Pembaca, cobalah taruh sebentar Sabitah yang sedang Anda pegang ini, perhatikanlah jari jemari kedua tangan Anda dengan seksama, masih adakah melingkar di salah satu jari manis Anda cincin pernikahan yang telah diberkati Imam dalam Upacara Perkawinan Anda di Gereja?
Masih ada? Syukurlah. Tapi, seberapa jauh dampak pemakaian cincin itu bagi Anda? Apakah Anda masih bisa merasakan keberadaan cincin itu di jari tangan Anda? Atau cincin itu hanya menjadi asesori pelengkap saja? Atau yang lebih parah lagi, hanya menjadi hiasan belaka?
Mari kita kilas balik ke hari saat Anda dan pasangan Anda melangkah ke depan Altar Tuhan, hendak memohon berkat dan penyertaan Tuhan dalam hidup pernikahan Anda. Bagaimana Anda memandang pemberkatan itu? Hanya sebagai syarat pelengkap pembuatan surat pernikahan sipil Anda? Atau ada arti lebih yang Anda rasakan dari upacara sakral itu?
Setelah Imam, para saksi perkawinan dan umat yang hadir (yang adalah Gereja) mendengarkan Anda mengucapkan janji suci perkawinan, maka Imam akan memberkati cincin pernikahan Anda: “Ya Allah, Sumber kesetiaan, berkatilah cincin-cincin ini supaya menjadi lambang kesetiaan bagi suami istri dan lambang cinta kasihMu yang tak berkesudahan. Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami, Amin.” Lalu Imam akan memberikan cincin itu kepada Anda untuk dikenakan di jari manis pasangan Anda: “Kenakanlah cincin ini pada jari manis pasanganmu sebagai lambang cinta dan kesetiaanmu.” Sambil menyematkan cincin, Anda pun menyapa lembut pasangan Anda dan berkata: “Terimalah cincin ini sebagai lambang kesetiaan dan cinta kasihku.”
Perhatikan dengan seksama teks-teks di atas, kata-kata “lambang kesetiaan” dan “lambang cinta kasih” disebut terus menerus selama upacara pemberkatan dan penyematan cincin perkawinan. Cincin yang memang dibuat bulat dan tak berujung sangatlah cocok untuk dijadikan tanda keutuhan dan keabadian kasih suami istri, kasih yang meneladan kasih Yesus sendiri yang utuh, tak terbagi, penuh lagi bulat; kasih yang abadi, tak berkesudahan, dan tak berujung. Di mana dan kapan pun, Anda akan merasakan kehadiran dan pendampingan pasangan Anda dalam bentuk tanda: cincin pernikahan. Begitu juga yang berlaku untuk pasangan hidup Anda.
Cincin juga menjadi tanda peringatan. Dengan cincin, Anda akan selalu diingatkan pada janji perkawinan Anda di hadapan Tuhan dan Gereja. Setiap kali memandang cincin perkawinan ini, Anda diharapkan mengingat hari bahagia Anda, saat Anda melangkah dengan pasti menuju Altar Tuhan untuk berjanji saling setia dan mencinta sehidup semati, dalam untung dan malang, hingga maut memisahkan. Cincin adalah tanda penyerahan dan pengikatan total hidup Anda kepada pasangan Anda dalam cinta yang utuh dan abadi.
Kalau Anda menghayati betul arti dan makna cincin pernikahan Anda, maka cincin yang sama dapat menjadi “tukang cekal (cegah tangkal)” efektif saat timbul godaan untuk berselingkuh dalam diri Anda. Si cincin akan “berteriak” pada Anda supaya Anda sadar dan ingat pada janji kesetiaan dan cinta kasih yang pernah Anda ucapkan.
Dalam kerja dan kesibukan sehari-hari, berilah kesempatan sejenak untuk memandang cincin suci yang Anda kenakan itu. Sebutlah nama pasangan Anda – yang terukir indah di bagian dalam cincin yang sama – dan ucapkanlah kesetiaan dan cinta Anda padanya, mohonkan pula penyertaan Tuhan atas keluarga Anda. Betapa kini kita sadar bahwa cincin yang selama ini kita pakai (atau yang tidak kita pakai lagi?) mempunyai arti khusus nan istimewa karena memiliki daya kekuatan Ilahi akan kesetiaan dan cinta kasih antara Tuhan, suami dan istri.
Timbul pula gagasan ‘nakal’ penulis agar di hari pentahbisan, para Imam pun diminta untuk mengenakan cincin ‘lambang kesetiaan dan cinta kasihnya’ pada Tuhan Yesus, Sang Mempelai. Penulis yakin, cincin ini pun dapat efektif menjadi “tukang cekal” yang mampu “berteriak” saat sang Imam mulai digoda iblis untuk “berselingkuh”. Dalam doa-doa hariannya, para Imam pun bisa meluangkan waktu sejenak untuk memandang cincin yang dipakainya, mengingat kembali hari penyerahan total dirinya pada Tuhan Yesus dan terus menerus memperbaharui kesetiaan dan cinta kasihnya pada Sang Mempelai.
Bagaimana? Mau mencari obat termurah untuk sakit “selingkuh”? Mulailah mengenakan cincin pernikahan Anda – bukan sekedar sebagai hiasan jari belaka, tetapi hayati dan sadari kehadiran Tuhan, pasangan, dan anak-anak Anda lewat cincin itu. (smartis)
Sumber: Majalah Sabitah, Edisi 09, Mei-Juni 2004)