UNTUK SIAPAKAH AKU MEMAKAI JUBAH?
(perlu dibaca oleh seorang imam – tak ada salahnya direnungkan oleh semua umat)
“Sekarang kami memanggilmu, Romo Bargowo…,” begitulah sahabat, kenalan dan tetangga serta keluarga memanggil Bargowo, si anak bungsu yang tampan, pintar nan lincah itu. Upacara pentahbisan imam untuk Bargowo baru saja usai. Segenap keluarga dan handai taulan tampak begitu bergembira. Tak henti-hentinya orangtua Romo Bargowo menerima ucapan selamat atas pentahbisan anaknya yang sungguh membuat bangga keluarga itu. Semua orang memuji-muji orangtua Romo Bargowo yang telah berhasil mendidik dan mempersembahkan anaknya bagi Gereja.
Upacara pentahbisan telah usai. Hari-hari sibuk dijalani oleh Romo Bargowo dengan sederet “Safari Misa Perdana” di mana-mana, mulai dari sekolah TK-nya dulu sampai Paroki tempat Romo Bargowo melayani terakhir kali sebagai Diakon. Sungguh luar biasa sambutan yang diberikan oleh seluruh sahabat dan umat. Romo Bargowo selalu menjadi pusat perhatian, serasa menjadi seorang selebriti. Semua orang senang, semua orang bangga, semua orang bersorak-sorai bahagia.
Satu bulan kemudian, Romo Bargowo memulai tugas pelayanannya di sebuah Paroki. Pelayanan dijalani dengan penuh semangat. Romo Bargowo sangat populer di tengah umat dengan khotbahnya yang memukau, perhatiannya yang besar kepada kaum muda, dan kepintarannya bergaul dengan semua lapisan umat. Sungguh, kehadirannya serasa bagai rahmat yang mengagumkan. Pengalaman demi pengalaman dialaminya. Sembilan setengah bulan kemudian, di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba terdengar berita mengejutkan: “Romo Bargowo terserang penyakit MUNTABER…..” Semua umat kaget dan terpana: “Hah?!….. Romo Bargowo MUNdur TAnpa BERita???”
Memang benarlah bahwa Romo Bargowo melepas jubah imamnya untuk memakai pakaian yang lainnya. Kabar itu terdengar sampai seantero dunia di sekitarnya. Orangtua Romo Bargowo terkejut, lemas dan tidak tahu harus ke mana untuk menyembunyikan muka mereka. Kecewa, sedih, marah, dan caci-maki bercampur bersama, menjadi masakan yang tak enak dicicipi. Berkat menjadi kutuk, rahmat menjadi petaka. Dua bulan kemudian, salah satu dari orangtua mantan Romo Bargowo menghadap Bapa di surga dengan membawa kesedihan dan kekecewaan yang mendalam akan anak yang selama ini jadi kebanggaan mereka.
Sebuah pertanyaan untuk kita
Kisah di atas bukan sebuah kisah nyata, bukan pula cerita kosong. Cerita ini adalah khayalan yang bisa muncul dalam mimpi seorang imam. Adalah sesuatu yang berharga kalau seorang imam mau meluangkan waktu sejenak untuk menatap dirinya dalam jalan panggilan sucinya. Secara jujur dan otentik, seorang imam diharapkan mampu menggali isi hatinya sendiri. Dengan model pakaian/jubahnya masing-masing, seorang imam boleh bertanya: “Sebenarnya, untuk siapakah aku menapaki jalan panggilan suci ini?” Pilihan jawaban yang diberikan adalah: (A) Yesus & Gereja; (B) Keluarga; (C) Diri sendiri; (D) A & B benar; (E) Semua jawaban benar; (F) …. (bisa diisi sesuai kepercayaan masing-masing).
Sekiranya tergugah, seorang imam boleh kembali membayangkan saat-saat duduk di bangku SMA – saat ia pernah mengalami ujian dengan model multiple-choice. Mari bersama kita coba mendalami pertanyaan di atas dan temukan jawabannya secara bersama pula – tentu saja tanpa menyontek jawaban orang lain. Tetapi, sekiranya seorang imam sudah merasa cukup tahu jawabannya, tak ada salahnya kalau ia juga ikut mengambil waktu yang ada dan mendalami lagi jawabannya itu. Siapa tahu, jawabannya menjadi berubah atau malah makin tegas dan mantap dalam pilihan jawabannya.
Sebuah kenyataan dalam hidup kita
Membahagiakan orangtua adalah impian setiap anak. Membahagiakan diri sendiri adalah kebutuhan dasar semua orang. Dan, membahagiakan pribadi yang kita kasihi adalah “naluri” hampir semua mahluk hidup. Binatang pun memiliki insting yang sama dalam tarafnya masing-masing. Sebagai mahluk pribadi dan sosial, seorang imam juga ada dalam situasi itu. Oleh sebab itu, tanpa ia sadari, tindakan dan perilaku seorang imam juga dipengaruhi oleh naluri, kebutuhan dan impian yang bersemayam dalam dirinya. Itulah kenyataan dalam hidup seorang imam.
Lalu, bagaimana dengan keputusan seorang imam dalam panggilan suci ini? Untuk siapakah ia memutuskan menjadi imam? Hanya ia sendiri yang tahu persis tentang apa yang menjadi dasar pertimbangannya, dan hanya ia sendiri yang dapat menimbang pilihan jawaban mana yang paling sesuai untuk pertanyaan di awal tulisan ini: A, B, C, D, E atau F.
Jawaban ”A” adalah jawaban par excellence untuk semua orang yang berada dalam jalan panggilan mulia ini. Ajaran Gereja, Regula dan Konstitusi serta semua Pemimpin Ordo/Kongregasi/Tarekat mengajarkan dan mengharapkan jawaban itu. Barangsiapa tidak menjawab “A” tentu tidak akan berumur panjang dalam komunitas religius/imam, apalagi masih dalam rumah formasi. Hal ini memang menyangkut yang hakiki dan dasariah dalam jalan panggilan imamat ini. Yesus Kristus dan Gereja adalah alasan dan tujuan yang mempersatukan para imam. Rasa cinta dan bakti yang tinggi kepada Tuhan dan Gereja memang mesti ada dalam diri seorang imam. Maka jawaban “A” – tidak boleh tidak, harus dipilih!
Namun, ujian belum selesai. Masih ada pilihan jawaban yang lain. Mumpung masih ada waktu, mari bersama kita periksa sejenak relung hati yang paling dalam. Dari sudut hati yang mulai terjepit lipatan-lipatan lemak, ada yang berteriak: “Jawaban ‘B’ yang paling benar….” Benarkah seorang imam memutuskan untuk menjalani panggilan khususnya ini demi keluarganya? Demi nama baik orangtua dan status keluarganya? Dengan keputusannya untuk tetap “mantap seumur hidup” dalam panggilan ini, maka orangtuanya akan bangga dan insya Allah, tidak terjadi apa yang dialami oleh orangtua mantan Romo Bargowo dan juga tidak akan dinilai sebagai perusak nama baik keluarga. Peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” tidak akan menimpa keluarganya. Mungkin bukan hanya menyenangkan orangtua dan keluarga secara batiniah, tetapi juga sedikit-sedikit secara lahiriah – dengan caranya masing-masing, sesuai tingkat kecerdasan dan kecerdikan seorang imam. Semua ini serba mungkin! Lebih dari itu, boleh disadari juga bahwa membahagiakan keluarga adalah bagian dari impian seorang imam. Bisa jadi ia tetap bertahan dalam panggilan demi orangtua dan keluarganya. Kemudian, memang masuk akal kalau terdengar ungkapan: “Jelek tak masalah, yang penting tidak keluar.” Jadi, jawaban ‘B’ bisa dipilih juga – tanpa harus melirik dan membandingkan dengan jawaban teman imam lainnya.
Ada terdengar lagi suara dari sisi lain hati seorang imam yang sudah mulai terserang kanker: “Nggak, jawaban ‘C’ yang paling benar!” Benarkah bahwa seorang imam memutuskan setia dalam panggilan ini karena demi kepentingan dirinya sendiri? Adakah kebutuhan-kebutuhannya yang tersembunyi yang dapat dipenuhi secara melimpah dalam jalan panggilan ini? Boleh diakui dengan jujur bahwa untuk masyarakat kita, jalan panggilan imamat ini adalah jalan yang dipandang sangat mulus dan nyaman. Orang Ateis bilang: “It is a good job!” Maka benarlah apa yang dikatakan Yesus tentang upah mengikuti Dia: “Barangsiapa meninggalkan saudara/i, ibu/bapak, anak dan ladangnya demi Aku, akan mendapatkan 100x lipat pada masa ini dan hidup yang kekal di masa yang akan datang.” (bdk.Mark 10:28-30 atau paralelnya.) Sungguh benar kata-kata Tuhan itu dan sungguh nyata hal itu dalam hidup seorang imam. Segalanya mudah didapat, baik itu yang duniawi maupun yang surgawi. Seorang Misionaris tua yang sudah puluhan tahun hidup di pedalaman berucap: “Tak pernah terdengar ada anggota kita yang mati kelaparan, tetapi yang mati kekenyangan memang sudah banyak!” Maka jawaban ‘C’ juga bisa menjadi pilihan.
Memang mesti diakui bahwa kebutuhan dasar duniawi (lahiriah dan batiniah) seorang imam dapat terpenuhi dalam jalan panggilan ini. Entah ia punya sikap lepas bebas atau tidak, de facto, situasinya memang lebih dari mencukupi. Segalanya telah tersedia untuk seorang imam. Ia tidak perlu mengalami nasib sama seperti orang miskin yang dilayaninya, atau punya beban berat memikirkan kesejahteraan hidupnya. Kehidupan seorang imam boleh dikatakan jauh lebih baik dan lebih layak. Hal ini kadang menjadi dorongan yang amat kuat untuk seorang imam mampu memegang teguh dan setia dalam menapaki jalan panggilannya. Maka sungguh masuk di akal kalau ada yang berkata: “Sebenarnya aku tidak tahan, tapi mau gimana lagi, sudah terlanjur tua, nikmati aja, di luar malah lebih susah….” Ungkapan batin ini seringkali dengan gamblang dapat dilihat dalam sikap dan perilaku sehari-hari dalam hidup komunitas seorang imam, dan tentu tidak enak sekali untuk didengar, apalagi oleh Pemimpin Kongregasi.
Sebuah Panggilan untuk kita
Semua di atas hanyalah “kontemplasi” akan ujian SMA dulu. Mungkin benar, mungkin salah, mungkin semua benar dan mungkin pula semua salah. Tetapi kalau hal itu sampai muncul dalam benak seornag imam, setidaknya berarti hal itu pernah pula hinggap pada diri seorang imam dan pernah pula menjadi bahan renungannya. Ada kutipan kata-kata yang menggugah dari Romo Herbert Alphonso, SJ, seorang pakar spiritualitas. Beliau menuliskan: “Sungguh menyedihkan, kita sering memahami kata “panggilan” yang hanya dipakai untuk menyebut panggilan khusus Imam, Suster, Bruder, atau malah hidup berkeluarga saja. “Panggilan” dalam arti biblis adalah sebuah ‘arah hidup atau perutusan’ dari Tuhan dalam hidup pribadi masing-masing dari kita.” (The Personal Vocation, CIS, Roma, 1990).
Maka, pantaslah kalau seorang imam bertanya kembali: “Sebenarnya untuk siapa aku menjalani panggilan suci ini? Seberapa bebaskah aku menjalani panggilan ini?” Sekiranya seorang imam mau membebaskan dirinya dari keluarga, kebutuhan pribadinya, dan hanya bekerja penuh untuk Tuhan dan GerejaNya, maka indah dan mulia-lah keputusannya untuk memilih hidup di jalan panggilan imamat yang suci ini. Jika seorang imam membaktikan seluruh waktu, kemampuan, dan tenaganya untuk Tuhan dan GerejaNya saja, maka ia akan menjadi lebih bebas, merdeka dan berbuah limpah dalam setiap pelayanannya. Hatinya lepas dan bebas untuk memuliakan Dia, menolong dan mencintai sesamanya. Itulah panggilan suci seorang imam, itulah perutusan seorang imam. (Bagi pengalaman dan pemikiran seperti yang ditulis oleh seorang Imam, identitas lengkap ada pada Redaksi.)
Sumber: Majalah Sabitah Edisi 44, Juli-Agustus 2010