Featured Image Fallback

Untuk Kita Renungkan

/

Seksi Komsos

Banyak dari kita yang pasti mengenal penyanyi kondang Nusantara, Ebiet G. Ade.  Di era 1980-an, Ebiet begitu dikenal luas dengan lagu-lagu buah penanya sendiri.  Penampilannya yang sederhana dan selalu ditemani gitar, serta lirik-lirik lagunya yang tidak biasa semakin membuat Ebiet menjadi seorang penyanyi yang ‘lain daripada yang ada’ pada masanya.

Apa hubungannya dengan tulisan ini?

“Untuk Kita Renungkan” adalah salah satu lagu hasil tulisan Ebiet G. Ade.  Lagu ini begitu berkesan buat penulis.  Dari sejak penulis kenal lagu ini hingga sekarang, seringkali kata-kata dalam lagu ini bergema dan bergema lagi, seiring dengan kejadian-kejadian yang penulis alami sendiri atau yang terjadi di sekitar penulis.  Untuk itu, penulis ingin sekali berbagi cerita dengan para Pembaca semua.

Suatu pagi, saat bel tanda pergantian pelajaran berbunyi, Ibu Isti, Guru Agama di SMP Santa Maria, masuk ke kelas penulis dengan membawa sebuah radio.  Dengan senyum khas-nya, Ibu Isti meminta kami untuk menyiapkan pen dan kertas.  Kami mulai ribut, pasti ulangan mendadak!  Beberapa dari kami sempat membuka-buka dengan cepat catatan pelajaran Agama, mencoba menghafal beberapa catatan kecil yang dibuat pada pelajaran terakhir.
 
Ternyata, kami semua terkecoh.  Ibu Isti yang sedari tadi tersenyum melihat tingkah panik kami hanya duduk memperhatikan kami saja.  Setelah meminta kelas untuk diam, Ibu Isti menjelaskan, “Coba dengar lagu ini, akan saya putar beberapa kali.  Catat apa yang dapat kamu catat dari lagu ini.”  Kami semua menarik nafas lega – tentunya karena ternyata bukan akan diadakan ulangan mendadak! – dan lalu mulai serius mendengarkan lagu yang mengalun.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.
Suci lahir dan di dalam batin.
Tengoklah ke dalam sebelum bicara.
Singkirkan debu yang masih melekat, oooh…
Singkirkan debu yang masih melekat.

Anugerah dan bencana adalah kehendakNya.
Kita mesti tabah menjalani.
Hanya cambuk kecil, agar kita sadar.
Adalah Dia di atas segalanya, oooh…
Adalah Dia di atas segalanya.

Anak menjerit-jerit, asap panas membakar,
Lahar dan badai menyapu bersih.
Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat,
Bahwa kita mesti banyak berbenah.

Memang bila kita kaji lebih jauh,
Dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista, oooh…
Tuhan pasti telah memperhitungkan,
Amal dan dosa yang kita perbuat

Ke manakah lagi kita ‘kan sembunyi?
Hanya kepadaNya kita kembali.
Tak ada yang bakal bisa menjawab,
Mari hanya tunduk sujud padaNya.

Ibu Isti mengulang lagu itu sebanyak 3 kali, sebelum akhirnya menyetop semua kegiatan pencatatan lirik lagu itu oleh kami, dan lalu meminta pendapat kami tentang isi dari lagu itu.  Begitulah.  Hari itu, penulis yang masih pelajar SMP merasakan ‘sesuatu’ yang lain. 

Sejak hari itu, lirik lagu di atas terpatri kuat dalam benak penulis.  Tahun terus berganti dan kini, penulis pun telah menjadi seorang istri dan ibu dari 3 putera-puteri.  Lagu itu tetap berkesan dalam diri penulis, bahkan sering penulis jadikan bahan untuk mengajarkan iman akan Tuhan kepada anak-anak dan juga menjadi bahan untuk merenungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.  Suci lahir dan di dalam batin.”  
Betapa terlalu sering kita merasa diri ini bersih, terlalu sering kita membalut tubuh kita dengan baju-baju mahal, dengan atribut-atribut penaik gengsi.  Kita sering berpura-pura, sering memakai kedok, tidak pernah mau benar-benar telanjang dan bersih, tidak pernah berusaha untuk selalu suci lahir dan batin.  Terhadap sesama saja kita tidak berlaku demikian, apalagi terhadap Tuhan.

Tengoklah ke dalam sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat, oooh… Singkirkan debu yang masih melekat.”  
Betapa kita sering berbicara semau kita.  Berdalih kebenaran, padahal kita telah melakukan kesalahan, menunjuk orang berbuat jahat, padahal perbuatan kita jauh lebih jahat dari orang lain.  Terlalu jarang kita berani menengok ke dalam diri kita, mengakui kelemahan kita dan mau mengakui kesalahan kita.  Kesalahan kecil saja terkadang malu kita akui di depan anak atau suami/istri kita, atau mungkin sahabat dan rekan sekerja kita, apalagi untuk kita akui di hadapan Tuhan.  Yang sering terjadi adalah, saat kita mengantri untuk menerima Sakramen Tobat, kita akan terus berpikir: “Dosaku apa, ya?”

Anugerah dan bencana adalah kehendakNya. Kita mesti tabah menjalani.”  
Kalau mendapat anugerah dari Tuhan, kita bergembira, kita ingat untuk bersyukur dan berterima kasih.  Tetapi, bagaimana kalau kita menghadapi bencana?  Mendapat sakit yang berkepanjangan, atau bahkan tak ada obatnya lagi?  Mendadak menjadi tidak punya apa-apa lagi, padahal dulu kita adalah orang berpunya?  Rasanya, dalam saat bencana menerpa kita, tidak pernah ada rasa syukur karena Tuhan tetap menyertai kita.  Yang ada ialah keluhan dan rintihan, protes dan penyesalan akan keadaan yang dihadapi yang kita panjatkan terus-menerus kepada Tuhan.  Kita kurang tabah dalam menjalani bencana hidup ini, tetapi kita begitu lupa pada Tuhan kalau kita mendapatkan anugerah dariNya.

Hanya cambuk kecil, agar kita sadar.Adalah Dia di atas segalanya, oooh… Adalah Dia di atas segalanya.”
Bencana-bencana dalam  hidup ini adalah cambuk kecil – tentunya tidak sakit atau membuat kulit kita robek – dari Tuhan supaya kita sadar, bahwa kita bukanlah apa-apa.  Tuhan-lah Yang Maha Segalanya.  Dia yang mengatur seluruh alam raya ciptaanNya ini.  Tetapi, seberapa dari kita yang sadar?  Kalau kita menonton film “The Passion of  Christ”, melihat bagaimana Tuhan Yesus didera, dipecut dengan cambuk bersimpul besi hingga kulitNya robek, daging dan ototNya mencuat keluar, apakah kita sanggup untuk memikul hal yang sama? Dia memikul dosa dan kesalahan dari orang-orang yang tidak dikenalNya, sedangkan kita hanya diminta untuk memikul dosa dan kesalahan kita sendiri di hadapan Tuhan, dan itu pun tidak sanggup kita lakukan…..

Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih. Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak berbenah.”
Bencana alam yang marak terjadi, tragedi kemanusiaan model Situ Gintung, kecelakaan pesawat terbang atau transportasi umum lainnya…. semuanya bukanlah hukuman Tuhan atas kejahatan manusia.  Itulah tanda yang dikirim Tuhan bagi kita semua, agar kita perlu banyak berbenah diri, berlaku tobat, menyucikan lahir dan batin kita, berlaku telanjang dan benar-benar bersih di hadapan kuasaNya.  Apakah kita sadar akan hal ini?  Sedikit yang langsung dapat tersadar dan cepat-cepat memeriksa diri, tetapi ……

Memang bila kita kaji lebih jauh, dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista, oooh…”
Tidak sedikit yang malah merasa segala bencana dan tragedi adalah urusan yang berwenang saja, bukan untuk menjadi urusan yang harus dipikirkan.  Bahkan, tidak sedikit yang berpikir dirinya serba bersih, dan terus saja berbuat yang tidak baik atau jahat.  Betapa sekarang ini kita melihat penghancuran anak bangsa oleh bangsanya sendiri.  Korupsi masih terus merajalela, bahkan boleh dikatakan seperti sedang bermain sandiwara saja, maling teriak maling, begitu komentar sejumlah rakyat.  Betapa marak pabrik narkoba beroperasi di kawasan perumahan rakyat.  Ratusan juta bahkan milyaran Rupiah mereka reguk dari orang-orang yang mereka racuni.  Merasa bersalahkah mereka?  Dalam iklim krisis ekonomi seperti sekarang ini, rakyat dibuat semakin susah karena tangan-tangan yang tega membuat bangsa ini semakin terpuruk.  Tangan-tangan yang seharusnya mengangkat harkat dan martabat bangsa malahan menjadi tangan-tangan yang menghancurkan bangsa.  

Tuhan pasti telah memperhitungkan, amal dan dosa yang kita perbuat.”
Memang demikianlah adanya.  Yang mengganjar segala kebaikan dan kejahatan yang kita perbuat bukanlah sesama kita, melainkan Tuhan Sendiri.  Kita dapat saja dikatakan ‘baik’ oleh sesama, kita dapat saja berpura-pura menjadi ‘orang baik’ bagi sesama yang membutuhkan, tetapi yang dapat melihat ketulusan dan keikhlasan perbuatan kita adalah Tuhan.  Dia yang menentukan ganjaran yang setimpal untuk kita baik sekarang, saat kita masih hidup di dunia ini, maupun nanti, saat kita telah meninggalkan dunia ini.

Hidup ini menjadi suatu pilihan bagi kita semua untuk menentukan ‘nasib’ kita di hari esok dan di saat kita kembali menghadap Tuhan kelak.  Maukah kita mengubah pola hidup kebiasaan kita?  Maukah kita setiap hari berlaku tobat – bukan hanya saat masa Prapaskah dan Adven saja?  

Ke manakah lagi kita ‘kan sembunyi? Hanya kepadaNya kita kembali. Tak ada yang bakal bisa menjawab, mari hanya tunduk sujud padaNya.”

(Kontribusi: Stephanie Maria, umat Lingkungan Beato Damian, Wilayah 21)

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Menjadi Pelayan Yang Bahagia

/

Seksi Komsos

Rekoleksi Dewan Paroki Pleno Trinitas, 9-10 Januari 2016 diikuti oleh 165 peserta yang terdiri dari para ketua lingkungan, wilayah, seksi dan kategorial. Rekoleksi yang dilaksanakan ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Family Gathering 2015

/

Seksi Komsos

LINGKUNGAN ST. ROSA VIRGINIA (RV) – WILAYAH 8 Cuaca panas, teriknya matahari dan udara yang lembab tak mengurangi semangat para peserta family gathering lingkungan St. ...
SELENGKAPNYA