Romo Yohanes Damianus, OMI memang bukan salah seorang Romo yang sedang berkarya di Paroki Trinitas, Cengkareng, tetapi keberadaannya di Cengkareng selama pengobatan luka tembaknya membawa Romo Dami – begitu Beliau biasa disapa – untuk beberapa saat ikut masuk dalam karya pelayanan jajaran para Romo OMI yang ada di Cengkareng. Banyak kehidupan menggereja yang diamati Romo Dami selama membantu karya para imam di Cengkareng. Sabitah mencoba sedikit bertanya-jawab dengan Romo Dami tentang Prodiakon di Paroki Trinitas, Cengkareng.
Definisi Prodiakon?
“Berdasarkan pandangan pribadi saya, Prodiakon berasal dari penggabungan dua kata yakni ‘Pro’ dan ‘Diakon’. ‘Pro’ menunjuk pada suatu keterlibatan dan keterkaitan dengan suatu figur tertentu dan atau tugas tertentu. Sedangkan ‘Diakon’ berarti pelayanan, yang dalam hal ini konteksnya adalah pelayan Gerejawi. Maka Prodiakon menunjuk pada seorang pelayan yang terlibat dan terkait dengan figur tertentu – yaitu Yesus Kristus – untuk bersamaNya masuk dalam tugas pelayanan Gerejawi. Tentu saja pelayanan Gerejawi itu seluas dunia sifatnya, karena memang cita-cita Gereja adalah Gereja yang sungguh-sungguh terlibat dengan persoalan dan kemaslahatan dunia. Di sinilah perlu pembatasan ruang pelayanan bagi semua petugas pelayanan Gereja, termasuk juga bagi para Prodiakon.”
Maksud Pembatasan Ruang Pelayanan?
“Sebenarnya masing-masing Keuskupan atau juga di dalam suatu negara akan ada penentuan dari batas-batas pelayanan atau kewenangan yang boleh dilakukan oleh para pelayannya – biasanya kita kenal dengan hirarki. Pembatasan ini dimaksudkan agar ada fokus dalam melayani dan tidak saling tumpang tindih dalam mengatur dan melaksanakan pelayanannya. Maka, semua orang yang masuk dalam Dewan Paroki dan semua Kelompok Kategorial, baik di tingkat Paroki, Keuskupan setempat ataupun di tingkat internasional, mestinya ada pengaturan batas pelayanan ini agar pelayanan dilakukan sungguh-sungguh dan tidak terjadi tumpang tindih, tapi berlaku seperti yang diungkapkan St. Paulus: Bagaikan anggota tubuh yang saling melengkapi. Demikianlah halnya juga dengan pelayanan para Prodiakon. Saya yakin, di setiap Keuskupan dan Paroki yang memang memerlukan pelayanan para Prodiakon sudah disusun pula kerangka kerja atau ‘job description’ yang jelas untuk Prodiakon. Dan saya yakin pula bahwa paska pemilihan para Prodiakon oleh umat yang kemudian diangkat dan dilantik dengan resmi oleh Gereja untuk pelayanan selama periode tertentu, para Prodiakon ini pasti sudah dibekali dengan berbagai pelatihan dan pembinaan mental dan spiritual yang baik.”
Menanggapi keluhan umat akan pelayanan para Prodiakon yang kurang ‘memuaskan’?
“Ya, memang sering terdengar banyak keluhan dari umat bahwa para Prodiakon – walaupun tidak semuanya – tidak sungguh-sungguh mampu melayani kebutuhan umat sesuai dengan kerangka kerja yang ada. Mereka tidak mampu berkhotbah dengan baik, tidak melayani sesuai dengan jadwal tugas, tidak bisa dengan lancar memimpin aneka ibadat, dan lain sebagainya. Saya menanggapi hal tersebut dengan beberapa pandangan. Pertama, tidak semua Prodiakon mempunyai kapasitas yang sama dalam kemampuan melayani umat sesuai dengan job description mereka. Ada yang berkemampuan sangat baik, ada yang sangat kurang. Ada yang setia dengan tugas-tugasnya, ada yang sedang-sedang saja, bahkan ada yang cenderung ‘mudah lupa’. Berarti, inilah kondisi ‘formasi’ umat kita, keadaan yang sebenarnya dan cermin yang sesungguhnya dari wajah Paroki kita. Para Prodiakon adalah orang-orang awam – orang-orang biasa – yang sibuk dengan urusan keluarga, kantor, atau bisnis lainnya, yang kerap kali membuat mereka tidak begitu mudah untuk sungguh-sungguh konsentrasi pada tugas mereka sebagai Prodiakon. Hal ini harus dimengerti oleh umat. Kedua, latar belakang dan minat seseorang adalah dua faktor penentu yang cukup kuat dalam menerima tugas baru sebagai Prodiakon. Ada yang memang berlatar belakang religius tinggi, biasa tampil di depan umum, punya pengalaman public speaking yang baik, punya banyak pengalaman terlibat dalam urusan Gerejawi. Orang-orang seperti ini, bila dipilih menjadi Prodiakon, hampir pasti akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan tugas barunya dibanding dengan mereka yang tidak memiliki latar belakang sebagaimana yang saya sebutkan tadi.
Tapi kerap kali orang dengan sederet latar belakang yang bagus dan mendukung untuk tugasnya sebagai Prodiakon bisa jadi seperti orang ‘lumpuh’ dalam tugas barunya itu. Ini terjadi kalau ia tidak berminat untuk pelayanan tersebut dan merasa ‘dikerjai’ atau ‘dipaksa’ oleh umat. Sebaliknya, orang yang sebenarnya tidak begitu mampu tetapi sungguh-sungguh berminat dengan tugas barunya sebagai Prodiakon, orang-orang seperti ini malahan bisanya cepat menyesuaikan diri dan cepat berkembang dalam pelayanannya. Ketiga, tugas sebagai Prodiakon adalah tugas yang didasarkan pada iman seseorang. Cara orang menyambut tugas pelayanan baru yang dipercayakan oleh Gereja kepadanya akan sangat tergantung dari kedalaman dan visi iman seseorang. Bila seseorang melihat tugas tersebut hanya sebagai tambahan beban, ya, memang beban hidupnya akan terasa semakin berat. Tetapi, bila orang menyambut segala sesuatu dengan pandangan dan visi iman yang baik, saya kira cara pandang dan cara menaggapinyapun akan sangat berbeda.”
Harapan bagi para Prodiakon?
“Saya punya beberapa usulan bagi semua pihak. Untuk para Prodiakon, sadarilah bahwa Anda adalah seorang yang dipercaya umat untuk pelayanan yang indah dan turut menentukan denyut nadi Gereja. Lakukanlah pelayanan itu dengan tulus, dengan semangat iman. Latihlah diri Anda untuk beberapa kecakapan yang memang diperlukan untuk pelayanan tersebut, misalnya berlatih membaca yang baik dan benar, sehingga waktu memimpin ibadat, terasa baik dan lancar. Sebagai seorang Imam, saya terus menerus melatih diri saya dalam hal public speaking sampai sekarang. Saya mengoreksi dan mengevaluasi diri sesering mungkin. Rupanya hal ini sangat membantu saya berkembang dalam aneka pelayanan saya bagi umat. Saya usulkan hal yang sama untuk Anda.”
“Untuk umat, mengertilah bahwa para Prodiakon bukanlah supermen dan superwomen – orang-orang yang serba super. Mereka adalah orang-orang beriman yang biasa, namun ingin terlibat dan menyerahkan diri untuk pelayanan Gereja secara luar biasa dalam imannya. Dukunglah mereka. Pilihlah orang yang memang berkapasitas baik serta mau dan berminat dalam pelayanan sebagai Prodiakon. Bila ingin mengoreksi kekurangan atau kesalahan mereka, pakailah cara yang sopan dan membangun, bukan dengan sikap dan kata-kata kasar yang membuat semangat mereka cepat padam. Dengan cara demikian Anda sebenarnya turut menjadi pendukung Gereja dalam pelayanan para pelayannya.”
“Untuk Dewan Paroki, lanjutkan terus pembinaan bagi rekan-rekan Prodiakon ini, supaya pelayanan mereka bagi Gereja dan masyarakat semakin tepat sasaran dan bermanfaat seluas-luasnya bagi pengembangan iman Gereja. Hendaknya mereka diapresiasi dan didampingi serta didengar keluhan-keluhan dan kehendak-kehendaknya. Saya rasa ini akan membantu membuat Paroki makin berkembang dalam iman, harapan dan kasih.” (devi/ts)
Sumber: Majalah Sabitah, Edisi 45, November-Desember 2010