Featured Image Fallback

Surat Dari Seorang Mantan Koruptor

/

Seksi Komsos

MARI BELAJAR DARI ZAKHEUS!  (Lukas 19:1-10)

(Perhatian: Bila Anda merasa sebagai seorang koruptor, sebaiknya Anda  jangan membaca renungan ini!)

Pada suatu hari saya menerima sebuah surat. Pengirimnya tanpa nama alias anonim.  Meski demikian, bagi saya, isinya sangat menarik dan ada baiknya saya sharingkan juga kepada Anda sekalian pada saat ini. Demikian bunyi surat itu:

Yth Pastor di tempat,

Salam sejahtera. Izinkan saya untuk berbagi cerita dengan Pastor. Meski saya tidak mencantumkan nama saya pada sampul belakang surat ini, sudilah Pastor tetap membaca surat ini. Saya tidak keberatan, bahkan akan sangat berterima kasih seandainya Pastor juga berkenan memuat surat saya ini dalam majalah Gereja.

Saya Suka Korupsi

Saya adalah seorang mantan koruptor. Saya pernah mengumpulkan banyak uang dalam waktu yang relatif singkat tanpa harus mengeluarkan banyak keringat. Uang yang saya peroleh melalui korupsi kadangkala jumlahnya jauh lebih banyak dari pada gaji bulanan saya.  Saya adalah seorang sarjana teknik lulusan sebuah perguruan tinggi di luar negeri. Sepulang dari luar negeri, saya bekerja di sebuah perusahaan  minyak swasta. Setelah beberapa tahun meniti karier, akhirnya saya menjadi salah seorang manajer di perusahaan tersebut. Sebagai orang yang berposisi manajer, saya sering memberikan instruksi kepada karyawan untuk membersihkan gudang dari timbunan material-material yang angka penyusutannya sudah dianggap mencapai 100%. Saya kemudian menjual material itu sebagai “rongsokan” kepada para pengumpul besi tua. Sebagian besar hasil penjualan itu masuk ke rekening saya di bank.  Sebagian kecil masuk ke perusahaan sebagai pemasukan tambahan.

 

Di awal kisah tadi saya menyebut diri sebagai mantan koruptor. Saya katakan “mantan”, karena sekarang saya sudah tidak suka lagi korupsi. Saya telah berhenti korupsi. Apalagi sekarang saya memang telah berhenti dari pekerjaan saya. Saya telah mengambil tawaran untuk masa pensiun yang dipercepat. Saya kini mengisi hidup saya dengan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di sekitar RT atau pun kegiatan-kegiatan yang bersifat rohani-keagamaan atau pun kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hobi saya sejak dulu, yaitu memancing dan berkebun.

 

Bila Mati, Aku Tidak Ingin Dikenang Sebagai Koruptor

Mungkin ada orang yang bertanya: apa yang membuat saya akhirnya berani berhenti korupsi? Semuanya berawal dari sebuah peristiwa yang tampaknya sederhana. Suatu hari, saya mengikuti kebaktian di gereja dan mendengar sebuah cerita yang singkat dari Pastor. Pastor memakai cerita itu sebagai pembuka renungan/khotbah Pastor.  Ceritanya demikian:

Ada tiga orang yang bersahabat. Ketiganya tewas dalam suatu kecelakaan lalu lintas yang sama. Jiwa mereka langsung terbang ke surga pada hari itu juga. Di pintu surga, abdi Tuhan menyambut mereka. Sambil menanti giliran bertemu dengan Tuhan, mereka berbincang-bincang.

Abdi Tuhan:

“Ketika besok keluarga, tetangga dan teman-teman melayat, kamu berharap mereka akan berkata apa tentang kamu?”

Orang pertama:

“Saya harap mereka berkata bahwa saya adalah seorang bapak yang baik untuk anak-anak dan seorang suami yang sangat setia kepada istri.”

Orang ke dua:

“Saya harap mereka akan berkata bahwa saya adalah seorang pemuka jemaat yang hebat dan banyak berjasa untuk agama.”

Orang ke tiga:

“Saya harap mereka berkata, ‘Lihat! Dia bergerak-gerak lagi!”

Bagi banyak orang, cerita ini mungkin tidak lebih dari sebuah lelucon.  Namun TIDAK bagi saya. Ada hal yang amat serius dan penting yang mau disampaikan di dalamnya.  Setelah mendengar cerita tersebut, reaksi pertama yang muncul dalam hati saya adalah saya takut mati. Untuk pertama kalinya, ketakutan mati menjadi sesuatu yang begitu riil untuk saya.  Kematian itu bisa datang kapan saja, entah saya siap, entah saya tidak siap. Memang semua orang akan mati. Tetapi tentu lain, mati sebagai seorang yang dikenal baik dan bersih oleh orang-orang di sekitarnya dengan mati sebagai seorang yang ternyata koruptor atau penjahat. Saya tidak mau mati dan dikenang oleh keluarga dan orang lain sebagai seorang koruptor, bahkan seandainya hanya saya saja yang tahu bahwa saya ini koruptor. Maka saya mulai berpikir untuk berhenti korupsi. Secepatnya. Jangan sampai pepatah kuno, ”sepandai- pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga”, menjadi kenyataan pada diri saya. Bila itu sampai terjadi, saya pasti akan sangat malu, dan keluarga saya yang sebelumnya tidak tahu apa-apa, ikut menanggung rasa malu juga. Jika itu sampai terjadi, itu sama saja dengan hari kiamat bagi kami semua!

Lebih jauh, cerita pastor di atas membuat saya bertanya kepada diri saya sendiri, “Apa sih yang sebetulnya saya cari di dalam hidup saya selama ini?”

Apa yang Saya Cari dalam Hidup Ini?

Saya akhirnya menemukan jawaban, “Saya mencari kebahagiaan”. Dan rupanya selama bertahun-tahun saya sebenarnya telah meyakini sebuah “credo” bahwa hanya dengan memiliki banyak uang, maka saya akan bisa membeli kebahagiaan, apa pun bentuknya. Sehingga tepatlah kata pepatah Inggris berikut: “what money can not buy”.. Memang dengan mempunyai  uang yang banyak, saya merasa aman untuk bepergian ke manapun. Dengan uang, saya bisa membeli barang-barang yang saya suka atau kenikmatan- kenikmatan duniawi yang saya angankan.

Namun ketika saya mengenang kembali kegembiraan-kegembiraan di masa lampau yang pernah saya peroleh berkat uang, saya menjadi sadar bahwa kebahagiaan saya pada waktu itu hanya berumur pendek dan cepat menguap terbang. Tahukah Anda sebabnya? Karena setiap kali saya membelanjakan banyak uang dari dompet atau kartu kredit saya, tidak lama kemudian saya mendengar sebuah suara di dasar hati saya yang berkata,”Pakai uang haram nich ye…?!”  Saya maunya mengabaikan sindiran itu, maunya menutup telinga.  Namun sekali sindiran itu muncul, kegembiraan saya menjadi tidak sama lagi. Ekspresi kegembiraan saya itu menjadi kurang asli dan spontan. Tawa riang saya juga tidak ringan, nadanya seperti “dibuat-buat”.

Hal lain yang tiba-tiba sering “merusak” kebahagiaan saya adalah bila membaca di koran atau mendengar di radio-televisi, berita tentang pemberantasan korupsi, penangkapan koruptor, dan hal-hal yang berkaitan dengan korupsi. Saya menjadi takut juga kalau korupsi yang telah saya lakukan akhirnya sampai ketahuan orang atau pihak lain.

Saya Bertobat

Singkat cerita, akhirnya saya memang berhenti korupsi.  Anda mungkin bertanya,”Lalu ke mana uang hasil korupsi itu?  Apakah saya mengembalikannya kepada perusahaan? Atau saya  sumbangkan kepada lembaga-lembaga sosial? Atau saya kemanakan?”

Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Yang jelas, saya harus mengakui bahwa saya tidak punya cukup keberanian untuk mengembalikannya secara terbuka dan terus terang kepada perusahaan.  Saya membayangkan resikonya bila saya melakukan hal itu. Saya akan malu, tetapi mungkin sekali saya akan kehilangan pekerjaan saya, bahkan mungkin juga saya akan dipenjarakan. (Apakah mungkin diusulkan kepada pemerintah untuk mendirikan suatu lembaga penerima pengembalian hasil korupsi dari orang-orang yang mau bertobat tetapi tidak ingin diketahui identitasnya dan tanpa harus melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan? Demi kerahasiaan identitas orang-orang yang mau bertobat ini, pemerintah mengakui hak bank-bank yang beroperasi untuk menjaga kerahasiaan identitas nasabahnya. Adapun uang yang diterima oleh lembaga pemerintah itu, sebagian bisa dimasukkan ke kas negara, dan sebagian besar yang lain dimanfaatkan untuk karya-karya sosial bagi orang miskin dan terlantar.)

Hari berganti hari. Hingga pada suatu hari, karena perusahaan perlu restrukturisasi, perusahaan menawarkan program pensiun dini kepada para karyawan. Setelah memikirkan untung-ruginya, saya mendaftarkan diri saya ikut program tersebut. Memang pada awalnya banyak teman yang merasa heran dengan keputusan itu. Namun dengan berjalannya waktu, orang segera meninggalkan rasa herannya itu.

Kini saya merasa hidup lebih tenang. Hobi dan kegiatan di sekitar RT atau pun kegiatan yang sifatnya keagamaan bisa saya nikmati. Kegembiraan ternyata ada di mana-mana. Dan tidak semua kegembiraan mengandalkan adanya uang. Duduk di bawah rindangnya pohon setelah lelah mencangkul kebun, sambil menikmati angir semilir dan menatap tanaman yang mulai tumbuh pun dapat menghasilkan suatu perasaan gembira dalam diri saya. Atau duduk pada malam hari di gardu pos ronda sambil berbincang-bincang “ngalor ngidul” dan sesekali diselingi lelucon yang menyegarkan juga membuat hati ini gembira. Tetapi dalam pengalamanku, kegembiraan yang seringkali sulit diuraikan dengan kata-kata terjadi manakala saya bisa memberi sesuatu kepada sesama, khususnya mereka yang sedang membutuhkan uluran tangan, yang tidak punya uang untuk menebus obat, yang tidak punya uang untuk membayar SPP, yang miskin dan terpaksa hutang sana-sini untuk membeli beras dan lauk pauknya, dll. Sesuatu yang saya berikan itu bisa berwujud macam-macam. Bukan hanya uang, tetapi juga waktu, tenaga, perhatian. Singkatnya, memberi itu memang membahagiakan. Bukankah, dengan cara hidup begini saya telah mulai menemukan apa yang saya cari sejak dulu? Kebahagiaan itu.

Berbicara tentang kebahagiaan, karena memberi saya jadi teringat danvingin berterima kasih dengan sahabat saya dalam Kitab Suci. Namanya  Zakheus (bdk.Luk 19:1-10). Berkat dia, saya menjadi tahu apa yang perlu saya buat dalam hidup ini. Berkat kisah dan teladannya itu saya juga menjadi tahu kepada siapa saya akan menggantungkan hidup saya.

Demikianlah sharing saya. Semoga berguna bagi Pastor dan siapa saja yang ikut membaca surat saya ini. Saya senang bila Pastor memberikan tanggapan atas surat saya ini. Mengingat surat saya ini tanpa nama jelas pengirim, tanggapan Pastor boleh disampaikan secara terbuka, misalnya juga dalam salah satu halaman majalah Gereja.  Sekian.   Banyak terima kasih atas perhatian Pastor.

Demikianlah bunyi surat yang pengirimnya Seseorang Tanpa Nama atau Anonim.

Setelah membaca atau mendengar bunyi surat itu, pertama-tama, tidak ada jeleknya juga kita ikut bergembira karena ada saudara kita yang tadinya seorang koruptor, kini sudah bertobat. Dan dalam rangka bertobat itu, kini yang bersangkutan rupanya banyak tertobat dengan kegiatan sosial di lingkungan RT-nya maupun dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya rohani.

Yang kedua, saya kira kita bisa berkata: Betapa beruntungnya orang itu! Dia menjadi bertobat (moga-moga demikian adanya) tanpa harus ditangkap polisi atau dibawa ke pengadilan dulu. Semoga saja, selain perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukannya, dia juga memang telah berhasil mengembalikan 100% hasil korupsinya. Pengembalikan hasil korupsi adalah hal yang mutlak perlu. Mengembalikan hasil korupsi adalah bukti pertobatan. Tanpa kemauan dan usaha untuk mengembalikan 100 % hasil korupsi itu, maka sulit dikatakan bahwa dia sungguh-sungguh mau dan telah bertobat. Bagaimanapun yang namanya korupsi itu sama dengan mencuri, bahkan seringkali lebih jahat dan amat pantas diberi sanksi hukum yang sangat berat. Sebagai contoh, bila seorang pencuri seekor ayam yang tertangkap polisi, akhirnya dihukum penjara selama 1 bulan; berapakah hukuman yang pantas diterima oleh seorang yang katakanlah “hanya” korupsi uang 1 milyar rupiah? Bila seekor ayam di pasar dihargai 50 ribu rupiah; dan 50 ribu sebanding dengan hukuman penjara selama 1 bulan; maka 1 milyar rupiah sebenarnya –secara matematis yang sederhana- sebanding dengan hukuman  selama 20.000 bulan atau kurang lebih 1.666 tahun, bukan? Bila orang melakukan korupsi uang senilai 1 milyar saja pantas dihukum sekian tahun, apalagi bila orang melakukan korupsi puluhan atau ratusan milyar.

Yang ketiga, seandainya bapak tadi adalah seorang yang beragama Katolik, semoga ia juga tidak lupa untuk datang kepada Sakramen Pengakuan Dosa di depan seorang imam. Datang kepada Sakramen ini kadang menuntut suatu keberanian yang luar biasa dari orang yang merasa berdosa itu. Ada banyak hambatan yang kadang membuat orang urung atau menunda-nunda untuk mengaku dosa. Misalnya, karena malu atau karena merasa dosanya tidak berat. Maka bila orang tersebut berani mengaku dosa, orang itu sungguh menjadi orang yang pantas dikasihi dan diterima kembali.

Yang keempat, semoga saudara kita itu sungguh tergerak oleh pengalaman Zakheus dan oleh sapaan Tuhan Yesus. Dalam Injil Lukas 19:1- 10, dikisahkan bahwa pada suatu hari Yesus sampai di kota Yeriko, kota di mana Zakheus tinggal. Zakheus adalah orang yang paling kaya di kota itu. Pekerjaan sehari-hari adalah seorang kepala pemungut cukai. Supaya bisa menghasilkan banyak uang yang nantinya sebagian disetorkan kepada pemerintah penjajah Romawi pada waktu itu, tentu saja berbagai cara harus ditempuh, dari cara yang paling halus sampai yang paling kasar untuk menarik pajak dari masyarakat. Tentu tidak jarang seorang Zakheus mengutus “debt collector” yang merangkap sebagai tukang pukul. Karena pekerjaan yang macam itu, bagi saya, Zakheus bolehlah dikategorikan dalam kelompok para koruptor. Dia menjadi “sahabat” penjajah Romawi dan merugikan negara dan orang-orang sebangsanya sendiri. Itu sebabnya orang lain menyebutnya sebagai pengkhianat bangsa dan “orang berdosa”. Nah ketika Yesus akhirnya singgah di rumahnya, Zakheus merasa diterima, disapa dan dicintai olehNya. Saking senangnya, Zakheus kemudian berkata, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kumbalikan empat kali lipat” (lih. Luk 19:8).

Dan apakah tanggapan Tuhan Yesus? Dia berkata, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (lih. Luk 19:9). Berkat pertobatannya, maka Zakheus tidak kehilangan “hak”-nya  sebagai salah seorang anak Abraham, yaitu ikut menerima berkat yang dulu  dijanjikan oleh Allah kepada Abraham.”

Singkatnya, Zakheus memberi banyak contoh kepada kita, yaitu: ( 1) yang namanya bertobat itu bukan pertama-tama mengatakan, “Saya minta maaf”; tetapi ( 2) terlebih membuka pintu hati bagi sapaan Allah yang menghendaki kita meninggalkan dosa; dan (3) sungguh mengubah 180° gaya dan sikap hidup kita yang lama ke hidup baru yang adalah menjadi saluran berkat Allah kepada sesama kita, khususnya sesama kita yang menderita, entah karena tertimpa bencana, entah karena miskin, entah karena menjadi korban ketidakadilan, dll.

Semoga renungan ini makin memperkuat iman kita, mendorong tekad kita untuk hidup dalam semangat pertobatan sekaligus menyemangati kita untuk mempunyaii hidup yang berarti, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi sesama, masyarakat, negara, agama dan Tuhan. Amin.

(Romo F.X. Rudi Rahkito Jati, Pastor dan Pembimbing Para Calon Biarawan OMI, Novisiat OMI Beato Gerard, Yogyakarta)

Sumber:  Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Kristiani, Departemen Komunikasi & Informasi Republik Indonesia, Jakarta, 2005.