Pertanyaan seorang umat:
Ingin bertanya mengenai adat dalam Suku Batak. Perempuan dan pria yang berasal dari marga yang sama dikatakan tidak bisa menikah. Secara Alkitabiah, tidak pernah ada aturan demikian, hanya karena adat istiadat yang berlandaskan aturan yang ada sejak zaman nenek moyang (mungkin juga dahulu mereka belum mengenal Tuhan). Apakah pernikahan itu dapat diberkati secara Katolik?
Jawaban:
Selalu ada 2 macam jawaban untuk hal demikian.
1. Secara Yuridis: Menurut Hukum Gereja (yang tentu saja telah berabad-abad dipakai) halangan perkawinan yang bersifat keturunan lebih pada “incest” (kawin dengan saudara kandung) atau kawin dengan keluarga sedarah (kawin dengan nenek atau tante) atau kawin dengan sepupu (tetapi tingkat ke-4 sudah tidak ada larangan lagi). Lebih dari itu, tidak ada diatur tentang pernikahan satu marga, apalagi mitos misalnya orang Medan tidak boleh menikah dengan orang Pontianak, atau marga Sinaga tidak boleh kawin dengan marga Sihotang, dan seterusnya. Jadi dalam Gereja Katolik tidak ada aturan mengenai marga atau “surname” yang dilarang jika kawin. Halangan lain adalah umur. Jika belum genap 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria, mereka tidak sah menikah. Lebih dari itu, tidak ada yang berkaitan dengan keturunan atau umur.
2. Secara Pastoral: Alasan pastoral berkaitan dengan keadaan umat setempat. Jika ada kebiasaan dan praktek hidup dalam budaya setempat, kita tidak bisa asal hantam saja dengan mengatakan bahwa Hukum Gereja berkata ini atau itu. Kita mesti MENDENGARKAN situasi setempat. Biasanya kebijakan pastoral itu dibuat oleh Keuskupan setempat. Oleh sebab itu, berkaitan dengan pernikahan semarga itu, TANYALAH KEPADA USKUP SETEMPAT, apa kata Uskup (atau kebijakan Keuskupan). Jika Keuskupan tidak menganggap masalah marga sebagai yang harus diprihatinkan, kemungkinan besar asalan tidak boleh kawin karena marga itu hanya merupakan masalah (keyakinan) pribadi seorang anggota keluarga saja. Jadi, Anda boleh kawin meski ditentang oleh nenek atau kakek atau Boru atau Tulang atau siapa saja.
Saya mengusulkan untuk bertanya kepada Keuskupan setempat, karena mereka-lah yang hidup dalam budaya setempat.
2. Secara Pastoral: Alasan pastoral berkaitan dengan keadaan umat setempat. Jika ada kebiasaan dan praktek hidup dalam budaya setempat, kita tidak bisa asal hantam saja dengan mengatakan bahwa Hukum Gereja berkata ini atau itu. Kita mesti MENDENGARKAN situasi setempat. Biasanya kebijakan pastoral itu dibuat oleh Keuskupan setempat. Oleh sebab itu, berkaitan dengan pernikahan semarga itu, TANYALAH KEPADA USKUP SETEMPAT, apa kata Uskup (atau kebijakan Keuskupan). Jika Keuskupan tidak menganggap masalah marga sebagai yang harus diprihatinkan, kemungkinan besar asalan tidak boleh kawin karena marga itu hanya merupakan masalah (keyakinan) pribadi seorang anggota keluarga saja. Jadi, Anda boleh kawin meski ditentang oleh nenek atau kakek atau Boru atau Tulang atau siapa saja.
Saya mengusulkan untuk bertanya kepada Keuskupan setempat, karena mereka-lah yang hidup dalam budaya setempat.
Perlu diingat, Gereja Katolik bukan menghapus semua adat budaya demi alasan Iman atau asal tidak tercantum dalam Kitab Suci, namun Gereja Katolik adalah Gereja yang mau berdialog dengan Budaya., karena banyak yang indah dan luhur dalam budaya setempat. Kita mesti selalu menghargai budaya yang luhur, bukan?
(Romo Henricus Asodo, OMI, Rektor Seminari Tinggi OMI, Condong Catur, Yogyakarta)