Featured Image Fallback

Kasih Allah Yang Tanpa Syarat Telah Membebaskan Saya

/

Seksi Komsos

Saya, Romo Ignatius Yulianto, OMI, putra Indonesia angkatan ke-5 yang ditahbiskan sebagai Imam Oblat Maria Immaculata (OMI) pada 24 Juli 1991.   Saya pernah berkarya di Paroki Banyumas, Cilacap, dan Kaliori.  Saat ini saya bertugas sebagai Tim Formator di Novisiat OMI Beato Joseph Gerard, Ngemplak-Sleman, Yogyakarta.  Pengalaman iman yang akan saya bagikan ini semoga dapat menjadi sumber kekuatan dan inspirasi bagi  kita bersama.


Sejak Mudika saya aktif menggereja di Paroki tempat saya berasal.  Saya rajin ikut Misa Harian, berdevosi pada Bunda Maria lewat Doa Rosario dan Doa Angelus.  Karena keaktifan ini pulalah saya merasakan panggilan dari Tuhan Yesus sendiri yang menyapa saya secara khusus.  Pada waktu itu, ada Keputusan Pemerintah untuk membatasi tenaga imam  misioner asing yang berkarya di Indonesia.  Bahkan yang sedang bertugas pun ada yang harus pulang karena pembatasan tersebut.  Saat ikut mendaraskan doa-doa mohon panggilan di Paroki saya, tiba-tiba ada suatu pikiran yang muncul dalam diri ini: “Sekarang masih ada imam asing, tapi kalau nanti semuanya harus pulang, bagaimana?” Saya mulai bertanya-tanya pada diri saya, apa peran dan tanggungjawab saya melihat keadaan yang sedang Gereja hadapi ini.  Saya renungkan hal ini berkali-kali hingga muncullah kata-kata yang dikatakan Bunda Maria kepada para pelayan di pesta kawin di Kana: “Apa yang dikatakan kepadamu, lakukanlah…”  Lewat serangkaian Doa Rosario dan permenungan diri, akhirnya saya mantap mengambil keputusan untuk menjawab panggilan Tuhan pada saya. 
Bukan karena saya berasal dari Paroki yang digembalakan oleh para imam OMI kalau pada akhirnya saya memilih untuk menjadi seorang OMI pula.  Saya melihat OMI yang saat itu baru berkiprah di Indonesia masih membutuhkan lebih banyak orang lagi untuk membangun komunitas OMI Indonesia.  Belum lama ditahbiskan, saya mendapat tugas masuk dalam Tim Formator.  Ada sedikit rasa protes juga dalam diri saya saat menerima penugasan ini, tetapi setelah saya renungkan lebih dalam lagi, saya mendapatkan jawabannya bahwa inilah sebenarnya saat yang tepat untuk saya lebih bisa berperan dan terlibat dalam membangun OMI Indonesia.  Kalau selama ini saya hanya bisa berteori, melihat ini kurang, ini salah, sekarang adalah saatnya untuk saya memperbaiki situasi.  Menjadi bagian dari Tim Formasi tidaklah semudah yang saya bayangkan.  Saya harus dapat membina calon-calon OMI agar punya kebiasaan hidup doa, meditasi, konsentrasi, peka, mampu merefleksikan kehidupan, merenung dalam terang Kitab Suci, dan lainnya.  Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan seseorang.  Seperti kita membangun fondasi rumah, maka kita harus mencampur batu, pasir, kerikil, semen, dll.  Apa yang diajarkan dan dicontohkan tidak dapat langsung terlihat buahnya.  Diperlukan waktu yang panjang untuk berproses menuju ke arah yang lebih baik.  Tapi selalu ada rasa bahagia dalam diri saya saat menyaksikan para Novis khusyuk dalam doa, tenggelam dalam keakraban dengan Allah, Sang Sumber Hidup.  Kalau melihat hal demikian, rasanya semua pengorbanan dan rasa “kesal” hilang sirna dari diri ini, digantikan oleh rasa haru yang luar biasa.

Keterbukaan hati, kesetiaan dan ketaatan Bunda Maria pada Tuhan telah menjadi teladan saya sejak dulu.  Sebagai seorang OMI, saya perlu senantiasa menyerahkan diri kepada Allah mengikuti jejak Bunda Maria.  Saya ingin berkarya untuk keselamatan dan kebaikan manusia.  Biarlah Tuhan memakai diri saya sehingga saya bisa ikut ambil bagian dalam karya-karya keselamatan Tuhan bagi manusia.  Saya selalu menganggap Bunda Maria seperti ibu saya sendiri, tempat saya mencurahkan segala isi hati saya.  Saat kesulitan menerpa, saat saya tak berdaya, sedang sedih, biasanya saya akan datang kepada Bunda Maria, saya akan khusyuk berdoa di depan patungnya, mengungkapkan semua permasalahan saya padanya, dan saya mengalami bahwa Bunda Maria selalu mendengarkan bahkan mampu meringankan beban saya.

Pengalaman demi pengalaman berjalan bersama Bunda Maria telah saya rasakan.  Pernah terjadi saat saya sedang berkarya di Kaliori, saya terkena diare berat.  Sepanjang malam saya sendirian, tidak bisa apa-apa, bahkan saya sampai mengalami kram.  Sambil menunggu datangnya pagi, saya hanya bisa berdoa kepada Bunda Maria, mohon pertolongannya.  Pagi harinya, baru saya mencari bantuan.  Saat itu saya betul-betul merasakan Bunda Maria sungguh dekat dengan saya, menjadi seorang ibu yang menolong saya sepanjang malam.

Bunda Maria juga menjadi sosok penuh inspirasi dan sumber permenungan bagi saya.  Terkadang saya mencoba memahami hal-hal yang dibuat Bunda Maria dan membandingkannya dengan hidup saya sendiri.  Seperti misalnya saat saya mendapat penugasan baru.  Sebagai seorang imam, saya harus mentaati setiap tugas yang diberikan kepada saya.  Di sinilah saya sering merenungkan ketaatan saya itu dengan saat Bunda Maria mendapat kabar dari Malaikat Gabriel.  Saya merenungkan, waktu itu Bunda Maria pasti sudah memiliki rencana-rencana untuk masa depannya.  Tetapi Bunda Maria memilih untuk mentaati tugas yang diberikan Tuhan ketimbang meneruskan rencana-rencananya.  Lewat hal-hal yang saya renungkan itulah maka saya senantiasa menyediakan ruang di hati saya supaya Allah berkenan untuk selalu berkarya lewat hidup saya.  Seringkali terjadi, ada sesuatu hal yang bagi saya tidak terpikirkan sebelumnya, tapi saat saya membawanya ke hadapan Bunda Maria, maka pikiran saya menjadi terbuka lebar dan saya dibuat jadi mengerti.

Pengalaman iman yang membentuk saya menjadi saya yang sekarang ini adalah saat 2 kali dokter memberi vonis saya menderita kanker getah bening.  Di antara pengobatan dan pergumulan saya melawan penyakit itu, saya selalu melihat penyertaan Allah yang sungguh mencintai dan mengasihi saya.  Kesadaran akan kasih Allah yang sungguh-sungguh kepada saya itulah yang membuat saya selalu kuat dalam menapaki jalan hidup saya.  Dalam sakit saya itu, saya semakin diteguhkan, pun  semakin nyata bagi saya bahwa dalam ketidak-sempurnaan dan segala keterbatasan saya, ternyata saya begitu dicintai oleh Allah yang hadir lewat banyaknya umat yang selalu mengasihi saya.  Meski sakit dan tak berdaya, saya tetap diterima umat, dan mereka sungguh memahami saya.  Saat-saat itu, saya banyak dibantu oleh Prodiakon dalam memimpin Misa Kudus.  Umat pun merawat saya dengan penuh kasih.  Itulah yang selalu menjadi semangat dan kekuatan saya.  Itu juga yang membuat saya mampu melihat kebesaran Tuhan dalam hidup ini.

Saat pertama kali saya harus menjalani kemoterapi, ada rasa penolakan dalam diri saya.  Baru setahun saya ditahbiskan, dan penyakit itu datang.  Dalam diri ini ada timbul rasa belum siap untuk mati – karena saya baru saja menjadi imam – karena masih banyak karya yang ingin saya lakukan. Ada juga timbul keinginan dalam diri saya bahwa saya yang telah menerima tahbisan imam ini harus pula mati sebagai seorang imam.  Kepanikan dan ketidaksiapan saya itu saya tuangkan dalam seringnya saya memimpin Misa Kudus.  Saya berpikir, dengan menyelenggarakan banyak-banyak Misa Kudus, maka setidaknya saya punya “tabungan” di surga.  Ternyata Tuhan berkehendak lain.  Saya berhasil melewati tahapan kemoterapi yang berat, dan saya pun dinyatakan sembuh. Sungguh, hal ini menjadi suatu mukjizat buat saya.  

Setelah sembuh, saya menjalani pendidikan untuk menjadi Formator.  Pada akhir pendidikan itu, saya mendapat kesempatan untuk retret selama 1 bulan.  Di akhir retret itulah saya diminta untuk berdoa kontemplasi ala Ignasian tentang keadaan di akhir hidup.  Lalu saya pun membayangkan kehidupan saya, sakit saya, hingga sampai pada saat menjelang ajal saya.  Jujur berkata, ada rasa takut, merasa belum berbuat ini dan itu, kuatir, dan tidak siap.  Pada akhir doa kontemplasi itu, saya putuskan bahwa mulai saat itu, segalanya akan saya serahkan pada Tuhan.  Apa pun yang terjadi pada diri saya adalah atas kerahiman dan keputusan Tuhan semata.  Setelah mengambil sikap ini, saya merasakan kelegaan yang luar biasa.  Tuhan sendiri yang telah membukakan mata saya, bahwa menaruh percaya pada kasih Allah adalah tanpa syarat.  Kasih yang Allah curahkan pada saya bukanlah berdasarkan pada jasa dan perbuatan baik saya selama saya masih hidup.  Saat itu saya menyadari bahwa selama ini ternyata saya baru sampai kepada pemahaman bahwa saya dikasihi Tuhan semata.  Kasih Tuhan yang saya pahami itu belum sampai merasuk ke dalam hati dan jiwa saya.  Pada saat saya bisa menerima kasih Tuhan yang tanpa syarat,  membawa Sang Kasih untuk merasuki diri, jiwa dan hati saya, maka di saat itulah saya bisa melihat segalanya dari sisi pemahaman yang berbeda dengan sebelumnya.  

Tahun 1998, kembali dokter mendeteksi adanya penyakit yang sama dalam tubuh saya.  Saat saya harus menjalani paket kemoterapi untuk yang kedua kalinya,  saya sudah siap secara mental.  Saya menerima saja, berpasrah diri dan menyerahkan segalanya pada Tuhan.  Kembali, Tuhan menunjukkan kuasaNya yang luar biasa, saya mendapatkan mukjizat kesembuhan.  Saya selalu ingat perkataan seorang Santo, bahwa manusia diciptakan dalam kasih Allah.  Segala sesuatu diciptakan Allah dengan tujuan tertentu.  Lewat tujuan keberadaan manusia itulah maka manusia dapat lebih mudah merasakan kasih Allah dan menjadi lebih mudah pula untuk mencintai Allah.   Maka adanya bencana alam, derita, penyakit, kegagalan, bahkan keberhasilan, dan lain-lainnya  bukanlah yang utama, karena yang terutama dan utama adalah apakah saya dan kita semua semakin bisa mencintai Allah dan merasakan kasihNya yang tak bersyarat itu.  Segala yang hadir, segala yang terjadi dalam kehidupan saya dan kita semua adalah semacam bantuan agar kita dapat sampai kepada pemahaman akan kasih Allah yang tak bersyarat itu.  Kalau kita sudah dapat memahami dan menerima hal ini, maka segala perbuatan kita akan menjadi ungkapan syukur atas kasih Allah yang begitu luar biasa bagi kita semua.

Lewat penyakit yang Tuhan hadirkan dalam hidup saya, ternyata saya dimampukan untuk melihat, merasakan dan mempercayai dengan sungguh kasih Allah yang luar biasa kepada saya tanpa syarat apa pun juga.  Tuhan sungguh-sungguh mengasihi apa adanya saya.  Tuhan ingin pula menyatakan hal yang sama pada Anda semua.  Terimalah, rasakanlah, dan percayalah dengan sungguh akan kasih Allah yang luar biasa pada kita, tanpa syarat apa pun.  (seperti yang diceritakan kepada Sabitah lewat wawancara khusus/smartis)

 

 
Sumber: Majalah Sabitah No. 40/VII, November-Desember 2009

Artikel Serupa

Trinitas News: Romo Reynold Agustinus Sombolayuk, OMI

/

Felice

Hai Sobat Trinitas !! Yuk kenal lebih dekat dengan Pastor Paroki kita yang baru yaitu Romo Rey. Mungkin diantara sobat ada yang belum tahu. Yuk ...
SELENGKAPNYA