Fajar tampak merekah di pucuk pepohonan. Sinar mentari merenda langit dengan warna kuning keemasan. Kicau burung bersahut-ashutan, mengalunkan sebuah melodi hidup manusia yang berharmoni dengan alam dan menyapa pagi dengan rasa bahagia dan damai.
Sebuah kenangan indah yang kutemukan di sebuah pedesaan, dengan bukit-bukit hijau bak raksasa yang berbaris keliling membentuk lingkaran. Jauh dari hingar bingarnya kehidupan kota. Sementara di tempat lain suasana ini tinggal kisah dalam dongeng-dongeng menjelang tidur. Arus zaman telah menggerusnya, demi impian lain yang memuaskan kebahagiaan sesaat. Manusia disadarkan kembali akan indahnya ciptaan dan perlunya berharmoni dengannya.
Aku melangkah pelan menikmati kesegaran udara pagi dan kehangatan mentari. Aku terhenti di bibir sungai yang membentang panjang, berkelok-kelok di antara bukit-bukit. Airnya mengalir tenang, memantulkan keindahan langit dengan barisan awan berbulu putih. Kejernihan dan kesegarannya telah memuaskan dahaga setiap insan yang meminumnya.
Sungai itu mengalirkan air yang tiada pernah berhenti sepanjang musim. Ia memberikan air kepada siapa saja tanpa diminta, bahkan memberi secara lebih untuk yang meminta. Begitulah cara sungai memberikan cintanya dengan tulus tanpa mengharapkan balasan.
Hidup manusia pun setiap hari diharapkan dapat membagikan cinta kepada setiap orang. Banyak orang hadir dalam kehidupan kita dengan membawa cinta. Cinta memang dapat mengubah hidup seseorang menjadi lebih bersemangat dan bergembira. Cinta membuat seseorang rela berkorban apa saja demi orang yang dicintai.
Hidup yang dipenuhi dengan cinta membawa kesegaran bagi setiap orang, seperti sungai yang mengalirkan air kepada setiap orang tanpa memandang orang tersebut baik atau jahat. Hidup kita pun diharapkan dapat membagikan cinta kepada semua orang tanpa syarat.
Keegoisan dalam cinta membuat kita tidak dapat mencintai dengan tuluis. Hubungan persahabatan menjadi hanya sekedar basa-basi dan kurang mendalam. Kita hanya hidup dalam hubungan yang dangkal. Ketulusan dalam mencintai dan pengorbanan diperlukan untuk membangun relasi yang baik.
Dalam membangun cinta juga banyak terjadi permasalahan. Di tengah pergulatan dan permasalahan hidup pun, cinta tetap perlu dibangun, walau tak semudah membalikkan telapak tanagn. Banyak benturan antara menuruti keinginan sendiri atau keinginan orang lain. Namun cinta tanpa ego, masih menyisihkan pengharapan walau ada kekecewaan yang mendera.
Kahlil Gibran mengatakan: “Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia walau jalannya berliku-liku. Apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerahlah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu.”
Cinta yang tanpa ego selalu mempunyai harapan walaupun telah dikecewakan dan disakiti. Orang yang mencintai dengan tulus akan tetap mencintai walaupun disakiti, diejek, difitnah, dan akan membangun kembali relasi yang kurang harmonis.
Kita biasanya mudah mengasihi dan menolong orang yang selalu baik kepada kita. Kitamasih sulit mencintai orang yang menyakiti apalagi memfitnah kita. Cinta kita sering kali masih bersyarat dan mengikuti ego.
Ktia masih sulit menundukkan diri ketika kita mengasihi seseorang. Kita ingin orang lain menjadi seperti apa yang kita pikirkan dan inginkan. Kita masih sulit untuk mencintai tanpa syarat. Kebaikan yang dilakukan masih sering mempunyai maksud tersembunyi.
Sering kali kita mudah untuk mencintai apabila sahabat kita memberikan keuntungan, kegembiraan dan menjadi pribadi yang sesuai dengan harapan kita. Kita kadang lupa untuk membiarkan sahabat kita tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri.
Sangat sulit mencintai orang yang telah menggores luka di hati. Benci pun menggumpal. Cinta sering kali masih bersyarat dan mengikuti ego diri sendiri. Masih sulit untuk menundukkan egoisme diri untuk kemudian bisa mengasihi seseorang.
Mencintai tanpa ego berarti tidak pernah menuntut balas jasa. Cinta yang sejati tidak membuat orang yang ditolong merasa berutang budi. Cinta tanpa ego berarti memiliki kasih yang cuma-cuma dalam mencintai. Kasih yang tidak membuat orang lain merasa “tidak enak” apabila tidak membalas kasih dan kebaikan yang telah kita lakukan.
Tanpa kita sadari sering kali kita mencintai dengan “ke-ego-an kita”. Kita mencintai orang lain karena orang tersebut baik, selalu menolong, tidak pernah mengejek atau menjatuhkan kita. Kalau kita mencintai dengan syarat, maka kita akan lelah sendiri dan cinta tersebut tidak akan bertahan lama.
Cinta yang hanya mementingkan diri sendiri akan merugikan. Cinta tanpa ego berarti kita mencintai sesama bukan karena sesama berbuat baik. Kita mencintai sesama karena kita telah terlebih dahulu dicintai oleh Allah.
Teladan dalam mencintai adalah Bunda Maria. Ia seorang perempuan yang mencintai tanpa syarat. Sebelum Bunda Maria mengatakan fiatnya, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38), Maria mengalami suatu pertarungan batin antara melaksanakan keinginannya atau kehendak Allah.
Ada pertarungan antara sikap ego memikirkan diri sendiri atau melaksanakan kehendak Allah. Dalam kebebasannya, akhirnya Bunda Maria memberikan kasih dan cintanya tanpa syarat. Segala ego diri ditinggalkan untuk melaksanakan apa yang menjadi kehendak Allah. Bunda Maria tahu segala konsekuensi perkataannya, namun Maria mencintai tanpa ego. Cinta Maria adalah sebuah cinta yang tumbuh dari ketulusan hati. Maria memiliki kejernihan dan kebeningan hati dalam mencintai.
Maria memiliki cinta yang lepas bebas. Ia mencintai tanpa ego dengan melaksanakan segala hal yang menjadi kehendak Bapa. Cintanya diwujudkan dalam ketaatan total. Ketaatan yang menundukkan segala keinginan diri yang bertentangan dengan kehendak Bapa. Cinta Maria yang tulus akhirnya menjadi alat Allah untuk menyatakan karya keselamatanNya bagi manusia.
Cinta yang tanpa ego berarti juga cinta yang mengosongkan diri sendiri untuk diisi oleh Allah. Pengosongan diri juga sudah diwujudkan secara sempurna dalam diri Yesus Kristus. Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (2:6-7) memperlihatkan dengan jelas pengosongan diri Yesus Kristus “Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiir, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”
Yesus Kristus juga sumber cinta kasih yang mencintai manusia tanpa ego. Bahkan Allah menebus manusia ketika manusia masih berdosa. Cinta Allah adalah cinta demi keselamatan manusia. Cinta yagn berorientasi pada kasih yang tulus. Kasih yang tidak pernah mengharapkan balasan dari manusia.
Allah tetap mencintai meskipun manusia tidak pernah membalas dan mengabaikan cintaNya. Hiduplah dalam cinta yang tulus dan berjuang untuk menundukkan ego diri karena kita telah dicintai dan diselamatkan Allah.
(Ditulis oleh: Fransita, FCh – Majalah Utusan No. 05, Tahun ke-61, Mei 2011)