Kalau berbicara mengenai iman, maka mau tidak mau harus berbicara mengenai wahyu terlebih dahulu karena keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
a. Wahyu
Berbicara mengenai wahyu tidak dapat dilepaskan dari dua paham yang berbeda, yang berkembang saat ini. Di satu pihak, kebanyakan orang memahami wahyu berdasarkan pada rumusan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988). Kamus ini mengartikan wahyu dengan rumusan “petunjuk dari Allah yang ditujukan hanya kepada para nabi dan rasul, melalui mimpi dan sebagainya.“ Rumusan tersebut mau mengatakan bahwa dalam pewahyuan harus ada tiga unsur pokok, yaitu ada yang memberi (Allah), ada yang menerima (nabi dan rasul), dan ada yang diberikan (wahyu). Di lain pihak, Konsili Vatikan II mengartikan wahyu dengan ungkapan: “Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan menyatakan kehendak-Nya….Maka dengan wahyu ini Allah yang tak kelihatan karena cinta kasih-Nya yang melimpah-ruah, menyapa manusia sebagai sahabat dan bergaul dengan mereka, guna mengundang dan menerima mereka ke dalam persekutuan-Nya…. Melalui wahyu ini kebenaran yang paling mendalam, baik tentang Allah maupun tentang keselamatan manusia, menjadi jelas bagi kita dalam Kristus yang sekaligus menjadi perantara dan kepenuhan seluruh wahyu.“ (DV 2). Berdasarkan kutipan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa wahyu adalah Allah Sendiri, Yang hadir dan menyapa manusia, Yang berbicara dengan manusia, dan Yang berelasi dengan manusia secara pribadi. Dengan kata lain, wahyu itu adalah Allah Sendiri, Yang menyatakan rahasia penyelamatan-Nya bagi manusia.
b. Iman
Kalau wahyu dipahami sebagai Allah Sendiri, Yang hadir dan menyapa manusia, Yang berbicara dengan manusia, dan Yang berelasi dengan manusia, maka dari pihak manusia diharapkan adanya tanggapan atas sapaan Allah ini. Tanggapan manusia inilah yang disebut iman. Hal ini dikatakan dengan tegas dalam Konsili Vatikan II: “Kepada Allah yang mewahyukan diri, manusia harus menyatakan ketaatan iman. Dalam ketaatan iman tersebut manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dengan kepenuhan akal budi dan kehendak yang penuh kepada Allah pewahyu…..” (DV 5). Dengan demikian, tampaklah bahwa iman dapat diartikan sebagai sikap penyerahan diri manusia, dalam perjumpaan pribadi dengan Allah.
Menjadi orang beriman Katolik
Bertitik tolak dari pemahaman di atas, dapatlah dikatakan bahwa menjadi orang beriman Katolik berarti orang harus percaya, mempunyai sikap penyerahan diri secara utuh dan penuh, baik akal budi maupun kehendak, kepada Allah yang menyapanya dalam diri Yesus. Iman seperti inilah yang hendaknya tumbuh dan berkembang, dalam diri dan hidup orang beriman Katolik, melalui agama Katolik yang dianut dan dihayatinya.
Sumber: Buku Tanya Jawab Pengetahuan (minimum) Hidup Menggereja, disusun oleh Johanes K. Handoko, Ketua Panitia Perayaan 30 Tahun Gereja Katolik Trinitas, 2008