Christophorus Soebiantoro yang akrab dikenal masyarakat bangsa Indonesia sebagai Kris Biantoro muncul di Paroki Cengkareng. Bersama Orkes Simfoni Jakarta, Beliau menyokong penggalangan dana pembangunan gereja St. Yohanes Maria Vianney, Paroki Cilangkap. Siapa yang tak kenal Kris Biantoro? Artis nasional – bahkan di kenal secara internasional – yang mempunyai filosofi hidup O Kuni No Tame Ni – Semangat, Kesatria, Demi Tanah Air – lahir di kaki Gunung Merbabu, Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Anak ke-8 dari 11 bersaudara putera-puteri Bapak Warsid Sastrowiardjo dan Ibu Soekarsih lahir di era perjuangan kemerdekaan Indonesia. Maka tak heran kalau Kris Biantoro punya rasa nasionalisme yang tinggi, punya semangat terus berjuang pantang menyerah menembus segala rintangan hidup. Kerasnya zaman penjajahan, kekejaman perang, kesulitan ekonomi dalam melanjutkan pendidikan dan bertahan hidup di negeri orang, Australia, hingga penghinaan, prasangka, dan perlakuan tidak adil silih berganti Beliau alami, tetapi itu semua tidak membuatnya gentar dan mundur dalam berkarya di jalur seni.
Dikenal secara luas tidak menjadikan Beliau sombong dan lupa jati diri. Dari zaman stasiun televisi Indonesia hanya satu, TVRI, hingga tumbuh puluhan stasiun swasta seperti sekarang ini, Kris Biantoro dikenal lewat acara-acara TVRI yang bergengsi seperti Kuis Berseri Mengukir Prestasi dan Rona Pelangi Pertiwi. Itu hanya beberapa dari mata acara yang tak terhitung lagi banyaknya yang dipersembahkan Kris Biantoro untuk bangsa Indonesia. Beliau sukses sebagai penyanyi, membintangi film-film perjuangan, menjadi MC, dan bintang iklan yang membuatnya menerima berbagai penghargaan baik dari Pemerintah Indonesia maupun industri musik/perfileman.
4 tahun yang lalu, Kris Biantoro meluncurkan buku otobiografinya yang telah mengalami cetak ulang “Manisnya Ditolak” yang Beliau bawa ke Paroki Cengkareng bersama dengan album kumpulan lagu-lagu nostalgia yang diterbitkannya saat merayakan ulangtahunnya ke-70 baru-baru ini. Kris Biantoro hidup bahagia bersama istri tercintanya, Maria Nguyen Kim Dung, 2 putera dan 2 menantu, serta 3 orang cucu. Kris Biantoro pernah berujar: “Menjadi artis tidak hanya sekedar menyanyi atau mahir tampil di atas panggung. Artis juga punya tanggungjawab untuk memberi contoh positif pada masyarakat dan tidak terjebak dalam kehidupan hedonis seperti yang sekarang muncul di televisi.”
Kenapa mau terlibat dalam penggalangan dana pembangunan gereja?
Kenapa mau? Pertanyaannya koq aneh?! Sebagai orang Katolik yang setia pada ajaran Gereja, bukan ditanya mau atau tidak mau, tapi bagi saya ini merupakan suatu kebahagiaan, karena saya boleh bekerja di ladang Tuhan. (Romo Anto, Pr, Romo Paroki Cilangkap mengumumkan dari mimbar bahwa Kris Biantoro adalah umat Paroki Cilangkap yang menyumbangkan seluruh hasil penjualan buku otobiografi dan album lagu-lagu kenangannya untuk pembangunan gereja Cilangkap. – red.)
Sebagai seorang artis Katolik, ada godaan dan tantangan dalam mempertahankan iman?
Kalau ditanya soal godaan, wah… bukan saja godaan yang saya terima – bacalah buku saya “Manisnya Ditolak” di sana saya ceritakan semuanya. Saya mendapat penolakkan dan penjegalan kalau saya diketahui sebagai Katolik. Lapangan kerja sebagai artis tidak mudah untuk ditembus dengan predikat “Katolik” saya. Ancaman seperti “kalau berani muncul, kamu akan mati” itu sudah seringkali saya dapatkan. Tapi saya selalu yakin dan percaya bahwa Tuhan memilih umatnya pasti bukan tanpa rencana.
Dalam lingkungan sesama artis, tentu banyak tantangannya. Ada yang mengatakan menjadi Muslim itu enak, karena Muslim itu mayoritas – 98%- di negara ini. Yang begitu itu janganlah sekali-kali kita risaukan. Kesalahan di negeri ini adalah, kalau sudah berbau ‘Arab’, pakai Bahasa Arab, itu pasti Islam. Suatu ketika saya pernah tanya pada teman-teman artis, coba tolong katakan pada saya, ini ayat apa… (Kris Biantoro melafalkan Doa Bapa Kami dalam Bahasa Arab dengan fasih – red) Teman-teman bingung dan mulai menerka-nerka, ayat ini, ayat itu… Tapi saya katakan: bukan. Ini doa Bapa Kami dalam Bahasa Arab. Memang, orang seperti saya ini – artis – harus selalu siap dengan berbagai jurus. Ditabok, ya, harus bisa menjawab.
Judul buku saya, “Manisnya Ditolak” adalah hasil permenungan saya akan Injil Lukas 4:16-30 (Yesus ditolak di Nazaret – red) Orang yang ditolak itu rasanya tidak enak, tapi karena seringnya ditolak, saya renungkan itu semua sebagai sesuatu yang manis. Sama seperti yang terjadi sekarang ini, seseorang kuliah kedokteran, ikut ujian semester, tahu-tahu gagal, terus ngambek, tidak mau diteruskan lagi, ganti kuliah di jurusan lain….. Kita belum sadar bahwa Tuhan itu bukan sinterklas, minta ini lalu langsung diberi. Tuhan itu Maha Bijak, Tuhan akan melihat jika Dia izinkan permintaan seseorang, apakah orang itu akan menggunakannya sesuai dengan kehendakNya? Apakah permintaan itu adalah bagian dari rencana perutusanNya?
Kita ini diutus dalam 3 kelompok: menyebarkan kebenaran; menyebarkan kebaikan; dan menyebarkan keindahan. Konon saya diutus ke bagian yang ke-3 itu, menyebarkan keindahan. Saya bisa menari, membuat film, menyanyi, berbicara, menulis…. itu semua datangnya dari Tuhan. Jadi, kalau menjadi artis hanya untuk membuktikan diri ini mampu, bisa kawin cerai, bisa terkenal…. pasti bukan itu maunya Tuhan. Menjadi artis terkenal sebenarnya bisa menjadi bagian yang ampuh dalam menyebarkan Kerajaan Tuhan. Kita tak cukup hanya berdoa saja, Ora et Labora – kalau hanya berdoa saja, tidak ada artinya, berbuatlah sesuatu!
Saya sering mengatakan, tidak salah jadi artis, tapi jangan ngartis – jadilah MC, tapi jangan ngemsi – jadilah Katolik tapi jangan ngatolik. Artinya apa? Adanya kedalaman dari suatu profesi, kedalaman penghayatan dari suatu iman yang dilakukan untuk suatu waktu yang panjang. Terkadang, kalau saya memberikan kesaksian, ada yang hadir menanyakan, “Mas Kris, agamanya apa?” Astaga! Saya Katolik bukan karena kerusuhan Mei, lho! Sejak saya kecil, belum tahu apa-apa, saya sudah Katolik. Saya dibaptis Katolik di usia 10 tahun. Saat itu ayah belum Katolik tetapi memberi izin dengan catatan saya harus sungguh-sungguh menjalankan ajaran Katolik. – pada akhirnya, orangtua saya ikut menjadi Katolik karena melihat anak-anaknya hidup baik.
Menjadi jelas bagi saya, bahwa pemahaman tentang perutusan, tentang indahnya hidup yang Tuhan arahkan, tidak bisa instan dirasakan. Saya mengalami jatuh bangun, bagaimana seorang Kris Biantoro itu sering sekali mendapat teror, ganjalan, segala macam…., tapi sekarang, di usia 70 tahun, apakah saya kelihatan tua? Apakah saya memelas dan batuk-batuk? Karena ada suatu ketenangan hati, ketenangan jiwa yang sulit diceritakan.
Bagi saya sekarang ini adalah kebahagiaan bisa menikmati usia senja dan masih dipercaya Tuhan untuk bekerja di ladangNya. Saya pun tidak pusing memikirkan materi. Tanpa pergulatan, iman tidak ada artinya. Benar sekali yang Tuhan Yesus katakan: Jangan kuatir, yang ikut Aku akan Kugenapi. Saya pernah “hilang” ke luar negeri, pulang ke Indonesia saya harus mulai dari nol lagi. Saat itu saya berusia 30 tahunan. Saya bingung, mau jadi apa saya ini, nanti tua makan apa? Tapi tanpa sadar saya sekarang sudah berusia 70 tahun, saya hidup tenang dengan istri, anak, menantu dan cucu. Anak-anak pun boleh dikatakan ‘jadi.’ Coba lihatlah, berapa artis yang di masa tuanya kena sakit, tapi tidak punya uang untuk berobat sehingga terpaksa ke sana ke mari untuk mencari bantuan?
Saya juga bersyukur bahwa saya punya istri yang setia dan sabar, bisa menerima suaminya yang milik semua orang ini, yang harus berkarya sedemikian rupa. Tanpa kasih sayang istri, saya kira hidup saya akan tidak karuan jadinya. Dalam rumah tangga, suami istri itu harus sinergi, suami menghasilkan, istri yang mengelola. Kalau saya yang mengelola, tak tahu apa yang terjadi. Mungkin saya sudah kawin lagi, sudah foya-foya….. Maka, tidak boleh tidak, saya harus percaya pada ajaran Yesus yang maha fantastis, karena telah mengarahkan hidup saya dari nothing menjadi something. Maka doa saya sekarang adalah, “Tuhan, jamahlah diri saya ini, selama masih boleh Kau utus ke mana pun, aku akan pergi.”
Tentang pembangunan gereja yang terhambat karena ketidak setujuan sementara pihak?
Sebelum kita membangun gereja, kita harus merasul dulu, merakyat dulu. Datangi RT, RW, dan Lurah setempat. Adakan pendekatan, jangan mentang-mentang punya duit, kita langsung datang ke lokasi dan membuat patok. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kita ini golongan minoritas, golongan kecil. Kepahaman umat kita akan Kerajaan Tuhan dan merasul pun belum sedalam yang diharapkan. Inilah perjuangan.
Kita dekati mereka, kesusahan daerah itu apa, kita harus ikut pula memikulnya. Caranya mudah saja, tak perlu yang muluk-muluk, pendekatan kita bisa berupa memperbaiki got yang rusak, ikut menyumbang sapi kurban. Tak perlu bilang-bilang kita ini Katolik, tapi kita benahi dulu tali silaturahmi, adakan hubungan langsung dengan rakyat. Tak perlu meneriakkan Injil keras-keras, seolah-olah kita ini yang paling suci. Sebab susahnya dunia ini kan karena semua orang keras. Kita katakan kalau tidak ikut Yesus maka tak bisa masuk surga. Kita orang Katolik atau Kristen memang meyakini demikian, tapi apakah yang Muslim, yang Buddha, masuk neraka semua? Apakah itu berarti kita ini sudah sebegitu sucinya? Sebaliknya, kalau mereka mengatakan kita kafir, apakah itu berarti mereka yang masuk surga dan kita masuk neraka? Surga dan neraka jangan kita tafsirkan seperti itu. Kita yang dikatakan lebih terpelajar, lebih mengerti, ususnya harus lebih panjang. Artinya, jangan terlalu gampang naik darah seperti mereka – sedikit-sedikit sweeping, tak ada salahnya mengalah. Teladani Tuhan Yesus. Kalau Dia mau, saat disiksa dan didera, Dia bisa melawan, armadaNya kan banyak. Tapi ada suatu keyakinan padaNya bahwa Dia harus melakukan semua itu demi untuk menggenapi rencana Bapa.
Sekarang ada teori kemakmuran. Ada yang mengatakan bahwa menjadi anak Allah itu harus kaya. Saya kadang-kadang bingung, kalau memang itu pengertiannya, bahwa anak-anak Allah harus kaya dan hidup mewah, itu berarti Yesus sudah membuat kesalahan. Kenapa Dia turun ke dunia lewat tubuh Maria, istri seorang tukang kayu? Lha bisa saja kan Dia masuk ke tubuh istri Herodes, jadi anak raja, jadi orang kaya raya. Tapi ajaran tentang cinta kasih, kesederhanaan, kepeduliaan, saling mengasihi menjadi tidak pas, tidak ketemu. Maka Dia masuk ke kandang yang paling hina
Tentang generasi muda Gereja?
Merosotnya akhlak dan kehidupan remaja sekarang ini bukan hanya terjadi di Indoneisa, tetapi di Jepang, Belanda, Jerman, Inggris, dan negara lainnya juga sama. Orang yang tidak mengalami perang inginnya hidup senang. Tetapi di negara lain, kalau ada hal-hal yang merugikan atau membahayakan kerukunan atau identitas bangsa, maka akan cepat-cepat diatasi. Di Indonesia hal ini selalu terlambat. Maka sikap saya adalah jangan menyalahkan anak muda zaman sekarang, karena kalau saya ini anak muda, saya pun akan berlaku seperti itu. Berarti, dalam mengelola bangsa ini ada yang keliru. Sekarang orang lanjut usia masih ada, tapi seringnya dibuat olok-olok ‘jadul’ – janganlah demikian. Menjadi tua itu sebuah prestasi, karena banyak orang yang belum sampai tua sudah mengalami stroke, darah tinggi, bahkan mati, atau rumah tangga gonjang-ganjing….. maka menjadi tua itu prestasi kehidupan. Orangtua yang hidup pernikahannya langgeng itu bisa didengarkan ceritanya, sehingga anak muda yang merasa diri sebagai generasi penerus bisa punya ide sendiri, punya alasan sendiri, apa yang mereka renungkan, apa yang mereka inginkan. Album kenangan yang saya bawa di sini juga berisi lagu-lagu tempo dulu yang saya beri catatan seperti pada waktu lagu itu terkenal, negara kita itu dalam keadaan seperti apa. Itu bagian dari merasul, menjadi garam dan terang. Orang seperti saya ini bukan tidak mau menyanyikan lagu-lagu rohani, tapi bagian saya adalah seperti apa yang telah saya kerjakan. Tak perlu saya teriak-teriak saya orang Katolik, tapi biarlah mereka tahu sendiri.
30 tahun Paroki Cengkareng, apa pesan bagi umat?
Kita harus menjadi bagian dari masyarakat umum. Jangan hanya ora saja, labora-nya apa? Kalau Paroki ini dikenal di sekitarnya sebagai tempat yang paling mewah, jangan kita menikmatinya sendirian. Mudika bisa memulainya, seperti saat ulangtahun Proklamasi Kemerdekaan, bisa mengadakan gerakan sosial. Tak perlu macam-macam, membersihkan lingkungan, mengecat bagian-bagian yang kotor. Jangan kita hidup mengelompok. Saya sudah diterima di semua lini, saya seorang nasionalis, saya seorang Katolik. Kesalahan kita adalah kita sering berteriak-teriak “alleluya”, gak karu-karuan seperti di mal. Orang non-Kristen kita doakan supaya masuk Kristen. Itu menantang namanya. Janganlah demikian. Berlakulah bijak. Di sekitar sini, apa yang menjadi persoalan bersama? Apa yang bisa didukung dan dikerjakan bersama-sama? Menjadi garam dan terang dunia bukan hanya sekedar diucapkan, tetapi dijalankan. Secara nasional orang mengenal saya, saya diterima oleh semua etnis karena keindonesiaannya. Saya tak pernah membawa-bawa agama saya, tapi mereka tahu saya seorang Katolik. Identitas Katolik bukan hanya dari membuat tanda salib, tetapi dari apa yang kita kerjakan.
(Sumber: Majalah Sabitah no. 33 tahun 2008)