Pagi itu Soegija hanya duduk termenung di ruang makan. Romo Soegijapranata panggilannya saat ini. Ia sudah menjadi Pastor Paroki Bintaran selama beberapa tahun ini. Sebuah paroki yang memang dikhususkan untuk orang-orang Jawa, yang sengaja dipisahkan dari Gereja Kidul Loji yang jaraknya tidak terlalu jauh tapi memang dikhususkan untuk umat Belanda yang ada di Yogyakarta.
Nasi Saoto yang hangat dan mengepulkan asap tidak juga membangkitkan selera makan Soegija. Tatapannya hanya tertuju pada telegram yang ada di hadapannya (1 Agustus 1940), tidak ada yang tahu apa isinya. Kehadiran Pak Harjo yang membawa minuman membuat Soegija terhenyak dari diamnya.
“Jo, Apa kamu pernah melihat Seorang Uskup makan Saoto?”
Harjo, Koster Paroki Bintaran terkejut mendengar pertanyaan Romo Soegija. Ia bingung, rada tersinggung juga. Apa maksudnya pertanyaaan Romo Soegija ini. Apa ia tidak suka dengan masakan istrinya? apa ia pengin jadi uskup? Tidak jelas. Seperti orang Jawa kebanyakan, Harjo cuma menjawab “Inggih” lalu pergi. Tetapi di dapur ia bersama istrinya ngrasani Soegija, katanya “Romo Soegija rada owah, lagi gerah pa ya?” tapi tidak berapa lama Harjo menyadari arti pertanyaan Romo Soegija itu ketika Radio Mavro menyiarkan berita bahwa seorang imam pribumi telah diangkat menjadi Uskup untuk Vikariat Semarang. Imam itu adalah Rm Soegijapranata, SJ. Harjo merasa tidak enak hatinya, mengapa Romo Soegija tidak terus-terang saja bilang bahwa ia diangkat jadi Uskup malah tanya yang enggak-enggak,”Apakah pernah melihat uskup makan Saoto?”.
Memang tidak pernah dibayangkan di zaman itu seorang Uskup makan Saoto yang orang zaman ini mengenalnya sebagai Soto. Semua Uskup zaman itu makannya Roti, karena semua Uskup waktu itu adalah orang Belanda. Maka pertanyaan pada Pak Harjo itu bisa diterjemahkan, “Apakah kamu pernah melihat seorang Uskup yang adalah orang Jawa?” Pertanyaan ini mengisyaratkan pembedaan Belanda Jawa yang masih sangat kuat saat itu, relasi antara Penjajah dan Jajahan. Menjadi Uskup di zaman seperti ini, membuatnya gelisah. “Tak terbayangkan ada seorang Katolik Belanda yang mau mencium cincin Uskup yang ada di tangan seorang Jawa.” Ia berada di posisi penting untuk umat Katolik Jawa tetapi akan demikian jugakah untuk umat Katolik Belanda yang waktu itu masih banyak di tanah Jawa ini.”
Hati kecil Soegija bertanya, “Mengapa aku? Mengapa bukan pastor-pastor Belanda itu yang diangkat jadi Uskup?” Tetapi Soegija juga tahu jawabannya seandainya pertanyaan itu ia ajukan kepada otoritas di atasnya. Konon, tahun 1940 sudah menjadi tahun kegelisahan bagi warga dunia akan pecahnya Perang Dunia II. Situasi Perang Dunia II ini membuat gelisah Gereja di Eropa akan terpisahnya Gereja Pribumi dari Gereja Eropa yang sudah ditumbuhkembangkan melalui jalan kolonialisme ini. Konkritnya, jika Belanda yang selama ini menjajah Indonesia kalah perang dan harus meninggalkan Indonesia, lalu siapa yang akan memelihara Gereja Katolik di Indonesia ini? Tidak lain adalah orang Indonesia sendiri. Untuk itulah Soegija sebagai Uskup pribumi pertama di Indonesia ini diangkat menjadi Gembala untuk umatnya sendiri di Indonesia.
Tapi siapakah yang mau menjadi Uskup? Mungkin sampai di zaman ini pun tidak ada orang yang mau jadi Uskup. Orang biasa mungkin melihatnya ini sebagai puncak karier, tetapi bagi orang yang terpilih sebagai Uskup, ini adalah salib. Lebih-lebih Soegija pada zaman itu. Ia terpilih sebagai Uskup untuk masa yang paling krusial untuk bangsa Indonesia ini. Ia terpilih menjadi Uskup di masa perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Ia menjadi Uskup di saat Indonesia ini lahir sebagai bangsa. Ia ikut membidani kelahiran bangsa ini. Mungkin ia merasakan seperti seorang suami yang sedang menunggui istrinya melahirkan, ada harapan tetapi lebih banyak cemasnya. Tetapi bukan Soegija jika ia tidak bisa berkelakar di tengah situasi ketegangan ini. Jiwa humornya sering muncul secara cerdas dalam situasi-situasi yang menegangkan.
Ketika ia memakai pakaian Uskup lengkap dengan kalung salib emas dan cincin uskup dan segala aksesoris yang dimiliki seorang uskup, ia berkata: ”Sekarang di badanku ada cincin dan kalung salib dari emas. Tubuhku bernilai 1500 gulden sekarang, bisa untuk digadaikan.”
Dan kali lain ketika ia memakai jubah kebesaran uskup yang penuh dengan warna merah, kembali berujar:”Sekarang aku sungguh-sungguh merah.” Merah adalah simbol khusus untuk komunisme. Dan komunisme adalah paham yang selalu ditolak oleh Soegija. Ia banyak belajar tentang komunisme ketika ia belajar filsafat di Belanda, maka ia tahu bahayanya. Tahun 1926, ketika ia pulang ke Muntilan sebagai Frater yang menjalani Tahun Orientasi Kerasulan, ia banyak menulis tentang komunisme dan bahayanya di Majalah Swara Tama. Komunisme ini juga pernah menjadi polemik di akhir hidupnya ketika ia sedikit berseteru dengan Mgr. Djajaseputra, SJ terkait meletakkan orang Katolik di Dewan Nasional bentukan Soekarno yang waktu itu disoroti dan dianggap sedang dekat-dekatnya dengan Partai Komunisme Indonesia.
06 November 1940 resminya Soegija ditahbiskan sebagai Uskup. Namanya sekarang Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ lengkapnya. Ia menjadi Uskup di masa yang sulit. Dan saat sulit itu pun tiba ketika Jepang datang tahun 1942. Kedatangan Jepang ini menjadi seperti isyarat runtuhnya peradaban Belanda yang sudah dibangun sejak 3 abad Belanda menjajah Indonesia. Semua yang berbau Belanda dilarang lagi oleh Jepang. Sekolah-sekolah Katolik ditutup atau disita. Penggunaan Bahasa Belanda dilarang. Banyak aset Gereja yang disita Belanda. Para misionaris Belanda dan Suster-suster Belanda ditahan dan masuk interniran. Soegija menjadi “The Lone Ranger”, ia harus berjuang sendiri hanya ditemani Romo-Romo Diosesan dan Romo-Romo Jesuit Jawa yang belum banyak waktu itu untuk tetap menemani umat Katolik di Indonesia ini. Beberapa kali ia harus berhadapan langsung dengan tentara Jepang sendiri.
Ketika Gereja Randusari didatangi Jepang, ia harus berhadapan sendiri dengan pimpinan tentara Jepang. Gereja Randusari akan disita untuk markas tentara Jepang. Dengan tegas Soegija membentak tentara Jepang itu,” Ini tempat suci. Saya tidak akan memberi ijin. Penggal dulu kepala saya, dan Tuan baru boleh menguasai tempat ini. Ketika Pimpinan tentara Jepang itu masih ingin berargumen, dengan keras juga mengatakan,”Gedung Bioskop itu masih cukup luas, dan tempatnya juga strategis.” Mungkin ia takut, mungkin juga ia kehabisan kata-kata, mungkin juga ia realistis, atau memang ia seoran humoris sejati. Yang mau disita Gereja, ia menunjuk Gedung Bioskop lebih pantas untuk disita. Sikap akal-akalannya selalu saja ada. Mungkin inilah gayanya sebagai politikus. Ketika Gereja Atmodirono akan disita juga, ia perintahkan semua kamar-kamar kosong diberi nama Romo-Romo supaya jika ada pemeriksaan Jepang, mereka melihat bahwa kamar sudah penuh. Ketika Jepang mulai hormat pada Soegija sebagai Uskup, Soegija sering diundang dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang. Ia tidak pernah datang, tetapi selalu mengirim karangan bunga. Semua menyangka bahwa ia datang dalam acara-acara itu, tetapi sebenarnya ia tidak pernah datang. Soegija tinggal di Gedangan. Dan menerapkan peraturan untuk pemerintah Jepang, bahwa jika ada yang ingin menghadap dia, senjata diletakkan di luar. Agama adalah zona damai, tidak boleh ada kekerasan di wilayah Agama. Dia juga mengatakan bahwa Agama adalah supra nations. Ia mengatakan pada pimpinan Jepang, pimpinannya Gereja Katolik adalah Paus, dan Paus adalah sahabat kaisar Jepang, itulah cara dia bernegosiasi untuk membebaskan para biarawan-biarawati Belanda yang ditawan oleh tentara Jepang.
Sejak awal Soegija menyadari bahwa agama dan negara memang dua hal yang berbeda, tetapi sekaligus terkait. Soegija tidak pernah bercita-cita mendirikan negara agama. Selain negara dan agama itu dua hal yang berbeda, tetapi tentu saja ia ingin menghargai keberagaman yang ada di Indonesia ini. Namun ia juga menyadari bahwa agama dan negara itu saling terkait. Negara bertujuan mengatur kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa dan menyejahterakan rakyatnya, sedangkan agama menjadi tuntunan hidup dan juga menyejahterakan kerohanian rakyat. Jika sebuah bangsa seimbang dalam kehidupan politik dan agamanya, rakyatnya akan seimbang pula menjadi manusia yang utuh dalam bersosial dan beriman. Dan Negara ikut menjamin ketentraman keberagaman ini yang ada di Indonesia ini. Dan hebatnya Soegija adalah Ia sendiri sebagai pemimpin agama, berani keluar dari sekat kekatolikannya dan memberi contoh kepada umat yang dipimpinnya untuk untuk sungguh-sungguh all out berjuang untuk bangsa ini ketika bangsa ini membutuhkan kesatuan hati rakyatnya untuk tujuan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa. Nama-nama besar seperti Adi Sutjipto, Slamet Riyadi, Yos Sudarso itulah buah semangat Soegija yang berjuang all out untuk bangsa ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Kekatolikan waktu itu masih dianggap sebagai agama kolonial. Memang sejarah kekristenan di Indonesia ini terkait dengan penjajahan bangsa Belanda. Agama katolik dianggap sebagai agamanya penjajah. Kesetiaan Umat Katolik Indonesia pada bangsa ini waktu itu masih dipertanyakan, apakah mereka akan membela bangsa ini atau mereka tetap menjadi antek-anteknya penjajah Belanda. Soegija memang ingin menghapus gambaran agama Kolonial ini, tetapi tentu saja tidak semata-mata untuk itu. Perjuangan Soegija tidak semata-mata supaya orang Katolik di Indonesia ini mendapat existensinya di Indonesia ini, tetapi lebih-lebih supaya orang katolik di Indonesia ini sungguh-sungguh memiliki darah Indonesia, 100% Katolik, 100% Indonesia. Orang katolik di Indonesia ini sungguh-sungguh Orang Katolik Indonesia, bukan orang Katolik ke belanda-belandaan. Perjuangan orang Katolik di Indonesia adalah perjuangan orang-orang yang beriman Katolik tetapi sungguh-sungguh berjuang untuk seluruh Indonesia, untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Visi kemanusiaan itulah yang akhirnya menjadi landasan Soegija untuk berjuang. Bahwa Penjajahan itu adalah suatu bentuk ketidak adilan, bahwa setiap bangsa berhak merdeka, bahwa kesejahteraan dan rasa aman rakyat itulah yang mendorong Soegija untuk berjuang dan akhirnya ia sendiri berdiri mengawal bangsa ini di saat kelahirannya sebagai bangsa yang merdeka.
Sejak kecil Soegija merasakan situasi ketidak adilan penjajahan itu. Perjuangannya sebagai anak kecil ia tunjukkan dengan sering berkelahi melawan sinyo-sinyo belanda. Sebagai manusia ia merasa diperlakukan tidak adil, dibedakan perlakuan tehadap sinyo-sinyo itu. Ia tantang sinyo-sinyo itu berkelahi atau main bola untuk menunjukkan bahwa derajat kita di hadapan Tuhan sama walau kulit kita berbeda.
Pendidikan Van Lith tentu saja ikut mempengaruhinya. Van Lith, seorang Belanda yang peduli pada pendidikan kaum pribumi. Bagi Van Lith menjadi katolik bukan hanya sampai dibaptis saja, tetapi lebih-lebih menjadi pribadi yang merdeka dan bermartabat. Ia mendidik anak-anak pribumi ini dengan kesetaraan, ia mengajari supaya orang-orang pribumi ini berani berdebat dengan orang Belanda dan mengalahkannya. Orang-orang Pribumi harus mendapatkan martabatnya. Dan salah satu didikan Van Lith yang berhasil adalah Soegija.
Ketika perang lima hari di Semarang, Soegija mengecam orang-orang yang meninggalkan kota Semarang. Mereka ini dikatakan pengkhianat karena membiarkan tanah airnya menjadi jarahan bangsa lain. Soegija tetap berada di Semarang. Dan ketika sekutu datang, ia membuat perundingan dengan pimpinan tentara Jepang dan Sekutu untuk menghentikan perang ini. Semarang yang terancam bumi hangus dan sudah banyak korban berjatuhan ini diselamatkan oleh perundingan itu. Alasan yang diajukan oleh Soegija adalah alasan kemanusiaan, sudah banyak korban dari rakyat yang mati dan yang masih hiduppun sekarang harus kelaparan, anak-anak kecil tidak punya susu lagi, karena sudah tidak ada makanan dan minuman lagi. Setelah perang lima hari bearkhir, chaos pun terjadi di Semarang, penjarahan dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Soegija terlibat dengan Tim Penolong Rakyat, relasinya dengan Perdana Mentri Syahrir ia pakai untuk mengirim bahan makanan ke Semarang dan membuat pemerintahan sementara di Semarang untuk mengatur kehidupan masyarakat di Semarang yang sedang chaos itu. Dan itu awalnya Pemkot Semarang yang pertama.
Ketika Situasi semarang sudah aman, dan ketika Pemerintahan di Jakarta pindah ke Yogyakarta, solidaritas Soegija pada bangsa ini pun juga terbangkitkan. Ia pindahkan juga keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta. Soekarno Hatta ada di Gedung Agung, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ada di Kraton, dan Mgr Soegijapranata ada di Bintaran. Soegija menemani para pemimpin besar itu.
Ketika Clash Belanda I, Soegija sedang retret di Gereja Purbayan di Solo. Ia dijemput oleh kementrian penerangan untuk berpidato untuk gencatan senjata. Dan dengan keras Soegija mengritik umat Katolik Belanda yang perannya cukup besar melalui Partai Katolik Belanda atas agresi militer Belanda ini. Soegija menyatakan sikap bahwa umat katolik Indonesia berada di pihak Indonesia.
Ketika Clash Belanda II, jogja sudah diblokade oleh Belanda, Soekarno-Hatta ditahan. Soegija bertahan di Yogyakarta. Melalui kurirnya Ia menyarankan supaya Sultan HB IX tetap tinggal di Yogyakarta bersama rakyat, karena rakyat membutuhkan Sultan. Ia juga merawat keluarga Bung Karno di belakang Gereja Bintaran. Ia menulis berita-berita ke luar negeri dan dengan silent diplomacy-nya ia membuka mata dunia akan ketidakadilan perang Belanda melawan Indonesia.
Soegija berdiri mengawal bangsa ini. Tetapi ia tetap manusia biasa. Saat ia di Semarang melawan kekuasaan Jepang. Ia pernah mengalami saat-saat Getsemani. Ia berdoa tengah malam dan tanpa ia sadari hari sudah menjelang pagi. Jarik Udan Riris dari ibunya selalu menemaninya. Munajat yang menjadi teman sekaligus kurirnya menyelimutkan jarik itu pada Soegija. Ia selalu membutuhkan sentuhan ibunya melalui jarik kenangan dari ibunya itu untuk menguatkannya. Ibunya sekarang adalah Ibu pertiwi. Dan Ibu pertiwi seharusnya memberikan kedamaian bagi rakyatnya. (F.X. Murti Hadi Wijayanto, SJ, Semarang, 30 Juli 2011)
Kontribusi: rin ([email protected])