Meski sudah bertunangan, sudah ditetapkan hari, tanggal dan waktu pernikahan, adalah kesalahan besar kalau pasangan calon suami-istri melakukan persetubuhan pra-nikah, sekalipun hal ini tidaklah sebesar kesalahan seorang anak muda yang sekedar ingin tahu. Namun tetaplah, bahwa tingkahlaku itu secara obyektif tetap tidak konsekuen, karena mendahului suatu kesempurnaan yang dalam kenyataan definitif belum ada. Suatu bukti yang amat jelas, bahwa persetubuhan pra-nikah itu mencurigakan, adalah suatu kenyataan lagi, bahwa secara sistimatis anak yang dihasilkan oleh hubungan itu dikucilkan. Jelaslah, bahwa hubungan seksual pra-nikah pada hakikatnya merampas salah satu unsur seksualitas yang asasi.
Memang, Tuhan mau memberikan kepada kita sebagai orang-orang Kristiani, suatu anjuran bodoh yang penuh hikmat, yaitu dalam saling mengungkapkan diri secara terbuka, kita senantiasa harus menolak dengan tegas adanya hubungan seksual pra-nikah. Hal ini adalah suatu kebodohan, karena dalam dunia yang secara teratur menonjolkan seks sebagai hal yang biasa saja, Gereja menolak hubungan seksual pra-nikah demi cinta kepada Kristus dan demi hormat bagi kekudusan perkawinan, yang berarti berjalan melawan arus dan bersifat non-konformistis yang membahayakan. Inilah suatu kebodohan yang penuh hikmat, karena dengan menolak mengambil bagian dalam mengurangi nilai seksualitas, kita memberi suatu kesaksian, yang dapat membantu orang lain untuk kemudian mengikuti langkah kita. Di samping itu, kita melindungi tingkat kerohanian cinta kita, dnegan menolak pengungkapan cinta kita dalam daging sebelum waktunya. Sebab persatuan seksual dalam perkawinan memperoleh arti yang jauh lebih besar dalam segi rohani dan jasmani, jika kita dalam waktu pertunangan memperhatikan tahap-tahap perkembangan dan kematangannya. Tuhan akan memberkati secara khusus persatuan suami-istri kalau seorang laki-laki dan seorang perempuan – demi cinta kepadaNya, baru memberikan diri secara jasmani, sesudah kedua orang itu bersama menyantap TubuhNya yang kudus dalam perayaan Ekaristi Perkawinan yang merupakan materai perkawinan sepasang kekasih.
Sejauh mana kita boleh berbuat?
Mereka yang bertunangan, yang akan menikah dalam waktu dekat, sering bertanya akan hal ini. Tiap tahap dalam perkembangan kematangan manusiawi, rohani, dan Kristiani, wajar kiranya ada cara-cara yang cocok untuk menyatakan cinta, secara afektif dan fisik. Sangatlah lumrah bahwa mereka yang bertunangan dapat saling merasakan cinta mereka satu sama lain, namun dengan syarat bahwa mereka tidak memasuki lahan hubungan seksual. Dan mengingat bahwa dari pengalaman terbukti, bidang ini luar biasa sulit, para pasangan harus bersepakat untuk berjaga-jaga bersama-sama.
Jika perbuatan-perbuatan intim yang wajar selama masa pertunangan, seperti ciuman biasa atau cumbuan mesra, terutama oleh kaum muda, lalu kebetulan menimbulkan godaan seksual, tidak ada alasan untuk menanggapinya secara berlebihan. Sebaliknya, tepatlah kiranya orang untuk menghindari situasi yang penuh bahaya itu (umpamanya melakukan mesra-mesraan yang terlalu lama, buka-buka pakaian, dll), karena situasi ini dari sendirinya menyebabkan dorongan ke arah persetubuhan.
Semua ini tidak mungkin dihayati tanpa pengurbanan. Jika pasangan calon suami-istri betul-betul sehati-sejiwa untuk berjuang bagi penghayatan yang benar, maka hal ini akan mempersatukan pasangan itu lebih tetap dan lebih dalam, daripada pengalaman seksual dini, dan hendak memperoleh serta-merta semuanya sekaligus langsung. Inilah harga yang harus dibayar demi mutu cinta: manusiawi dan Kristiani.
(Sumber: Yesus dan Tubuhmu, Tuntunan Moral Seksual Bagi Kaum Muda, Mgr. Andre Leonard, Obor, 2002)