You are here : Home Artikel Kesehatan Sakit? Sakit!

Sakit? Sakit!

Seseorang bermimpi akan berusia 125 tahun.  Ada yang berkomentar, bagus saja, asal selama itu sehat terus.  Rupanya sakit dianggap sebagai sesuatu yang negatif untuk memandang hidup ini sebagai karuia dari Tuhan.  Maka nada suaranya selalu berbunyi: "Sayang bahwa sakit".  Mungkin hal itu juga menyebabkan orang berburu dokter atau dukun atau orang yang dapat menyembuhkan penyakit.

Banyak yang berkeyakinan bahwa kita harus melakukan segala sesuatu agar penyakit dapat disembuhkan.  Barangkali hal itu sebabnya mengapa Misa Penyembuhan atau Acara Doa Penyembuhan selalu laku didatangi orang.  Mungkin kita dapat bertanya, apakah sikap iman mengenai sakit dan penyakit?

Sampai dengan tahun 1980-an saya hampir tidak pernah mengenal rumah sakit, kecuali ketika Ibu saya melahirkan saya di RS Panti Rapih, Yogyakarta 1943.  Tetapi waktu dilahirkan saya tidak ingat, bahwa saya merasa sakit, walau dugaan saya, ketika itu saya menjerit dan menangis.

Mungkin kita dapat merenungkannya dari situ.  Jerit dan tangis kerap kali dipakai sebagai ukuran apakah seorang bayi atau anak kecil mengalami sesuatu yang tidak baik atau tidak enak.  Sejumlah peneliti menemukan bahwa jerit dan tangis bayi kerap kali tidak disebabkan karena sesuatu yang perlu dirisaukan keterlaluan.  Jerit dan tangis mirip dengan alarm yang membawa kita pada sesuatu yang lainn: misalnya udara yang perlu disegarkan atau cahaya yang perlu ditambah.  Cara pandang terakhir ini sudah mengubah cara kita memandang jerit dan tangis.  Mungkin sekali sakit dan penyakit dapat dilihat dari sudut yang tidak senantiasa terlalu negatif.  Sakit dan penyakit dapat juga dilihat sebgai suatu jalan untuk pencerahan yang lebih lanjut tentang manusia.

Karena sakit, saya mengenal Dr. Djoko atau De. Gardjito atau Dr. Emon dengan segala sifat dan kebaikannya.  Seakit merupakan jalan bahwa saya lbeih dapat ikut serta merasakan penderitaan sesama saya.  Sakit saya menyebabkan saya mengenal kondisi Rumah Sakit Panti Rapih, Elizabeth, Carolus, atau Radboud sedemikian sehingga memberi saya cara pandang lebih luas mengenai cara pelayanan orang sakit.  Sakit juga menyebabkan saya lebih kenal tubuh saya, yang sebelumnya tidak begitu saya pedulikan sehingga segala peristiwa jasmani saya anggap "memang harus begitu", padahal sebetulnya tidak.  Maka sakit saya adalah jalan luar biasa untuk kenal diri.  Sakit juga memungkinkan saya mengenali dinamika cara Tuhan menyentuh saya.  Ternyata, Dia menjamah saya tidak hanya melalui kata-kata dari pembimbing atau guru atau orangtua saya.  Tuhan juga sesekali menjamah saya dengan menyentakkan saya lewat tangan yang patah, lewat jantung yang agak sakit, ginjal yang agak tersendat atau melalui tenggorokan yang meradang.

Sakit adalah peristiwa, yang dapat dilihat dari sudut jaringan, tetpai juga dapat menjadi peristiwa kejiwaan dan juga merupakan wahana peristiwa spiritual.  Saat Elizabeth merasakan anaknya menendang perutnya, maka itu tidak dirasakan sebagai sakit seperti sebelumnya melainkan sebagai sinyal bahwa Ibu Tuhan datang.  Ketika Petrus Claver menemukan seorang budak sakit, maka sakit itu menjadi jalur rahmat.  Tatkala orang gelandangan sakit di Calcuta itu menjadi tangan Tuhan yang memanggil Teresa untuk menggerakkan sekian banyak perempuan lain terlibat pada orang nestapa.

Sakit kita dapta memberi banyak makna.  Maka pelayanan orang sakit dapat menjadi tempat kita memberikan pelayanan ekonomis, tempat penyediaan kerja atau peluang kontak dengan orang beragama lain; tetapi juga dapat menjadi tempat kita menyehatkan kejiwaan atau penyelamat kerohanian kita.

Itulah sebabnya mengapa Tuhan hadir dalam komunikasi dengan orang sakit.  Dia tidak pertama-tama mau menyembuhkan si buta atau si lumpuh.  Ia mau menghadirkan Kerajaan Allah.  Itu juga panggilan kita, yang secara istimewa diperingati dalam Hari Orang Sakit Sedunia: untuk menjadi Saksi Iman. 
 
(Sumber: Warta Kategorial, Februari-MAret 2008)