Saudara-saudara terkasih dalam Kristus,
Untuk mengawali curahan hati pada hari Raya Paskah 2009 ini, saya mengutip sebuah kisah yang sangat menarik. Kisah ini berjudul, “Tanda-Tanda Luka”
Beberapa tahun yang lalu di sebuah musim panas di Florida bagian selatan. Seorang anak kecil memutuskan untuk pergi berenang di sebuah danau di belakang rumahnya. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar pintu belakang sambil melepaskan sepatu, kaus kaki dan kaosnya, terjun ke air yang dingin. Dia berenang dan berenang terus tanpa disadarinya bahwa dia sudah berada di tengah-tengah danau. Bersamaan dengan itu, seekor buaya besar juga sedang berenang ke arah yang sama. Ibunya dari dalam rumah memandang ke arah jendela dan melihat anaknya dan buaya tersebut semakin lama semakin mendekat satu dengan yang lain. Dengan ketakutan yang luar biasa, dia berlari ke dekat pinggir danau tersebut sambil berteriak kepada anaknya dengan sekuat tenaga. Ketika mendengar teriakan ibunya, anaknya sadar dan berbalik berenang ke arah ibunya.
Namun terlambat sudah …Buaya besar tersebut juga sudah berhasil menjangkau dia. Dari dermaga, ibu itu menggapai lengan anak lakinya bersamaan dengan buaya besar tersebut menyambar paha dari anaknya. Terjadilah tarik-menarik yang sangat mengerikan antara keduanya. Buaya besar tersebut jauh lebih kuat dari ibunya, namun demikian ibunya bertahan mati-matian untuk tidak menyerah dan membiarkan anaknya terlepas. Seorang petani yang kebetulan lewat di sekitar lokasi mendengar teriakan ibu tersebut, bergegas turun dari mobilnya dan menembak buaya besar itu. Secara luar biasa setelah berminggu-minggu di rumah sakit, anak laki-laki tersebut berhasil diselamatkan dan disembuhkan. Pahanya penuh dengan bekas luka dari serangan buaya yang sangat ganas itu dan di bagian lengannya juga terdapat bekas luka cakaran dari kuku-kuku ibunya yang menancap pada daging lengannya sebagai usaha mempertahankan nyawa anaknya yang dikasihinya.
Setelah lewat masa-masa traumanya, seorang wartawan surat kabar yang mewawancarai anak laki-laki tersebut meminta dia untuk menunjukkan bekas luka-luka di pahanya. Anak tersebut kemudian mengangkat celananya,namun dia secara bangga juga berkata kepada si wartawan..”Lihat bekas luka-luka di tanganku yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut. ini terjadi karena ibu saya tidak pernah menyerah.. dan mau melepaskan aku.”
Saudara-saudariku terkasih, anak tadi mampu mengubah pengalaman pahitnya, yakni bekas luka-luka dipaha karena digigit buaya menjadi sebuah pengalaman kebanggaan akan cinta ibunya yang luar biasa untuk bertahan mati-matian menyelamatkan anaknya. Kita semua punya luka-luka batin yang begitu banyak dalam sejarah masa lalu. Namun banyak luka yang masih “menganga” di hati kita dan belum sembuh. Salah satu luka itu terjadi karena kita mendua hati. Di satu sisi, kita ini mengakui bahwa Allah Bapa menjadi satu satunya sumber kehidupan dan masa depan kita. Di sisi lain, tidak jarang kita pun meragukan Allah sebagai andalan hidup kita. Sikap yang mendua hati itu terjadi karena kita kurang sungguh sungguh mengasihi Allah dan sesama.
Kasih kepada Allah itu berbeda dengan mengasihi sesama. Kasih kepada Allah itu berarti saya mestinya tidak meragukan kebijaksanaan Allah. Setelah kita memohonkan ujub kita, tidak jarang kita menanti nanti penuh keraguan, “kapan Allah mengabulkan doaku”. Masihkah ada harapan untuk percaya kepada Allah juga kalau doa tidak dikabulkan? Di situlah sebenarnya dalam ketidakpastian, kita ditantang untuk mempercayakan hidup sepenuhnya kepada Allah. Namun apakah yang terjadi, tanpa disadari, kita lebih suka mencobai Allah, yakni memaksakan kehendak diri sendiri agar Allah mau memenuhi permintaanku, kalau bisa secepatnya. Itulah hidup doa yang mendua: di satu pihak kita berdoa kepada Allah, di sisi lain, kita masih mau memusatkan perhatian hanya pada kepentingan diri sendiri.
Sikap mendua kepada Allah itu pulalah yang akhirnya menentukan sikap kita kepada sesama. Betapa sulit kita belajar “membangun relasi persahabatan dengan sesama, bahkan dengan saudara kita serumah”. Membangun relasi sebagai sahabat adalah inti pokok cinta sejati. Kesejatiannya tidak terletak pada perbuatan baik, melainkan pada sikap untuk membangun dialog dan “belajar untuk memberikan kesempatan” agar orang mampu menentukan keputusannya sendiri. “Pak, apa bisa mengantarku ke pasar sebentar?; “Ibu, apakah bisa menemani aku ke rumah saudara di Alam Sutera?; “Dhe, Bapak minta tolong, apa bisa bantu sebentar ngepel kamarmu?” Beberapa tawaran tadi selalu ada “resiko” ditolak. Orang yang berani menawarkan itu siap untuk ditolak. Padahal pasti rasanya tidak menyenangkan kalau tawaran kita itu akhirnya “ditolak”. Itulah cinta yang beresiko, memberi kesempatan orang lain untuk menentukan keputusan sendiri, sekaligus juga berani menjadi orang yang siap “terluka” hatinya karena ditolak.
Bukankah cinta Allah kepada kita semua adalah cinta yang seutuhnya cinta penuh resiko? Cinta yang utuh itu ditampilkan dalam hidup Yesus dari lahir sampai wafat-Nya di kayu salib. Yesus yang tersalib adalah Yesus yang menampilkan Allah yang mau terluka oleh dosa manusia. Manusia, Adam dan Hawa, dan segala keturunannya, telah dianugerahi kehendak bebas untuk menentukan keputusannya sendiri karena Allah percaya dan menaruh harapan bahwa manusia tumbuh dan berkembang menjadi semakin baik. Ternyata kehendak bebas itu disalahgunakan untuk berbuat dosa. Itulah yang membuat hidup manusia menjadi “terluka’ akibat dosanya sendiri. Namun Allah berusaha menyembuhkan luka manusia itu dengan mengutus Putera Tunggal-Nya Yesus Kristus untuk tinggal dan hidup bersama manusia. Akan tetapi Yesus yang sudah berbuat baik, mengajar dengan berwibawa dan berkuasa, dan membuat mukjijat, ternyata juga Yesus harus membiarkan diri-Nya dilukai oleh orang orang Farisi dan orang orang Yahudi, dengan dituduh menghojat Allah, sampai Ia dipermalukan harga dirinya, “sampai ia mengosongkan diri-Nya dan tidak mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik, melainkan Ia mengambil rupa seorang hamba dan taat sampai mati di salib (bdk. Flp 2:5-11).
Kesediaan Yesus untuk terluka bahkan mengalami mati bersama dengan manusia, itulah sebuah persembahan yang hidup dan kekal kepada Allah. Allah Bapa menerima persembahan Yesus itu dengan membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Kebangkitan-Nya membuat kita tergerak untuk tidak takut menjadi “terluka” untuk memanggul salib, agar kita beroleh kehidupan. Memanggul salib itu memang akan membuat “terluka”. Dalam kondisi “terluka’ akhirnya kita sadar akan keterbatasan kita, dan akhirnya,“ Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:19-20) Itulah pengalaman Paska. Karena itu jangan putus asa bila Anda mengalami luka karena memikul salib, melainkan jadikanlah luka itu sebagai “tanda istimewa”, bahwa kita sungguh mampu memenangkan pertempuran: mengalahkan kejahatan dalam kebaikan. Semoga dengan berani “terluka”, kita akan belajar sungguh sungguh bertanggung jawab atas hidup bersama sehingga banyak orang mengalami kesejahteraan.
Selamat Paskah, Kristus telah bangkit!!! Alleluia! Alleluia!! Allelluia!
(Kontribusi: Ibu Yustina Suhantini, Kepala Sekolah TK Seraphine Bakti Utama, Umat Lingkungan St. Bernardus, Wilayah 5)