Romo Ignatius Yulianto, OMI adalah anggota Tim Formator OMI Provinsi Indonesia yang sekarang berkarya di Novisiat OMI “Beato Joseph Gerard”, Blotan, Yogyakarta. Pengalaman hidup iman Romo Yuli yang sempat menjalani 2 kali kemoterapi memang luar biasa. Ditambah lagi dengan keseriusan Romo Yuli dalam berdevosi kepada Bunda Maria lewat doa Rosario dan sejumlah doa lainnya membuat Sabitah mengontak Beliau untuk wawancara singkat:
Tentang pemicu umat mengalami krisis iman:
“Sebetulnyam istilah ‘krisis iman’ ini menimbulkan pertanyaan. Apakah yang dimaksud adalah gejala berkurangnya aktifitas hidup keagamaan – misal hidup doa dan kegiatan menggereja? Atau ‘krisis iman’ dalam pengertian bahwa seseorang mulai meragukan Tuhan dan penyelenggaraan kasih-Nya?”
“Setiap orang pernah mengalami kekecewaan. Kekecewaan juga dialami dalam kehidupan beragama dan sering menjadi pemicu ‘krisis iman’. Kecewa terhadap Allah, misalnya karena harapan dan doa permohonanya tak dikabulkan, karena musibah kematian orang yang dikasihi, karena beban penderitaan dan sakit yang menahun, dll. Bisa juga orang kecewa terhadap Pastor dan Pengurus Gereja, menjadi tersinggung dan hatinya terluka, merasa tak dimengerti dan tak dihargai, merasa diperlakukan tak adil dan tak dilibatkan, dan lain sebagainya. Kecewa dan sakit hati tersebut bisa berkembang menjadi sikap tak mau berdoa,tak mau ke gereja untuk beribadah, dan tak peduli terhadap segala macam kegiatan keagamaan.”
“Boleh saya jelaskan di sini bahwa kekecewaan terhadap Allah dapat terjadi karena pemahaman yang keliru tentang relasi antara Allah dan manusia. Misalnya, doa yang dipahami dan diyakini bisa mengubah kehendak Allah, bukannya sebagai sebuah proses penyesuaian kehendak pribadi terhadap kehendak Allah. Orang beranggapan bahwa jika Allah mengasihiku, maka segala keinginanku dan doaku pasti dikabulkan dan ‘nasib’ buruk tak akan menimpa orang-orang yang kukasihi. Kebaikan dan kasih Allah hanya diukur oleh ‘harapan dan keinginanku’ serta dinilai berdasarkan kebaikan/kemujuran material saja. Berkembangnya keutamaan Kristiani seperti kasih, kesabaran, ketabahan dan pengharapan, tak menjadi ukuran lagi. Sedangkan kekecewaan terhadap Pastor dan Pengurus Gereja yang berkembang menjadi pemicu ‘krisis iman’ sering terjadi karena komunikasi timbal-balik yang tidak berjalan baik dalam menyelesaikan salah paham, sakit hati dan kekecewaan yang terjadi. Hal ini sering juga dikarenakan kurangnya semangat mengampuni dan kerendahan hati untuk saling minta maaf.”
Tentang mencari Gereja lain atau agama lain sebagai akibat dari terjadinya krisis iman:
“Orang yang kecewa dan mulai mencari Gereja lain sebagai jalan keluar dari kecewanya memang bisa dimengerti, tetapi cara tersebut tidak akan menyelesaikan masalah yang terjadi. Masalah hanya akan terasa selesai sementara waktu saja. Sebaiknya mereka yang mengalami ‘krisis iman’ dan lalu memilih Gereja lain atau agama lain untuk pemecahan masalahnya ini didampingi, diperhatikan dan dibantu oleh sesama anggota Gereja lainnya – umat – untuk mampu menyelesaikan persoalannya. Orang-orang yang seperti ini perlu selalu didengarkan dan dimengerti, terus dibimbing dalam perjalanan pertumbuhan imannya.”
Tentang cara untuk menghindari krisis iman:
“Dalam hidup beriman, sangat diperlukan adanya selalu semangat kasih persaudaraan dari sesama umat beriman. Kasih persaudaraan ini bentuknya adalah perhatian, kepedulian dan dukungan satu sama lainnya. Ada semangat mengampuni dan kerendahan hati yang tercipta di dalam kelompok atau komunitas orang-orang beriman ini. Misa Kudus, Pendalaman Iman, dan ibadat/pertemuan doa di Lingkungan dapat menjadi sarana untuk memupuk semangat persaudaraan umat dan sharing pengalaman iman satu sama lainnya. Dengan demikian, iman masing-masing menjadi lebih kuat dan terasa adanya saling menopang dalam bersama memajukan hidup imannya. Tentu saja setiap pribadi juga dituntut untuk mengembangkan hidup doa dan relasi pribadinya dengan Allah, karena komunikasi 2 arah yang harmonis dengan Allah mampu membawa pemahaman akan arti iman seseorang kepada Tuhannya. Setiap pribadi juga dituntut untuk mau memperluas pemahaman pengajaran Gereja – dalam hal ini tentu ajaran-ajaran dan tradisi Gereja Katolik yang begitu kaya. Sekiranya pribadi-pribadi melakukan hal ini, maka ‘krisis iman’ tak akan dengan mudah terjadi, karena seseorang dapat mengacu pada pengalaman-pengalaman iman dari para Bapa Gereja dan orang-orang kudus yang sungguh dapat memperkaya dan memperkuat imannya sendiri.”
Tentang mempertahankan iman Katolik di saat ada dalam krisis iman:
“Setiap orang perlu mengembangkan semangat kebersamaan dan jangan pernah memisahkan diri dari komunitas orang beriman – dalam hal ini tentu mengacu pada Paroki atau dalam skala kecilnya yang biasa disebut Lingkungan. Ini berlaku setiap saat, apalagi yang utama, saat sedang menghadapi persoalan hidup yang dapat menggiringnya ke arah ‘krisis iman’. Ingatlah cerita tentang Bara Api. Bila sepotong kayu yang menjadi bara dipisahkan dari kumpulan potongan kayu bara lainnya dan terkena tiupan angin terus-menerus, maka lama-kelamaan bara api dari kayu tunggal itu akan padam. Tetapi bila kayu-kayu yang menjadi bara itu disatukan, bara api akan terus menyala meski terkena terpaan angin yang sangat kuat, malah bara menyala lebih besar lagi.”
“Libatkan diri dalam salah satu kelompok doa dan karya sosial Gereja, misalnya Kelompok Doa Meditatif Taize, atau Persekutuan Doa Karismatik Katoik, Gerakan Ayo Sekolah, dan lain-lain kegiatan yang pasti banyak diselenggarakan di Paroki. Dengan terlibat dalam aktifitas pengembangan iman yang demikian akan menjadi dukungan yang mantap bagi kehidupan beriman. Bersemangat untuk mendalami ajaran iman dan memahami makna Perayaan Ekaristi, misalnya dengan ikut Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP), membaca buku-buku rohani/keagamaan. Jangan lupa untuk mau selalu menghayati dan memupuk hidup doa dan Sakramen.” (disusun berdasarkan wawancara/ts)
Sumber: Majalah Sabitah – Media Komunikasi Umat Paroki Trinitas, Cengkareng, Edisi 57/Tahun X, November-Desember 2012