“Saya ingin di sebalah sini ada ruang sholat. Tidak perlu besar,” begitu pesan salah seorang klien saya ketika mendesain rumahnya. Saya tidak merasa sesutu yang aneh lagi kalau ada orang yang menginginkan ruang sholat di rumahnya. Saya sering melihat ruang sholat di dalam rumah kalau sedang berkunjung ke tempat kerabat. Di dalam ruang kosong, hanya ada hamparan karpet dan sajadah. Di situlah mereka biasanya melakukan sholat 5 waktu. Baik sendirian maupun berjemaah bersama keluarga.
Pengalaman lain lagi ketika saya mempunyai kesempatan mendesain rumah teman yang beragama Buddha. Dia juga minta disediakan ruang sembahyang. “Di sini saya akan menempatkan meja sembahyang. Tidak perlu terlihat dari luar,” pesannya. Ketika pertama kali bertemu untuk membahas desain rumahnya, saya lupa menempatkan ruang sembahyang. Benar-benar lupa. Dia tiba-tiba bertanya, ”Ruang sembahyangnya mana? Jangan dilupakan, ya, karena dari situ rejeki saya berasal.”
Rumah mereka tidak besar. Tetapi mereka merasa ada kebutuhan dengan ruang tersebut. Ruang doa sama pentingnya dengan ruang tidur, jadi mereka berusaha mengadakan ruang tersebut.
Saya pernah melihat keluarga Katolik yang juga mengadakan ruang doa di rumahnya yang kebetulan cukup besar dengan halaman yang besar. Di halamannya ada gua Maria. Kalau kebetulan udara malam cukup bersabahat, kita sering mengadakan persekutuan doa di luar, di depan patung Maria.
Di samping itu, berdekatan dengan ruang keluarga, dia juga menyediakan ruang doa. Ruangannya berukuran 3×3 m2. Di dalam ruang tersebut ada patung Maria dan Yosef serta salib Yesus. Di tengah-tengah ruangan ada meja kursi kecil untuk berlutut yang terbuat dari kayu. Ada juga bunga-bunga segar yang aromanya mengharumi ruangan. Ruang ini sama dengan ruang yang lainnya, mempunyai penerangan alami yang cukup baik. Jendela-jendela besar berada di sisi yang mengarah ke taman belakang. Ruang ini terlihat bersih. Dan suasananya tenang.
“Kalau kamu ingin berdoa, maka masuklah ke kamarmu…..,” demikian kata Tuhan Yesus.
Tubuh kita memang Bait Allah. Kita dapat berdoa di mana saja kita berada. Mungkin karena itu kita tidak pernah tepat waktu untuk berdoa. Doa malam kita lakukan sebelum tidur dan di tempat tidur. Sementara kita tidak pula tentu tidurnya jam berapa. Tidak ada kegiatan spiritual yang mesti dilakukan sebelum berdoa seperti halnya berwudhu yang dilakukan oleh kaum Muslim. Kalau sudah capek habis kerja, kita berdoa hanya secukupnya.
Kebanyakan dari kita berdoa biasanya di dalam kamar tidur. Di dalam kamar tidur ada anak, ada istri, dan yang paling sering ada TV-nya. Kalau semuanya lagi aktif di kamar tidur, kita juga akan menunda kegiatan berdoa. Jadi kapan kita mulai doa? Kapan kita bisa punya waktu hening sesaat? Sudah pasti doa jadi terlewatkan.
Bayangkan kalau kita mempunyai ruang doa. Kita tidak terganggu oleh orang lain. Kita tinggal masuk ke dalam ruang doa, kunci pintu dan mulai berdoa. Suasana hening bisa kita dapatkan seketika. Kita bisa lebih khusyuk berdoa.
Saya juga pernah berkunjung ke Susteran. Bangunannya peninggalan zaman Belanda. Di dalam bangunan ini ada kapel kecil yang cukup menampung 20 orang. Setiap pagi ada Ibadat Sabda, para suster dan umat berkumpul dan berdoa bersama di dalam kapel itu.
Rumah saya sendiri tidak mempunyai ruang doa. Mungkin itu hanya merupakan impian saja. Saya lalu membanyangkan, kalau punya ruang doa, saya dapat berada di dalamnya untuk membaca Kitab Suci, duduk sendiri dalam keheningan.
Ruang doa tidak perlu besar, cukuplah untuk menampung semua anggota keluarga kalau menginginkan ada doa bersama. Kita perlu memberlakukan ruang doa ini sama seperti ruang yang lainnya, seperti ruang tidur, dan dipergunakan setiap hari. Ruang doa tidak sama dengan gudang yang hanya dipergunakan kalau diperlukan saja. Pertanyaan yang timbul adalah, kalau rumah kita berukuran kecil, apakah ruang doa masih dibutuhkan? Itu tergantung dari kita masing-masing. Kalau memang dirasakan sebagai kebutuhan, maka ruang itu perlu diadakan.
Bagaimana dengan rumah Anda?
(Franhky Wijaya, Arsitek, Lingkungan St. Martinus, Wilayah 26)
Sumber: Majalah Sabitah No. 44, Juli-Agustus 2010/Thn VIII