Featured Image Fallback

Bagaimanakah Seorang Gembala Yang Baik?

/

Seksi Komsos

Jika saya boleh mengemukakan sedikit pendapat dari sudut pandang saya sebagai seorang imam (ini tidak mewakili pandangan semua imam), maka bagi saya:

Pastor yang baik adalah pastor yang berani menerima dirinya apa adanya. Beberapa teman seimamat (saya sebut confrater) menjadi aneh dalam pandangan kami, sebab tidak berani menerima keluarganya. Maklum, tidak jarang confrater berasal dari keluarga miskin. Ketika menjadi pastor dia mengalami lonjakan status sosial dengan aneka bentuk hal yang mengikutinya: punya mobil (meski milik paroki), didengarkan orang jika berbicara (orang miskin sering kali terbungkam), punya kekuasaan (orang miskin tidak mempunyai kuasa kecuali atas dirinya sendiri, inipun masih sering tidak dimiliki), dan sebagainya. Nah, semuanya itu sekarang dia peroleh, sehingga dia lupa akan akar hidupnya. Akibatnya, akan kelihatan “aneh”.

Pastor yang baik adalah pastor yang menjadi dirinya sendiri. Semua gelar, status, kepemilikan itu bukan miliknya; dirinya tetap seperti dulu ketika belum jadi pastor. Akan repot jadinya, kalau pastor ingin menjadi seseorang seperti yang diinginkan orang. Akibatnya dia menggunakan topeng. Padahal ini capek kan? Nah, ketika dia tidak tahan lagi memakai topeng, dia bisa meledak. Makanya saya berusaha menjadi diri saya sendiri. Kalau umat tidak setuju dengan diri saya, ya udah.. itu hak umat, sebab saya juga harus berani menerima umat apa adanya. Jadi, harus ada timbal balik dong… Karenanya, saya tidak membedakan bergaul dengan anak-anak sampai orang tua. Saya tidak berusaha menjadi pastor ideal, sebab itu akan membuat saya aneh saja.

Pastor yang baik adalah pastor yang dapat menjadi saluran rahmat Allah. Karenanya, umat diminta mendoakan. Bukan agar dia kudus, melainkan agar saluran itu tidak bocor atau tersumbat, sehingga rahmat Allah tetap lancar. Bayangkan saja seperti talang (saluran air hujan) di rumah. Kalau talang penuh dengan sampah atau bocor, kan airnya akan habis ketika sampai di ujung. Nah, siapa yang merawat talang air itu? Ya umat dan diri pastor itu sendiri. Repotnya, umat sering tidak mampu. Jujur saja, banyak confrater dikelilingi oleh orang kaya dan cantik, sebab orang miskin dan jelek tidak berani datang ke pastor kecuali minta bantuan. Nah, ke mana orang kaya membawa para pastornya? Ke rumah makan, taman rekreasi, luar negeri (katanya ziarah, tapi 90% hanya keliling Eropa). Bagaimana kebersihan talang bisa terjamin kalau diisi dengan aneka hal macam itu? Jarang sekali umat mengajak pastor doa, retret, menyepi dll, kecuali umat meminta pastor untuk memberi retret, memimpin doa lingkungan, dll. Ini kan sama saja umat menimba air dari sumur pastor. Nah, kalau sumur itu terus ditimba, apakah akhirnya tidak akan kering? Umat memang mengandaikan bahwa pastor punya jadwal doa, tapi apakah sungguh dilaksanakan? Banyak confrater tidak berdoa lagi.

Pastor yang baik adalah pastor yang punya visi pengabdian pada orang lain, artinya orang yang melakukan karya kerasulan yang nyata. Meski sering pulang malam, bahkan dini hari, saya tidak pernah diprotes umat, sebab mereka tahu ke mana saya pergi, yaitu ke tempat yang mereka hindari. Mereka bisa melihat aktifitas saya. Maka, meski saya goncengan dengan gadis pun mereka tidak protes, sebab mereka melihat apa yang saya kerjakan, mereka melihat teman-teman saya yang kumuh dan jorok, teman-teman preman dan aktifis. Coba kalau yang saya goncengkan gadis-gadis manis terus menerus, pasti sebentar saja akan terjadi isu heboh. Ini sudah kejadian di tempat saya. Saya sering goncengan dengan seorang gadis ke tempat aktifitas selama bertahun-tahun tidak ada isu, eh ada confrater suka belanja ke makro dengan seorang ibu, padahal naik mobil, isu berkembang pesat sampai ada penyidangan dari Dewan Paroki segala. Nah, perbedaannya adalah saya pergi untuk kerasulan sedang yang lain pergi untuk makan dan belanja.

Pastor yang baik adalah pastor yang bisa “mancalo putra mancalo putri” artinya bisa beradaptasi dengan siapa saja dia bergaul: bisa dengan orang kaya maupun miskin, dengan laki maupun perempuan, tua maupun muda.

Wah, repot ya jadi pastor itu. Akan tetapi, sebenarnya itu semua ringan kok kalau dijalani dengan cinta. Kalau saya sih berharap agar umat bisa menempatkan pastor secara seimbang, artinya saya tidak suka kalau pastor ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi, misalnya di Atambua, pastor itu dipanggil Amo (manusia setengah dewa). Wah, ini konyol.. sebab dengan demikian dia akan membawa sebutan itu dengan berat atau sebaliknya sewenang-wenang. Jadi, perlakukan pastor secara wajar, artinya sebagai sahabat, saudara… Sayangnya, kita masih menjadikan saudara dengan syarat, misalnya “saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus”. Lha kalau tidak dalam Kristus kan bukan yang terkasih ha..ha… (ini hanya guyonan kok..)

Ditulis oleh: Romo Yohanes Gani Sukarsono, CM

Sumber: Situs  www.indocell.net/yesaya

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Surat Cinta Untuk Anakku

/

Seksi Komsos

Romoku Terkasih – Anakku, Hari ini dengan segala sukacitaku sebagai ibumu, aku menghantarmu menuju Altar Tuhan untuk menerima tahbisanmu menjadi Imam Kristus. Rasa haru dan ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Hidup Bersama, Bukan Sama-Sama Hidup

/

Seksi Komsos

Hakekat hidup membiara memberi tempat yang paling dasar pada Hidup Bersama (HB). Hidup bersama dalam membiara bukanlah sekedar hidup bersama sama dalam satu tempat, atau ...
SELENGKAPNYA