“Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu, karena itu apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.” (Mat 19:6). Demikian penggalan Kitab Suci dari Injil Matius yang disebutkan dengan lantang oleh seorang ibu yang terlahir dengan nama Maria Carmila Suwahyo. Wanita kelahiran Jombang, 14 Agustus 1937 ini telah 52 tahun mendampingi kekasih hatinya, Yohanes Suwahyo Hadikusumo.
Ketika ditanya suka duka mengarungi bahtera rumah tangga, ibu dari 11 anak dan nenek dari 13 cucu ini menjawab dengan santun dan sederhana: “Saya hanya nggugemi Gusti, hanya belajar untuk setia setiap hari pada bapak dan anak-anak, dan itu artinya saya belajar untuk selalu setia pada Sakramen Perkawinan yang pernah saya ucapkan di Gereja Santa Theresia Sedayu, 19 April 1960, 52 tahun yang lalu,” demikian Ibu Wahyo, begitu panggilan Beliau, yang sungguh adalah ibu yang selalu setia mendampingi suami tercinta di masa-masa tua.
Hidup sebagai seorang ibu dari 11 anak, tentulah tidak mudah, apalagi Ibu Wahyo hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya berada di rumah untuk mengurus putera-puterinya. Sementara Pak Wahyo hanyalah seorang Guru SMP Kanisius Wonosari yang harus menghidupi istri dan ke-11 anaknya. Beliau bekerja sebagai Guru Kanisius sampai pensiun. Kesulitan dalam rumah tangga yang paling dirasakan Ibu Wahyo adalah kesulitan ekonomi karena harus memenuhi kebutuhan sandang, pangan juga papan untuk kelangsungan hidup mereka. Dapat dibayangkan berapa penghasilan seorang guru SMP yang harus menghidupi satu istri dan 11 anak. Untungnya, Ibu Wahyo adalah ibu yang tidak pernah mengeluh seberapa besar penghasilan Pak Wahyo yang diberikan kepadanya untuk mengelola rumah tangga mereka. Setiap hari Ibu Wahyo harus berpikir keras untuk mengelola keuangan sehingga semua kebutuhan dapat tercukupi dalam satu bulan, setidaknya soal yang paling sederhana, yaitu makan setiap hari, sambil menunggu Pak Wahyo gajian bulan berikutnya. “Bagi saya, yang paling penting bapak dan anak-anak kenyang dulu, baru kemudian saya,” demikian ujar Ibu Wahyo.
“Setiap hari saya selalu berdoa bersama bapak. Kami berdua tidak henti-hentinya memohon berkat untuk kelangsungan rumah tangga kami yang tergolong keluarga besar. Kami juga percaya bahwa Tuhan selalu mendengar doa kami terutama di masa-masa sulit ketika kami harus memenuhi kebutuhan anak-anak,” demikian jawaban Ibu Wahyo ketika ditanya apa yang diperbuatnya ketika menghadapi masa-masa sulit mungurus anak-anak bersama Bapak. Sekarang, Ibu Wahyo dan suaminya tinggal menikmati masa tua mereka berdua karena masa-masa sulit itu sudah terlewati dan anak-anak mereka sudah mandiri.
“Saya itu prihatin dengan kehidupan rumah tangga zaman sekarang. Hanya karena alasan ekonomi lalu pasangan memutuskan untuk berpisah, belum lagi alasan yang lain seperti: tidak cocok, salah satu selingkuh, kurang perhatian, dan lain-lain. Apa mereka tidak pernah berpikir janji yang mereka ucapkan di depan Altar? Dan yang paling penting adalah Sakramen Perkawinan yang pernah diterima,” kata Ibu Wahyo menanggapi berbagai berita mengenai pasangan yang memutuskan untuk berpisah yang Beliau baca di majalah, TV, maupun yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Beliau, ketika pasangan berjanji untuk selalu setia sebagai pasangan suami istri, sesungguhnya tidak hanya mereka berdua yang saling berjanji setia pada pasangannya dan kepada Allah, melainkan Allah sendiri yang berjanji setia kepada mereka sebagai pasangan suami-istri. Selama menjalani bahtera rumah tangga, Ibu Wahyo selalu menggunakan kata “sinau” atau belajar dalam hal apa pun, baik dalam hal mengurus suami, anak, maupun belajar dalam hal memupuk kesetiaan pada rutinitas sehari-hari. Saling bicara atau kata lainnya sekarang komunikasi adalah hal yang selalu dilakukan oleh Ibu Wahyo dikala menghadapi permasalahan dengan Pak Wahyo. Menurut Beliau, mereka jarang bertengkar karena Pak Wahyo adlaah suami yang sabar dan setia mendampingi Ibu Wahyo mengurus rumah tangga mereka.
Di masa tuanya sekarang, Ibu Wahyo hanya tinggal berdua dengan suami tercinta. Ibu Wahyo tetap setia mendampingi Pak Wahyo meski suami tercintanya itu sudha tidak dapat lagi melihat dan sakit dimakan usia. Sesekali putera-puteri dan cucu-cucu datang mengunjungi Beliau berdua. Meski harus mengurus Pak Wahyo yang sudah tak dapat melihat dan menderita sakit, Ibu Wahyo tidak pernah sekali pun absen untuk ke gereja pagi hari. Setiap pagi tepat pkl. 05.40 WIB, Ibu Wahyo sudah duduk di barisan depan Gereja St. Petrus dan Paulus Minomartani untuk mengikuti Misa Pagi, tidak peduli dingin atau hujan. Beliau juga tetap setia mengikuti kegiatan di Gereja sebagai anggota Legio Maria Paroki Minomartani. “Bunda Maria adalah tempat saya berkeluh-kesah ketika saya mengalami kesulitan dalam hidup. Teladan Bunda Maria pula yang selalu menguatkan saya untuk selalu setia pada bapak dan anak-anak,” kata Ibu Wahyo yang menjadikan Bunda Maria sebagai pelindung kehidupan rumah tangganya. Selain kegiatan Paroki, Ibu Wahyo juga tetap aktif mengikuti kegiatan Lingkungan seperti arisan, pendalaman iman, dan Rosario.
“Carilah dahulu Kerajaan Allah, maka kamu akan mendapatkan… wah, saya lupa terusannya,” demikian ucapan Ibu Wahyo sambil tersenyum ketika ditanya apa yang dicarinya di hari tuanya. “Pokoknya, hiduplah mengikuti teladan Tuhan Yesus, hiduplah sederhana seperti Bunda Maria dan Santo Yusuf. Jangan mengikuti hal yang sifatnya instan karena sesungguhnya hidup itu tidak ada yang didapat dengan instan. Kalau mendapatkan sesuatu dengan istan, menikmatinya juga instan, hehehe… tetapi jika mendapatkan sesuatu dengan ketekunan dan bekerja keras maka menikmatinya juga akan lebih lama,” kata Ibu Wahyo berkomentar mengenai cara hidup yang baik sesuai dengan ajaran Katolik.
Demikian sekilas kehidupan seorang ibu yang patut kita teladani. Ibu Wahyo bukanlah seorang aktifis Gereja, bukan pula tokoh Lingkungan, namun kesederhanaan dan kesabaran Ibu Wahyo dalam mengarungi bahtera rumah tangga mampu membawanya untu tetap mendampingi suami sampai akhir. Inilah bukti kesetiaan Ibu Wahyo pada Sakramen Perkawinan, bukti bahwa Allah sungguh hadir dan memenuhi janjiNya, yaitu janji Allah untuk selalu setia mendampingi Ibu Wahyo dan Pak Wahyo mengarungi bahtera rumah tangga sampai akhir. “Saya, Maria Carmila berjanji setia sampai akhir… ah, sudah 52 tahun lalu, saya lupa…! Hahaha…,” demikian canda Ibu Wahyo mengakhiri ceritanya. (F. Endang Dwi Wilastuty, anggota Sahabat Seminari dan Keluarga Besar OMI Yogyakarta)
Sumber: Majalah Caraka – Media Komunikasi Skolastikat OMI, Edisi Oktober-Desember 2012