“Menjadi tua itu pasti, menjadi bijaksana itu pilihan.” Kalimat ini menegaskan bahwa menjadi tua tidak otomatis menjadi bijaksana. Ketika putaran waktu semakin cepat dan tanpa terasa kita mulai masuk ke dalam kelompok lansia, kesadaran itu (untuk menjadi bijaksana), harus selalu ada dalam benak kita. Untuk itu, berikut 6 kiat menjadi bijaksana di hari tua, sekaligus untuk menggapai hidup bahagia bersama anak cucu.
Pertama, menerima diri dan kenyataan. Sambil menerima diri dan kenyataan, termasuk mimpi-mimpi indah masa muda yang belum terwujud, hendaknya kita selalu luangkan waktu untuk mengendapkan seluruh pengalaman kita. Hal-hal mengesan, menyenangkan, atau menyesakkan, hendaknya kita terima bersama perubahan fisik yang kita alami. Kulit tak lagi mulus, postur rubuh tak lagi ideal, rambut mulai memutih dan kekuatan semakin berkurang. Menerima kenyataan adalah awal mejnadi bijaksana. Maka kita menjadi tahu, sampai di mana kita melangkah dan dari titik itu kita mulai perjalanan baru yang penuh kebahagiaan, bukan penyesalan. Sebagaimana ajaran St. Paulus, hendaknya seluruh pikiran, sikap, dan perilaku kita diwarnai belas kasih, kemurahan dan kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran (bdk. Kol 3:12). Hal penting lain, berapa pun usia kita, penampilan harus tetap diperhatikan. Wanita setua apa pun harus tetap mengatur rapih rambutnya, berdandan dan mengenakan pakaian dalam batas-batas kewajaran. Pria, berapa pun cucunya, tetap perlu mengenakan pakaian elegan. Menghargai diri sendiri adalah ciri pikiran sehat dan syarat pertama untuk mendapat penghargaan dari orang lain.
Kedua, membuang dendam dan sakit hati. Menerima perbedaan dan rasa kehilangan bukanlah perkara mudah. Ketika kita serahkan anak-anak untuk dinikahi orang lain, sebenarnya kita merasa kehilangan bahkan dirampas dan ditinggalkan. Tak mudah juga kita menerima seorang menantu yang telah “merebut” kasih sayang anak-anak dari kita dan masih menimbulkan perubahan-perubahan suasana di dalam keluarga kita. Selalu mendendam, mengkritik, bahkan mencaci-maki para menantu, bukanlah tindakan bijaksana. Walau berat dan sulit, menerima mereka sebagai bagian dari keluarga kita, termasuk perubahan-perubahan yang ditimbulkan, adalah langkah yang paling baik. Hanya dengan menerima mereka, kita pun lebih diterima, lebih memiliki kesempatan hidup bahagia bersama anak-cucu. Hanya dengan menghargai dan menyayangi para menantu, kita akan mendapatkan kasih dan penghargaan juga dari cucu-cucu kita.
Ketiga, menghayati jiwa muda. Tenggelam dalam memori kejayaan dan pengalaman masa lalu bukanlah tindakan bijaksana. Anak-cucu pun tak banyak tertarik pada cerita-cerita (suka-duka) masa lalu, apalagi jika dibanding-bandingkan bahkan dijadikan tolok ukur bertindak dan berperilaku pada masa kini. Berjiwa muda berarti mampu hidup pada zaman ini bersama orang-orang muda, anak-cucu kita. Mengikuti perkembangan zaman, pola pikir, sikap, dan perilaku anak-cucu sangat penting bagi kita untuk berjiwa muda dan mengalami hidup bahagia bersama mereka. Meski kadang-kadang kita harus menegur dan mengingatkan mereka, dadsar pertimbangannya bukan masa lalu semata tapi juga realitas saat ini menurut kacamata hati kita yang sarat pengalaman dan bijaksana.
Keempat, menjadi semakin religius. Bagi orang muda, hal paling sukar untuk dihadapi adalah menerima kenyataan hidup yang pahit dalam menggapai mimpi. Maka, sebagai orang yang dituakan, kita membantu dan mendampingi mereka menerima kenyataan dan menunjukkan jalan atau cara menggapai mimpi-mimpi itu secara realistis. Pasrah tanpa harus menyerah, dan kepercayaan pada kekuatan Tuhan yang berkarya dalam peristiwa hidup adalah keutamaan yang harus kita miliki dan wariskan kepada anak-cucu. Kitab Suci adalah sumber kekuatan untuk menghadapi hidup dengan benar. Kita perlu lebih giat mengasah religiositas kita: membaca Kitab Suci, mengikuti Perayaan Ekaristi, melakukan permenungan dan sebagainya agar dari diri kita makin terpancar religiositas yang meneguhkan anak-cucu kita.
Kelima, membuat diri gembira. Berpikir positif dan pasrah dalam iman adalah kunci hidup bahagia. Setelah sekian lama mengarungi hidup dan menelan mentah pahit getir kehidupan, tidak salah berusaha membuat diri selalu gembira. Selain menyenangkan, membuat kita merasa awet muda, canda tawa kita adalah berkat yang meneguhkan anak-cucu dalam menjalani pergulatan keras kehidupannya. Kegembiraan dan canda tawa yang kita tunjukkan membuat mereka semakin optimis dan mengalami kebersamaan hidpu yang semakin indah.
Keenam, menghidupi doa. Setelah menyelesaikan berbagai karya dan perjuangan hidup di masa lalu, tiba saatnya kita secara khusus memperhatikan kehidupan doa kita. Meski hidup doa mestinya menjadi perjuangan sepanjang hidup (sejak muda), tapi sekurang-kurangnya kini kita memiliki lebih banyak waktu untuk menghayatinya. Mendoakan anak-cucu adalah tugas kita setiap hari. Mohon kepada Tuhan agar anak dan menantu diberi kebijaksanaan untuk merawat, mendidik, dan mendewasakan para cucu agar menerima perlindungan Tuhan, lancar dalam belajar dan berkarya. Selalu berusaha mendengarkan keluh-kesah anak-cucu dan membawanya dalam doa adalah tugas penting lain bagi kita. Mendoakan anak-cucu dan orang-orang lain yang membutuhkan semakin mendekatkan hati kita pada mereka, dan tentu saja mendekatkan mereka pada Tuhan. Menghidupi doa adalah teladan yang tak ternilai harganya bagi anak-cucu kita. (Romo Ignatius Supriyatno, MSF)
(Sumber: Majalah Rohani No. 04, Tahun ke-60, April 2010)