Featured Image Fallback

Menjaga Iman Anak-Anak yang Menginjak Dewasa

/

Seksi Komsos

Minggu pagi… sambil berjalan melintasi kampus, saya berdoa, mohon ampun pada Tuhan karena telah berniat melakukan perbuatan yang salah.  Pergulatan itu telah berhari-hari lamanya.  Tapi, ya ampun, pergulatan dan doa-doa itu tidak bisa menahan saya untuk tidak melakukan perbuatan yang salah itu. Sebagai mahasiswa baru, saya adalah anak pemalu di tengah penghuni kampus yang jumlahnya 10 kali lipat dibandingkan jumlah penduduk di kampung saya.  Di masa-masa inilah saya melakukan perbuatan lugu yang bodoh yang membuat saya menjadi bulan-bulanan di kampus.

Seperti kebiasaan di rumah, Minggu pagi saya mempersiapkan diri untuk Misa.  Lalu saya bertanya pada teman sekamar saya di asrama, “Biasanya, kamu pergi ke gereja mana untuk Misa?” Tak saya sangka, seketika ia tertawa terbahak-bahak. “Eh, kamu mau pergi ke gereja untuk Misa?” katanya sambil menyeringai. “Lucu kamu ini ya…. kayak anak kelas 6 SD saja!” Dia lalu bergegas turun ke aula dan mengabarkan pada teman-teman bahwa mereka memiliki seorang “Santo”.

Sejak itu saya menjadi bahan ejekan teman-teman, misdinar culun yang enggak punya pacar, pengecut yang enggak berani merokok, dan yang paling parah: “Santo” yang rajin pergi ke gereja.  Belajar dari pengalaman, saya tidak mau lagi berkata jujur pada mereka tentang kegiatan saya.  Itulah permulaan saya belajar berbohong.  Saya masih tetap pergi ke gereja, tapi kalau ditanya teman, saya bilang ke perpustakaan atau belajar bersama teman-teman.  Hancur sudah keinginan saya untuk bisa diterima teman-teman dalam lingkungan baru ini, saya harus berbohong tentang kebersamaan dengan Tuhan.

Itulah salah satu tantangan iman yang harus saya hadapi sebagai mahasiswa baru.  Dan kalau saya menengok lagi ke masa yang cukup berat itu, saya heran sendiri sekaligus bersyukur bahwa sampai sekarang masih menjadi seorang Katolik yang aktif.  Dan lagi, saya bertanya-tanya bagaimana perasaan orangtua saya waktu itu ketika membaca surat-surat saya yang menceritakan situasi tersebut.

Kenangan itu selalu datang kembali menghampiri setiap tahun, mengingat banyak orangtua yang juga bersiap-siap melepaskan anaknya pergi dari rumah untuk menempuh pendidikan tinggi setiap tahun.  Kehidupan di kampus adalah pengalaman baru bagi anak-anak mereka dan bahkan para orangtua yang selama ini telah mencoba memberikan fondasi pendidikan iman yang kuat.  Mereka merasa khawatir, apakah anak mereka bisa memelihara nilai-nilai baik yang telah mereka ajarkan atu apakah mereka masih rutin mengikuti Misa.  Bahkan di kampus-kampus Katolik, apatisme, kebingungan, ketidak-dewasaan, tekanan teman-teman sebaya, godaan hormonal sampai minuman keras dan narkoba beserta sederet godaan yang lain siap mengintai dan mempengaruhi keimanan mereka.  Singkat kata, dalam situasi seperti itu, ada banyak kekhawatiran yang menghantui orangtua hingga susah tidur.

Bagaimana para orangtua menghadapi kekhawatiran semacam ini?  Apa yang bisa dilakukan untuk membantu anak-anak agar teguh dalam iman ketika mereka jauh dari rumah untuk menempuh pendidikan?

Ada 4 pemikiran yang bisa direnungkan menghadapi hal ini:

Pertama, meneguhkan kemandirian.  Inilah salah satu hal yang dilakukan seorang anak pada usia pendidikan tinggi.  Banyak yagn belum melakukannya dalam hal finansial.  Maka, hal favorit yang bisa mereka lakukan adalah mandiri dalam hal identitas religiositas dengan menjadi berbeda dari orangtuanya.  Mereka tahu, bahkan tanda disadari,m itulah jalan yang manjur untuk menarik perhatian orangtuanya.  Namun, ini tidak berarti mereka akan mengabaikan iman untuk selama-lamanya.  Biasanya, ini dilakukan hanya sebagai tanda bahwa mereka kini telah bisa mengambil keputusan sendiri.

Kedua, bagi orangtua, cara terbaik untuk memelihara iman anak-anaknya adalah dengan menghidupi iman itu dengan sungguh-sungguh.  Menjadi orangtua yang beriman penuh sebagai teladan anak-anaknya adalah keharusan.  Pada usia kuliah,  yang dilakukan anak-anak adalah menguji nilai-nilai yang dibawa dari rumahnya dengan nilai-nilai baru yang didapat di kampus.  Mereka akan melihat orangtua mereka sebagai model/teladan yang kuat untuk mengukur atau membandingkan dengan model yang lain.  Mereka memang membutuhkan waktu untuk sampai pada kesimpulan dan ketetapan hati tentang nilai-nilai yang baik itu.  Karena itu, orangtua hendaknya sabar dengan proses yang harus mereka lalui.

Jika mereka melihat orangtua sendiri ragu-ragu dengan iman/nilai yang diyajkini, mereka pun berpendapat bahwa iman/nilai tersebut bukanlah hal yang kokoh untuk pijakan hidupnya.  Yakinlah, anak-anak itu sangat cermat mengamai orangtuanya menghadapi tantangan yang mereka berikan!  Jika anak-anak melihat iman orangtuanya teguh dan bisa menjadi sumber kekuatan, mereka akan mematrikannya dalam hati sebagai kekayaan dan bekal hidupnya.

Ketiga, dengarkan dan berbicaralah dengan anak-anak, tapi jangan mengalah.  Anak-anak butuh dihargai oleh orangtuanya, tapi cermati dan kritisilah pendapat-pendapatnya.  Bersedialah mendengarkan dengan penuh perhatian pendapat mereka, tapi jangan mengalah mengenai prinsip-prinsip hidup yang harus dipertahankan.  Sesungguhnya, anak-anak itu mengharapkan orangtuanya mempertahankan nilai-nilai tersebut.  Jika orangtua “hanya” mengalah, anak-anak menjadi kebingungan.

Keempat, doa adalah pendukung terbaik orangtua.  Biarlah Tuhan yang menjawab keraguan.  Tuhanlah yagn paling mengenali anak-anak kita dari waktu ke waktu.  Tuhan hadir dalam keraguan kita.  Tuhan akan hadir pula bagi anak-anak kita untuk memampukannya menghadapi keraguan-keraguan atau kegagalan-kegagalannya.  Hanyam, yang seringkali tidak kita sadari, waktu yang tepat menurut Tuhan tidak sama dengan pemikiran kita.  Tuhan memiliki kesabaran yang lebih besar daripada kita.  Biarlah Tuhan berbicara kepada anak-anak kita dengan cara yang paling tepat.  Percayalah suara Tuhan jauh lebih baik daripada bahasa orangtuanya.

Akhirnya, marilah kita menghidupi iman seauntentik mungkin, mencintai anak-anak sebisa mungkin.  Jangan pernah berhenti memelihara iman dalam bentuk apa pun termasuk berdiskusi dengan anak-anak.  Dan, pasrahkanlah mereka dalam tangan Tuhan.

Menurut pengalaman saya, ada 2 alasan mengapa saya masih beriman aktif samapi kini.  Pertama, keteguhan dan ketekunan orangtua saya dalam menghidupi iman.  Kedua, kepercayaan sekaligus kepercayaan diri orangtua untuk berserah kepada Tuhan dan percaya kepada saya, apa pun yang terjadi. (Diterjemahkan dari “Keeping the faith at college”, Dan Connors, Catholic Digest, Agustus 2010, oleh Purnawijayanti)

 

Sumber: Majalah Utusan No. 10. Tahun ke-60, Oktober 2010

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Tantangan Keluarga Katolik di Zaman Sekarang

/

Seksi Komsos

Romo Alexander Erwin Santoso, MSF, Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta, beberapa waktu yang lalu sempat bertandang ke Gereja Stasi Santa Maria Imakulata untuk ...
SELENGKAPNYA