Dalam semua Ritus Timur Gereja Katolik, para uskup wajib berselibat. Tetapi dalam Ritus Katolik Byzantin, Koptik, Siria, Armenia, dan Rutenia, para imam biasanya berkeluarga sama seperti dalam Gereja Ortodoks. Hal ini sesusai dengan keputusan Sinode Trullo pada tahun 692.
Di bagian Timur, sejak abad ke-6 dan ke-7 hukum melarang uskup hidup bersama istrinya. Jika sudah menikah sebelum ditahbiskan, ia harus menitipkan istrinya dengan persetujuannya ke suatu biara yang jauh. Tetapi, para imam dan diakon tetap berkeluarga sampai kini. Selibat imamat dalam Gereja bagian Barat baru mulai menjadi tuntutan kanonik sesudah berbagai sinode partikular menekankan selibat. Dekrit pertama, yaitu Kanon 33 Sinode Elvira (sekitar tahun 350) di Spanyol berbunyi: “Kami menyatakan bahwa semua uskup, imam dan diakon – seluruh klerus yang terlibat dalam pelayanan – dilarang samasekali untuk hidup bersama dengan istrinya dan mengadakan anak. Siapa saja yang melanggar, akan dipecat dari imamatnya.” Tetapi, waktu Uskup Hosius dari Cordoba (sekitar tahun 256-357) mengusahakan supaya dekrit tersebut diundangkan oleh Konsili Ekumenis Nicea (tahun 325), ia tidak berhasil. Namun Damasus I, Sirisius, Inosensius I dan Leo I menyuruh para imam untuk hidup berselibat. Demikian juga sinode-sinode partikular di Afrika Utara, Perancis dan Italia berkali-kali menekankan selibat; suatu tanda bahwa selibat belum menjadi sesuatu yang lazim.
Pada abad ke-10 muncul gerakan untuk meninggalkan selibat imamat di Ritus Latin (Roma). Tetapi dengan adanya gerakan pembaharuan pada abad ke-11, semangat bermatiraga merasuki Gereja. Gregorius VII (1020-1085) berjuang mati-matian untuk membaharui selibat imamat, antara lain untuk menghindari milik Gereja diwariskan kepada keturunan klerus. Pada masa sesudahnya, masih terdapat jurang yang lebar antara cita-cita dan praktek.
Umat-umat Reformasi tidak menghargai hidup selibat. Kalvin mengajarkan bahwa hidup selibat tidak boleh lebih dihargai daripada hidup menikah. Selibat dicap sebagai usaha menyelamatkan diri. Konsili Ekumenis Trento (1545-1563) meneguhkan kembali hukum mengenai selibat imam, tetapi menyatakan jelas-jelas juga bahwa selibat adalah hukum gerejani semata. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa semua orang beriman harus mengabdi Tuhan dengan hati yang tidak terbagi, dan ini lebih mudah dengan hidup berselibat (GS 42). Walaupun selibat tidak dituntut oleh imamat an sich, namun sangat sesuai dengannya (HI 16).
Paulus VI mengharapkan bahwa pengertian mendalam tentang kaitan erat antara imamat dan tugas melanjutkan misi Kristus itu akan semakin memperlihatkan juga kesesuaian antara selibat dan imamat (Sacerdotalis caelibatus/Sc, 25). Namun demikian, Paus bertanya, apakah tidak sebaiknya penerimaan ‘hukum selibat yang berat itu diserahkan kepada keputusan masing-masing imam’ (Sc 3), sehingga orang yang merasa terpanggil akan imamat, tetapi bukan akan selibat, dapat ditahbiskan juga (Sc 7). Hal ini lazim dalam Ritus-Ritus Katolik Timur (Sc 38). Namun Paus dan Sinode Sedunia 1971 menegaskan bahwa selibat para imam tidak/belum akan dilepaskan. Walaupun demikian, selama masa pengabdian Paulus VI, puluhan ribu imam yang merasa tidak lagi dapat hidup membujang diberi dispensasi, sehingga dapat menerima Sakramen Perkawinan (dan tentu saja lebih dahulu meletakkan jabatan sebagai imam).
Pada masa sesudah Konsili Vatikan II, rupanya selibat dipertanyakan banyak orang. Mungkin selibat terlalu disanjung, sehingga kekecewaan besar sekali tidak dapat dihindari bila kenyataan lain daripada cita-cita. Selibat para imam hanya dapat menjadi tanda rahmat Ilahi, bila didukung doa dan sikap umat. Supaya imam berkembang sebagai manusia – hal yang mendukung karya pastoralnya – ia perlu mengembangkan bakat-bakatnya, terutama yang kreatif (musik, baca, ilmu, seni, dll), cara pergaulan yang matang dan bermanfaat, keterbukaan pada yang indah dan budaya. Ia memerlukan komunitas segar yang menjadi tempat pertukaran pikiran, kesulitan, dan keyakinan rohaninya.
Yohanes Paulus II mempersulit dispensasi dari hukum selibat dan jarang memberikannya. Sinode Uskup Sedunia 1990 meneguhkan hukum selibat dan demikian juga Surat Apostolik Pastores dabo vobis (no. 29) sesudah Sinode tersebut. Di masa kini, Gereja Ritus Latin (Roma) menganggap selibat tetap sangat berguna dan cocok bagi klerusnya, karena membuat mereka lebih bebas untuk melayani umat Allah. Tetapi Gereja juga menyatakan, bahwa kalau berkehendak, ia berhak membatalkan hukum itu, misalnya bia kekurangan imam berselibat, menganjurkan mentahbiskan viri probati, yakni “pria yang teruji” (dan berkeluarga).
Kini status hidup tetap tidak menikah dalam Gereja Katolik Roma merupakan persyaratan untuk ditahbiskan menjadi imam dan untuk tetap mengabdi sebagai imam. Tujuannya adalah pengabdian menyeluruh terhadap umat beriman demi Kristus. Selibat dijadikan persyaratan untuk menerima tahbisan oleh hukum Gereja (KHK Kan 1037), walaupun tidak ditetapkan Kristus. Sejak abad ke-12 hukum Gereja memandang perkawinan klerus bukan hanya tidak boleh, melainkan juga tak sah. Pandangan ini diteguhkan Konsili Lateran II (1139) dan rupanya menjadi undang-undang Gereja pertama yang menentukan, bahwa tahbisan merupakan penghalang untuk menikah dengan sah (bdk Kan 1087, dst).
Akhir-akhir ini dibuat beberapa pengecualian dari tata tertib ini. Para pendeta Gereja Protestan dan Anglikan yang menjadi Katolik, sejak tahun 50-an abda ini diizinkan untuk tetap hidup beristri sesudah ditahbiskan imam. Dan pria yang berusia 35 tahun lebih dapat ditahbiskan menjadi diakon tetap.
Yohanes Paulus II berusaha membaharui semangat selibat dengan mengajarkan bahwa semangat hidup berselibat, miskin, dan tata secara radikal merupakan sikap hidup Yesus sendiri yang seharusnya meresapi seluruh umat beriman. Sekurang-kurangnya waktu meninggal, semua orang harus menempuh jalan terakhir tanpa teman hidup mana pun, meninggalkan segala miliknya dan menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah. Kenyataan eskatologis itu sudah tampak dalam hidup berselibat demi Kerajaan Allah, yang hanya dapat dimengerti dalam iman dan hanya meyakinkan jika diamalkan secara manusiawi di dalam umat. Tidak terikat pada urusan dan kepentingan hidup berkeluarga, menyanggupkan orang untuk membuka diri pada aneka keperluan umat dan membantu sesama manusia untuk membuka diri pada panggilan Allah sesuai status hidup masing-masing. Hidup berkeluarga Kristiani dan hidup berselibat adalah dua bentuk kesaksian akan cintakasih Allah. Kedua bentuk itu saling memerlukan dan saling mendukung: mereka yang menikah perlu disadarkan, bahwa cintakasih akan Allah melampaui cinta di antara anggota-anggota keluarga. Mereka yang berselibat perlu disadarkan, bahwa cintakasih Allah menjadi konkret dalam cinta suami-istri yang tak ditarik kembali. Kedua bentuk hidup ini memerlukan sikap sama yang diungkapkan secara berbeda, yakni kepekaan hati, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, saling memaafkan dan bersetia satu sama lain.
Menghargai selibat tidak berarti menganggap rendah pernikahan atau seksualitas manusia. Tetapi, dalam lingkungan ‘budaya’ yang menganggap seksualitas sebagai sarana utama, bahkan satu-satunya untuk mengungkapkan perasaan dan mutlak diperlukan untuk mengekspresikan rasa erotis sejak umur muda, hidup berselibat sebagai ungkapan cintakasih manusiawi sukar dimengerti, apalagi dilaksanakan dengan konsekuen. Kalau selibat tidak diamalkan sebagai suatu bentuk cintakasih, timbul bahaya orang merasa kesepian dan menjadi egosentrik dan aneh – perkembangan demikian tak asing juga pada banyak orang yang gagal membina hidup suami-istri yang diresapi cinta yang semakin dewasa. Tidak menikah demi cita-cita keagamaan selamanya ditentang oleh orang yang berpandangan bahwa manusia memperoleh kebahagiaannya (hanya) di dunia ini. Maka adanya saja orang yang hidup selibat sudah membingungkan, bahkan kadang-kadang menjengkelkan mereka itu.
Karena selibat tidak termasuk hukum ilahi, maka terdapat alasan pro dan kontra untuk mempertahankan hukum itu, walaupun ideal hidup tidak menikah demi Kerajaan Allah tetap harus dipegang oleh orang beriman sebagai nasihat Yesus sendiri. Dalam diskusi tentang selibat dikemukakan argumen-argumen seperti berikut ini:
1. kalau benar – namun belum terbukti – bahwa jumlah imam untuk melayani umat dengan Sakramen-Sakramen, terutama Ekaristi, sangat tidak memadai karena hukum selibat, maka hukum ini seharusnya diubah demi menjamin pelayanan umat.
Segala argumen pro dan kontra selibat tidak dapat meyakinkan 100% bahwa hukum selibat harus ditiadakan dan tidak juga bahwa selibat mati-matian harus dipertahankan. Segala argumen bercorak ‘sebaiknya, sepantasnya’ dan rasa iman akhirnya harus mengambil keputusan, karena hanya ‘mereka yang diberi rahmat pengertian, akan menangkapnya’ (bdk Mat 19:12).
Beberapa segi selibat:
Segi kristologis: Seluruh hidup dan perbuatan Yesus, ya, seluruh diriNya mengabdi pada tugas yang diterimakan Allah Bapa kepadaNya, sehingga tidak ada tempat untuk hidup berkeluarga bagiNya. Maka Yesus menyerukan supaya orang yang ingin mengikutiNya bersedia meninggalkan apa saja, termasuk anak-istri mereka.
Segi eklesial: Hidup berselibat membebaskan orang dari aneka kewajiban dan keterikatan hidup berkeluarga, supaya dapat mencurahkan seluruh waktu, segala tenaga dan cintakasihnya pada pelayanan umat.
Segi karismatis: menjalankan selibat dengan setia mengandaikan panggilan dan rahkan khusus. Maka hidup berselibat bukan prestasi orang yang bersangkutan, bukan pula ‘harga yang harus dibayar’ kalau mau menjadi imam. Rahmat hidup berselibat harus didoakan oleh umat yang menginginkan imam mereka berselibat.
Segi profetis: Hidup menurut tiga Nasihat Injili merupakan suatu alternatif terhadap kecenderungan kodrati mencari kebahagiaan dalam hidup ini dan terhadap konsumerisme yang ingin menikmati apa yang dapat diperoleh sekarang ni dan sebanyak mungkin.
Segi eskatologis: orang yang hidup berselibat menaruh seluruh harapan pada Allah serta kehidupan di akhirat, waktu ‘Allah akan menjadi segalanya’ (1 Kor 15:28). Inilah harta yang tidak dapat dicuri atau dimakan karat (Mat 6:19-21).
Sumber: Eksiklopedi Gereja IV, Adolf Heuken, SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1994