Featured Image Fallback

Di Tengah Penderitaan, Kita Bisa Apa?

/

Seksi Komsos

Ada banyak penderitaan di dunia ini.  Dunia ini adalah “miseria”, kenestapaan.  Orang Hindu dan Buddha menamainya “samsara”.  Orang Kristiani dulu menyebutnya “lacrimarum vale” – lembah air mata.  Ingat nyanyian dalam ibadah kompletorium?  Kitab Kejadian (Genesis) mengajarkan hal itu akibat kutukan dosa.  Orang-orang Yunani kuno pun membayangkan jiwa kita ada dalam penjara badan, karena kita ditakdirkan hidup di dunia materil.  Kita harus membebaskan diri dari dunia laknat ii; mencari “moksha”, “satori”, pembebasan, keselamatan, “shalom”.

Beberapa waktu yang lalu saya pulang dari Jakarta naik kereta api.  Di Stasiun Gambir, saya melihat adanya orang-orang yang duduk di atas atap gerbong kereta KRL.  Pemandangan yang biasa?  Ah, mengerikan menurut ukuran keselamatan!  Mengapa tidak duduk saja dalam gerbong?  Tentu saja tidak, karena gerbong penuh, atau harus baya.  Ketika kereta yang kutumpangi berhenti di sebuah stasius kecil di Jawa Barat, saya melihat anak-anak kecil mengemis, minta uang atau makanan.  Pemandangan yang biasa, katamu?  Mereka mengemis karena miskin, mudah dipahami.  Orangtua mereka tak mampu memberi nafsah secukupnya.  Saat saya pulang, sampai di Yogya, seolah seperti yang dialami yang mulia Buddha Gautama, mendapatkan pencerahan karena memahami bahwa dunia kita ini “duhka”, penuh penderitaan.  Masih kurang contoh?  Lihatlah dunia sekitarmu sendiri! Tetapi jangan menepisnya dengan dalih murahan, “pemandangan yang biasa”.  Terimalah kenyataan itu dengan keprihatinan yang terdalam.  Pertanyaannya adalah apa yang bisa kau buat?  Apa yang akan kau lakukan?


Akan tetapi memang, ada penderitaan yang terjadi karena kesalahanmu sendiri, karena kau malas, suka mencari enaknya sendiri, tidak menjaga kesehatan, kurang hati-hati, teledor, sembrono, belum terhitung yang benar-benar jahat, seperti kenekatan, mata gelap, benci, iri, dendam yang mengakibatkan tidak saja penderitaan dirimu sendiri, melainkan juga penderitaan orang lain.  Pertanyaannya tetap sama, apa yang bisa kau buat?  Apa yang akan kau lakukan?

Mengenangkan orang-orang “suci” yang sudah meninggal, merupakan salah satu cara untuk memperoleh inspirasi, mengenai apa yang bisa kita buat, apa yang akan kita lakukan.  Tidak harus sama dengan mereka tentu saja, karena perbedaan kepribadian kita, situasi tempat dan zaman, serta kesempatan atau peluangnya.  Orang suci tidak hanya menjadi perantara doa kita, memohonkan rahmat untuk hidup kita, tetapi juga sebagai model dan teladan, sehingga dengan hidup “seperti” mereka, kita sendiri berharap bisa menjadi “suci”.  Apakah orang menjadi “suci” hanya karena berhasil menyelamatkan dirinya sendiri?  Kukira tidak!  Ada sesuatu perbuatan khas yang mereka lakukan yang juga berguna bagi sesamanya.  Semacam “jasa” yang signifikan untuk dikenang karena mampu mengentaskan orang-orang lain dari berbagai macam bentuk kedukaan dan penderitaan dengan resiko dirinya sendiri menderita.  Orang yagn semacam ini dekat dengan Tuhan.

Pada tanggal 17 bulan ini, kita merayakan kemerdekaan tanah air dari penjajahan.  Tiba-tiba, kita pun diingatkan pada “jasa” orang-orang suci semacam itu, bukan dalam ukuran Gereja, melainkan dalam ukuran negara.  Mereka disebut pahlawan, yakni orang yang layak mendapatkan “pahala” karena jasa-jasanya ikut serta membebaskan rakyat dari penderitaan.  Pada zaman dulu, musuh mereka adalah kaum penjajah dan jasa mereka adalah ikut berperang.  Semangat kesuciannya disebut patriotisme atau cinta tanah air (patria).  “Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati…” demikian lagu sendu yang mendorong mareka berani angkat senjata untuk membela yang namanya “ibu pertiwi”, tanah air, negara dan rakyat Indonesia.  Pertanyaannya, apakah sekarang masih ada anak-anak negeri yang mencintai “ibu pertiwi”, tanah air, negara dan rakyatnya?  Tidka harus dengan menjadi tentara, tentu saja, karena penjajahan sudah tiada, tetapi dengan memberikan dirinya dalam bentuk karya apa saja yang bertujuan mengurangi penderitaan masyarakat.

Di tengah maraknya korupsi para pejabat dan politisi, yang menguras duit rakyat dengan rakusnya, tahun-tahun belakangan ini, jangan katakan “Ah, itu pemandangan yang biasa”, sebab kita diharapkan pada kenyataan penderitaan yang sesungguhnya jauh lebih menyengsarakan, yakni hilangnya rasa cinta “ibu pertiwi”, tanah air atau negara dan rakyatnya.  Pertanyaannya, religius (di Indonesia tentu saja) bisa apa? Apa yang akan kita lakukan? (Romo A. Sudiarja, SJ)

Sumber: Majalah Rohani No. 08, Tahun ke-59, Agustus 2012

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Reboan – Refleksi Iman AREK KAJ

/

Seksi Komsos

Seringkali kita lebih mengandalkan kemampuan diri sendiri dan kehendak manusia, kita dapat  terjebak pada kesombongan dan keangkuhan diri. Melupakan kesatuan dengan sang pokok anggur sejati, ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Kerangka Acuan Gerakan Tahun Syukur KAJ 2015

/

Seksi Komsos

PENGANTAR Tahun 2015 adalah tahun terakhir preiode implementasi Arah Dasar Pastoral (Ardaspas) KAJ 2011-2015.  Setelah sosialisasi Ardaspas KAJ pada tahun 2011, di tahun-tahun berikutnya umat ...
SELENGKAPNYA