadi lebih jelas kala aku kelas II SMP. Dalam suatu pelajaran agama, Bu Roosa, guruku waktu itu menawarkan untuk masuk seminari. “Masuk seminari itu punya dua keuntungan. Sekolahnya bagus dan kalau lulus kalian akan dapat 2 ijazah, ijazah SMU dan ijazah Seminari.” Aku yang sejak kecil selalu terobsesi untuk masuk sekolah unggulan demi masa depan yang cerah tentu saja tertarik dengan tawaran tersebut. Meskipun hati kecilku bertanya, “Lha aku kan gak kepingin jadi Romo.” Tapi prinsipku pede aja lagi.
    
Kisah pun berlanjut saat tinggal di Seminari Menengah Wacana Bhakti dan bersekolah di SMU Gonzaga (1994-1997). Gambaran Allah sebagai seorang gembala yang penuh kasih kebapaan muncul dalam diri para Yesuit yang berkarya di Seminari. Bahkan Kepala sekolahku yang adalah seorang Bruder Yesuit merupakan seorang gembala dalam arti sesungguhnya. Dari pagi hingga usai jam sekolah, ia mengenakan kemeja rapi, duduk di Kantor Kepala Sekolah. Tetapi setelah jam sekolah usai, ia pakai celana congkrang warna hitam, kaos singlet putih, topi caping, membawa tongkat dan dengan pede menuntun kambingnya. Namun gambaran gembala ini pulalah yang menempatkanku dalam pilihan yang sulit. Saat duduk di kelas II Seminari, aku sudah memutuskan untuk keluar dari Seminari dan tidak melanjutkan pendidikan calon Imam. Ketika aku hendak menyampaikan keputusan ini pada Romo pembimbing rohani, kukatakan: “Romo, saya mau keluar.” Romo itu menjawab: “Lho, keluar kemana?” “Saya tidak akan melanjutkan menjadi Imam.” “Kenapa?”, tanya Romo itu. “Saya ingin menjadi Bapak.” Romo itu pun menimpali, “Lah Romo kan artinya juga Bapak.” “Saya mau jadi bapak keluarga,” jawabku singkat. Suasana hening. Aku takut sekali, takut dimarahi. Romo itu manggut-manggut dan membuatku makin takut. Tapi kemudian ia tersenyum. Ketegangan mulai kendur sedikit. Dan ia menjawab, “Bagus.” Wah, aku merasa senang sekali. Kupikir keputusanku diterima Romo itu. Aku merasa senang dan menang. Tapi kemudian Romo itu melanjutkan, “Bagus sekali cita-citamu menjadi Bapak. Tapi kalau kamu menjadi Bapak Keluarga, berapa orang toh anakmu? 12 atau 15? Paling-paling 3 atau 4 anak. Tetapi….kalau kamu menjadi Romo, kamu akan punya berapa anak? Misdinar dan muda-mudi yang ada di paroki, siswa-sisiwi yang kamu didik di sekolah, anak-anak yang ada di panti asuhan,  mereka yang broken home dan jadi korban narkoba, bahkan anak-anak jalanan. Bukan cuma 4, bukan hanya 15, tetapi puluhan bahkan ratusan. Mereka adalah anak-anakmu.” Aku seperti disambar petir. Semua argumentasi yang kusiapkan jungkir balik, hancur berantakan. Aku tidak bisa menjawab. Aku memang tidak senang dengan jawaban Romo tadi, tapi dalam hati aku setuju, bahkan amat membenarkan semua yang ia katakan.
    
Tapi bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada orang tuaku, karena sebelumnya aku sudah mengatakan tidak akan menjadi Romo? Maka kukatakan bahwa aku mau sekolah ke luar negeri. Orang tuaku setuju, tapi bingung soal biayanya. Kujelaskan bahwa biayanya sangat mahal dan ibuku pun menjawab, “Yah kamu bisa saja sekolah ke luar negeri, tapi Edward, Angel dan Chandra (adik-adikku) tidak makan.” Melihat kesempatan ini, aku langsung menyambar, “Kalau begitu, saya mau jadi Romo.” Orangtuaku kaget. Tampak mata ibuku mulai berkaca-kaca. Ia tidak bisa menjawab dan hanya diam. Aku tidak tahu harus bilang apa dan berbuat apa. Namun lagi-lagi aku merasa pede aja untuk menjadi imam dalam Ordo Serikat Jesus.
    
Kisah pun berlanjut selama pembinaan (formasi) dalam Serikat Jesus, mulai dari Novisiat di Girisonta, Studi Filsafat di Jakarta, Mengajar di Xavier High School Micronesia, dan Studi Teologi di Yogyakarta. Proses formasi bukanlah hal yang mudah. Namun Allah lah yang selalu mengambil inisiatif dan menganugerahkan rahmat yang berlimpah. Kala menilik kembali jejak-jejak panggilanku, menjadi imam bagiku bukan sebuah gaya hidup, panggilan bukanlah sebuah life-style, melainkan sebuah way of life, jalan hidup yang hendak mengikuti jejak Kristus; sebuah pilihan yang hendak membawa hidup yang berlimpah bagi orang di sekitarnya (Yoh 10:10), mengobarkan hati mereka yang sedih dan bingung seperti dua orang murid yang di Emaus (Luk 24: 32). Maka, berangsur-angsur ke-pede-an ku yang dulu pun berubah menjadi PD. Bukan lagi percaya diri melainkan Percaya Dia. Pengalaman kasih Allah sebagai Bapa/Gembala yang baik menumbuhkan kepercayaan bahwa Allah pula yang akan menghujankan rahmat bagi perjalanan imamatku selanjutnya, sekaligus menantangku untuk berani keluar, membagikan hidup kita, entah apapun bentuknya. So, PD aja lagi…!
 
**
Romo Hery Berthus Managamtua Simbolon, SJ yang akrab disapa Romo Agam, adalah putra Paroki Trinitas – Cengkareng, yang ditahbiskan sebagai Imam Yesuit oleh Mgr. Ignatius Suharyo, Pr. Uskup Agung Semarang, pada 29 Juli 2009, di Kotabaru, Yogyakarta.  Orangtua Romo Agam, Bapak M. Valentinus Simbolon dan Ibu Theresia  A. br Rumapea tinggal di Wilayah 1, Paroki Trinitas – Cengkareng. 
 
Sumber:  Situs Serikat Yesus Indonesia (www.provindo.org)

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Reboan – Refleksi Iman AREK KAJ

/

Seksi Komsos

Seringkali kita lebih mengandalkan kemampuan diri sendiri dan kehendak manusia, kita dapat  terjebak pada kesombongan dan keangkuhan diri. Melupakan kesatuan dengan sang pokok anggur sejati, ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Kerangka Acuan Gerakan Tahun Syukur KAJ 2015

/

Seksi Komsos

PENGANTAR Tahun 2015 adalah tahun terakhir preiode implementasi Arah Dasar Pastoral (Ardaspas) KAJ 2011-2015.  Setelah sosialisasi Ardaspas KAJ pada tahun 2011, di tahun-tahun berikutnya umat ...
SELENGKAPNYA