Pengasuh yang terkasih, saya perempuan, 25 tahun. Empat tahun lalu, saya menikah dengan laki-laki dari Gereja Protestan. Waktu itu, karena sudah terlanjur hamil, saya ikuti saja permintaan suami untuk pindah agama. Tiga tahun setelah menikah, kami tidak bisa akur. Saat ini kami sudah cerai. Saya ingin sekali kembali menjadi Katolik. Apa yang harus saya lakukan? (Erlin, Jakarta)
Jawaban dari Rm. Alexander Erwin Santoso, MSF:
Erlin yang terkasih, sebelum menyampaikan jawaban saya, ada satu hal yang saya syukuri dari pengalaman Anda bahwa akhirnya Anda ingin kembali ke pangkuan Gereja Katolik, kendati telah melakukan kesalahan yang berat dengan menikah di luar Gereja Katolik tanpa izin. Kesadaran ini penting, mengingat perkawinan Anda yang gagal itu bukan hanya karena Anda telah menikah dengan pihak di luar Gereja Katolik, tetapi juga bahwa perkawinan itu telah membuat Anda keluar dari Gereja Katolik. Dan dengan demikian terkena hukuman tidak boleh menerima komuni suci.
Perkawinan yang sah, menurut Gereja Katolik, menyangkut kesediaan dari kedua pihak yang mau menikah untuk melangsungkan pernikahannya di Gereja Katolik menurut forma canonica yang telah ditetapkan dalam Hukum Gereja. Meskipun hanya satu saja pihak yang Katolik, pernikahan harus dilangsungkan di Gereja Katolik dengan peneguh dari pihak Gereja Katolik (diakon, imam, uskup, dst).
Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK 1983), khususnya dalam Kanon 1108-1123, ditetapkan berbagai peraturan tata peneguhan kanonik, mulai dari keharusan menikah hanya di hadapan peneguh Katolik, di paroki pihak Katolik, sampai tata peneguhan dengan rumusan resmi Katolik (forma canonica). Prinsip ini harus dipenuhi oleh setiap perkawinan orang Katolik, baik kedua pihak, maupun hanya satu saja pihak Katolik.
Izin untuk menikah di luar Gereja Katolik dimungkinkan jika pihak Katolik telah mengajukan permohonan menikah di luar Gereja (sebagai tempat upacara liturgis) dan telah mendapatkan izin dari Ordinaris Wilayah atau Pastor Paroki (KHK Kan 1118 § 1 mengenai Tempat Upacara Liturgis). Selain itu, perkawinan harus diteguhkan oleh peneguh Katolik (diakon, imam, uskup, dst) serta dua orang saksi (KHK Kan 1108 §1).
Penghindaran dari peneguhan Katolik akan menggagalkan atau menghalangi perkawinan karena tidak memenuhi salah satu atau semua syarat tata peneguhan kanonik (Katolik) dan membuat perkawinan tidak sah dan dinyatakan tidak ada. Meskipun sudah dicatat secara sipil, atau sudah menikah secara sipil, Anda tidak diperhitungkan sebagai orang yang menikah dan dianggap berada dalam perzinahan.
Dalam kondisi berada dalam pernikahan yang tidak sah, pihak Katolik dikeluarkan dari komunitas Gereja dan tidak diizinkan menerima komuni. Ia juga tidak dapat menerima rahmat dari pelayanan pastoral lainnya, seperti pemberkatan, Sakramen Krisma, Sakramen Perminyakan, sebelum perkawinan dibereskan atau dibarui.
Jika di kemudian hari, seperti yang Anda tuturkan, perkawinan itu ternyata gagal dan Anda terpaksa bercerai, semua itu adalah peristiwa sipil yang berada di luar peraturan Gereja Katolik. Pertanggungjawaban Anda kepada Gereja hanyalah bahwa Anda melakukan pernikahan tidak sah dan mengeluarkan diri dari Gereja Katolik.
Karena Anda menginginkan kembali ke pangkuan Gereja Katolik, maka Anda perlu membereskan semua urusan perkawinan yang tidak sah itu; mengurus keabsahan perpisahan sipil; dan kemudian mengaku dosa kepada pastor paroki tempat di mana Anda tinggal. Urusan iman dapat diselesaikan dengan menerima Sakramen Tobat dan melalui suatu proses pertobatan sejati. Urusan sipil juga harus diselesaikan, mengingat adanya akibat hukum sipil dari perkawinan Anda.
Semoga peristiwa ini semakin meneguhkan Anda dan kita semua para pembaca, bahwa menikah di Gereja Katolik bagi kita adalah suatu yang utama, penting diperhatikan, dan dipertahankan, untuk menjamin suatu pernikahan yang sah, terlindungi hukum Gereja. Tuhan memberkati!
(Sumber: hidupkatolik.com – Edisi No. 51, 18 Desember 2011)