Dalam suatu kesempatan, saya berjalan menyusuri lorong-lorong Malioboro menuju ke arah Alun-Alun Utara Yogyakarta. Setelah lelah berjalan, saya beristirahat sejenak di kursi yang ada di pinggir jalan. Seraya menikmati suasana khas kota Yogyakarta, pandangan saya terpaku pada sebuah bangunan tua yang selama berdirinya telah menjadi saksi bisu laju perkembangan kota.
Bangunan tua itu adalah sebuah kantor pos. Warga Yogyakart biasa menyebutnya sebagai kantor pos besar. Setelah terlalu lama melamun, terbersit dalam pikiran saya, kira-kira sampai kapan gedung itu akan berfungsi sebagai kantor pos?
Pikiran ini bukan tanpa alasan, teknologi informasi yang kian canggih tentu dapat mempermudah orang untuk berkomunikasi. Tidak perlu lagi menunggu berhari-hari lamanya hanya untuk menerima kabar, sekali “klik”, pesan pun sampai ke orang yang kita tuju.
Di kanan-kiri, saya melihat begitu banyak orang sibuk menggerakkan ibu jari mereka untuk mengirim SMS (short message service) lewat ponsel (telepon seluler) mereka. Ibu jari yang biasa digunakan untuk memijat badan yang lelah, rupa-rupanya memiliki fungsi baru yang lebih “bergengsi”.
Melalui gerak ibu jari yang memencet keypad, orang-orang dapat saling berkomunikasil. Tidak heran jika saat menggunakan perangkat itu, mereka dapat tertawa atau sekedar senyum-senyum sendiri ketika membaca SMS. Mereka pun tampak hanyut dan asyik dalam “dunianya sendiri”.
Tak dapat dipungkiri, seiring berjalannya waktu, manusia semakin pandai dalam berpikir dan berkreasi. Hal itu tampak dari begitu banyak hal canggih yang ditemukan manusia. Contoh nyata, kita dapat melihat ada berbagai macam jenis ponsel, mulai dari yang hanya terbatas untuk telepon dan SMS, hingga muncul jenis lain yang bisa untuk mendengarkan radio atau musik, memutar video, mengakses internet, dan sebagainya. Jika menilik dari ukuran, dapat kita temukan ponsel yang sebesar batu bata, sebesar bungkur rokok, dan bahkan lebih kecil lagi.
Dulu, mungkin tidak terbersit di dalam benak kita bahwa dunia teknologi informasi akan berkembang seperti ini. Bila dulu kita sangat jarang melihat orang yang memiliki ponsel, bahkan bisa dihitung dengan jari, sekarang mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek sudah biasa menggunakan ponsel.
Penemuan-penemuan saran teknologi informasi yang canggih itu tentu memiliki berbagai dampak. Dampak positifnya, kita dapat berkomunikasi dengan mudah. Bentangan jarak yang jauh tak lagi menjadi hambatan yang signifikan. Selain itu, kita pun dapat dengan mudah mencari informasi dengan mengakses internet. Teknologi canggih itu sungguh menawarkan kemudahan bagi kita, umat manusia.
Namun demikian, kita pun perlu eling lan waspada. Bila tidak hati-hati, kita akan hanyut di dalam “dunia lain” yang membutakan, yakni sibuk di dalam dunianya sendiri tanpa mempedulikan orang lain yang ada di sekitar kita. Akibatnya komunikasi interpersonal antara kita dan orang lain pun menjadi relatif. Orang hanya sibuk dengan ponselnya sendiri, meski di samping kita ada orang yang mengajak untuk berbincang. Bila itu yang terjadi, kita justru terasing dengan diri kita sendiri dan juga orang lain.
Selain itu, bila kita tidak hati-hati, peran manusia pun akan tergantikan oleh teknologi. Bukan suatu hal yang mustahil bila suatu saat nanti kantor pos akan tutup dan pengangguran akan semakin bertambah. Mengapa? Karena orang tidak lagi butuh sarana komunikasi “kuno” seperti itu, sebab ada yang instan dan mudah.
Maka, sebagai orang Kristiani, bagaimana kita mesti bersikap? Apakah kita mesti menolak perkembangan teknologi seperti itu? Ataukah kita cenderung permisif dengan segala yang ada tanpa mau bersikap kritis?
Gereja tidak menutup mata terhadap perkembangan teknologi yang ada. Sebab itu semua merupakan buah dari kebudayaan yang terus berkembang. Gereja menyadari bahwa bila teknologi digunakan dengan tepat dan bijaksana, hal itu dapat membantu manusia dalam mengembangkan hati, budi, dan menjadi alat untuk mewartakan Kerajaan Allah.
Namun demikian, Gereja pun menyadari apabila perkembangan teknologi itu disalahgunakan dan tidak digunakan dengan bijaksana, justru akan berdampak tidak baik terhadap maunsia itu sendiri. Manusia justru menjadi abdi teknologi dan menjadi korban zaman, di mana martabat kita sebagai citra Allah justru direndahkan.
Kemajuan teknologi itu membantu manusia dan masyarakat modern, salah satunya agar dapat berkomunikasi jarak jauh dengan cepat dan jelas. Bila tidak hati-hati, perkembangan teknologi itu justru dapat menghancurkan manusia. Kehidupan sosial inter-personal pun lenyap “dimakan” teknologi. Maka, perkembangan teknologi canggih perlu selalu didampingi dengan pertimbangan moral agar teknologi tetap diabdikan bagi kepentingan manusia dalam arti sepenuh-penuhnya.
Sarana teknologi seperti itu hendaknya menjadi sarana bagi kita untuk mewartakan kebaikan. Manusia seharusnya diajak untuk meletakkan hatinya tidak pada sarana teknologi itu sendiri, melainkan kepada Tuhan dan menggunakan apa yang ada sebagai sarana perjumpaan dengan Yang Ilahi.
Pada akhirnya, sebagai orang Kristiani, kita tidak boleh menolak perkembangan teknologi yang ada. Kita pun tidak dapat menutup mata terhadap perkembangan teknologi. Yang terpenting ialah bagaimana kita bisa menggunakan teknologi itu dengan arif dan bijaksana.
Perkembangan teknologi hendaknya tidak menggantikan tempat manusia untuk bekerja dan berkreasi, melainkan menjadi sarana pendukung bagi manusia untuk bekerja dan berkreasi. Maka pertanyaan reflektif buat kita adalah “apakah teknologi sungguh membantu kita dalam menemukan Tuhan?” Atau jangan-jangan, kita justru tenggelam dalam teknologi itu sendiri, sehingga menjadi manusia yang terasing dengan dirinya sendiri dan juga orang lain. (Fr. Angga Sri Prasetyo)
(Sumber: Majalah Utusan No. 09, Tahun ke-60, September 2010)