Di tengah-tengah perpecahan, Allah menyerang
Pada sebuah bel yang besar sekali,
Bagi Paus Slavia,
Terbukalah takhta.
Orang tidak akan melarikan diri dari pedang,
Seperti orang Italia.
Seperti Allah, Dia akan menghadapi pedang dengan berani
Bagi Dia, dunia adalah debu …
Lihatlah, datanglah Paus Slavia,
Saudara orang-orang.
– Juliusz Slowacki, Penyair Polandia, 1848
(peramal luar biasa sebab melalui puisi ini dia memprediksi terpilihnya seorang Paus asal Polandia di masa depan)
Kardinal Karol Wojtyla, Uskup Agung Krakow – orang yang selamat dari tirani Stalinisme dan Nazisme, dalam kurun waktu 455 tahun menjadi orang pertama bukan Italia yang dipilih menjadi Paus yang ke-264.
Sering dikatakan “Untuk memahami Paus ini, kita harus kembali meniti kisah awal di Polandia”. Semua hal-hal penting yang terjadi semasa tahta kepausannya berawal dari kehidupannya yang kelam di tanah Polandia. Visi Kristianinya, pelayanannya, dan emosinya berakar dari negara yang ditinggalkannya dan kemudian menjadi Bapa Suci Gereja Katolik Roma.
Sebagai wakil Kristus dan pengganti Santo Petrus, Beliau mempelopori sistim kerja kepausan moderen. Beliau membawa misinya ke luar Vatikan dan ke seluruh dunia, melampaui batas-batas Kristen Eropa kuno – mendirikan gereja-gereja baru ke mana pun Beliau pergi: di Amerika Latin, Amerika Serikat, Timur dan Afrika. Beliau memukau dan memenangkan hati media dengan sentuhan-sentuhan pribadinya. Beliau adalah Paus yang berselancar, Paus yang puitis, Paus dengan penjualan CD terbanyak, Paus sang disainer jubah, Paus yang cerdas.
Tetapi Beliau tidak pernah tenggelam ke dalam dunia selebritas. Beliau adalah Paus yang menjatuhkan komunisme; Paus yang berjuang tanpa gentar menuju rekonsiliasi Kristiani dengan kaum Yahudi; Paus yang menyuarakan pertentangannya terhadap keberadaan iblis dalam “budaya kematian.” Beliau tidak pernah mempertimbangkan provokator, dan terus maju mengikuti keyakinannya. Maka Paus Yohanes Paulus II juga disebut sebagai Paus yang tegas, Paus yang keras, Paus yang dingin (diam), dan Paus yang mengacuhkan perubahan revolusioner terhadap status wanita. Batasan-batasannya yang tak tergoyahkan – juga pencapaian-pencapaiannya yang luar biasa – semua merefleksikan sebuah dunia yang hilang: Polandia, tempat Karol Wojtyla hidup dan bertumbuh.
DEMI PERDAMAIAN
Yohanes Paulus II adalah Paus paling mondial yang pernah ada. Ia memanfaatkan kecanggihan teknologi transportasi dan komunikasi untuk menjangkau sebanyak mungkin wilayah bumi. “Saya adalah Paus peziarah,” ujarnya. “Saya mencoba segala cara, memanfaatkan segala alat dan fisilitas agar bisa menyapa saudara-saudara saya di seluruh dunia.”
Paus Yohanes Paulus II memegang rekor keliling dunia. Hampir 2,5 tahun dari 26 tahun masa kepausannya dihabiskan di luar negeri, menempuh jarak 1,2 juta km atau setara 28 kali keliling bumi, alias tiga kali jarak bumi-bulan. “Saya tidak hanya meneruskan Takhta Suci Santo Petrus, tetapi juga mewarisi semangat St. Paulus. Ia seorang penjelajah,” katanya dalam John Paul II, Rise, Let Us be on Our Way (2004). Cara ini pula yang mendorong keberhasilan “Evangelisasi Baru” khasnya, dan pada sisi lain menampilan dirinya sebagai diplomat sekaligus humas bagi pendangan, sikap, dan ajarannya. Pada 1994, Majalah Time menganugerahinya julukan “Man of The Year”.
Kunjungan pertama Paus ke luar negeri yang menunjukkan kepeduliannya pada Dunia Ketiga adalah ke Puebla, Meksiko. Di sana ia berbicara tentang hak dasar manusia yang tidak bisa dibatasi oleh apapun termasuk status dan ras, yang mana hal ini mendasari eksiklik pertama yang terbit 4 Maret 1979, Redemptor hominis (Penebus Dosa Manusia). Kunjungan terakhir, tercatat kunjungan ke-104, adalah ke Lourdes di tahun 2004.
Parkinson, cedera patah pinggul saat main ski di Italia (1994) yang menyurutkan kekuatan fisiknya, Paus melakukan penjelajahannya seakan mengabaikan tubuhnya yang semakin renta. Tapi ancaman paling serius bagi nyawanya adalah peristiwa penembakan kearahnya ketika melambai-lambai kepada ribuan orang dari popemobile, oleh pemudia Turki Mehmet Ali Agca (23) dengan senapan Browning 9mm. Tembakan mengenai perut, pundak kanan dan jari telunjuk kiri. Namun operasi dan masa krisi berakhir dengan kelegaan karena tidak ada organ vital yang terkena. Paus percaya bahwa ia diselamatkan oleh Bunda Maria dari Fatima, dan kebetulan pula hari penembakan itu adalah peringatan hari Maria dari Fatima (13 Mei). Paus yang dari awal sudah mengampuni Mehmet Ali, mengunjunginya di penjara di Roma. Pembicaraan serius terjadi selama 20 menit dan Mehmet Ali mencium tangan Paus ketika hendak pulang. Dalam bukunya Paus menyampaikan, “Ali Agca pasti menembakkan pistol untuk membunuh. Tapi rupanya ada sesuatu yang membelokkan peluru itu hingga tidak mengenai bagian yang mematikan. Ia menyimpulkan, di atas kekuatan dirinya untuk menarik pelatuk sejata dan membunuh saya, ada kekuatan lain yang lebih besar yang tidak mengehendaki itu terjadi. DIa kemudia sadar danmencoba mencari kekuatan itu. Saya berdoa semoga is menemukannya.”
Sejak terpilih sebagai Paus pada tanggal 16 Oktober 1978, Yohanes Paulus II memang sudah terpanggil menyuarakan akan pentingnya perdamaian dunia ini. Bahkan dalam testamen bertanggal 6 Maret 1979, ia sudah menyerukan agar setiap pihak segera mengakhiri Perang Dingin tanpa menimbulkan konflik nuklir yang hebat. Untuk menwujudkan perdamaian yang nyata, ia berusaha keras merintisnya. Yohanes Paulus II yakin perdamaian hanya bisa dicapai jika ada dialog yang sehat antarbangsa, antar-ras, antarsuku, dan antaragama. Pada pidato natal tahun 2000 ia mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap orang Kristen di Indonesia, yang pada malam Natal tahun itu sekurang-kurangnya 16 nyawa melayang akibat ledakan bom yang dipasang di berbagai gereja, saat umat Kristiani Indonesia sedang mengikuti misa dan kebaktian Natal.
Dalam artikelnya “Menangkap Pesan Pribadi Pembawa Damai” (Suara Pembaharuan, 4 April 2005, hlm. 9), Benny Susetyo Pr, sekretaris eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia, mengungkapkan bahwa damai adalah kata-kata utama yang selalu keluar dari ucapannya. Ia ingin menyampaikan pesan utama Tuhan di muka bumi ini, yakni mambawa damai di tengah riak-riak potensi kehancuran. Hidup keseluruhannya dibaktikan kepada perdamaian. Dapat dimaklumi bahwa Paus Yohanes Paulus II sangat mendambakan perdamaian. Soalnya, di negara asalnya, Polandia yang sosialis-komunis, kekerasan demi kekerasan telah berlangsung di depan matanya dalam kurun waktu cukup lama. Tak aneh jika dia sangat memahami arti perdamaian yang sesungguhnya.
SPIRITUALITAS
Ketika Nazi menguasai kehidupan Polandia, universitas dan perpustakaan ditutup. Hanya orang Jerman yang boleh menonton drama dan konser. Karol Wojtyla yang aktif berteater jadi menganggur dan kemudian bekerja sebagai buruh di pertambahan dekat Krakow. Ternyata bekerja di tambang itu membuat Wojtyla tetap bisa berteater. Musim Panas 1941, bersama beberapa temannya, ia membentuk kelompok teater bawah tanah, Rhapsodic Theater. ‘’Kami ingin membangun sebuah teater yang dapat menjadi sebuah “gereja” dimana kami dapat membakar semangat nasionalisme,” begitu tulis Wojtyla di kemudia hari.
Setelah ditinggal kakak perempuannya, ibunya, kakak laki-lakinya, ketika bulan Februari 1941, Wojtyla harus menghadapi “kegelapan” lagi. Ayahnya dipanggil Tuhan pada umur 62 tahun. Selama 12 jam Wojtyla berlutut berdoa di samping jenazah ayahnya. Wojtyla kemudia mengundurkan diri dari semua kegiatan teater dan belajar menjadi imam. Kematian sang ayah yang membuat Wojtyla berada dalam kegelapan hidup yang paling pekat (“Pada umur 20 aku sudah kehilangan semua orang yang kucintai”) justru menjadi awal sebuah “terang baru”, sebuah sikap keagamaan atau spiritualitas yang 50 tahun kemudian justru mampu menghancurkan kegelapan sistem totalier anti-Tuhan.
Ketika memperdalam teologi di Angelicum, Wojtyla menulis disertasi tentang “Masalah Iman dalam Karya-Karya St. Yohanes Salib”. Mistik Yohanes Salib adalah mistik cinta. Untuk sampai pada mistik semacam itu, manusia harus melewati tahapan permurnian diri yang berupa “kegelapan malam”, yang dimulai dari tataran perasaan, tataran pemahaman, dan berakhir dalam kegelapan total dalam kesatuan dengan Alhha. Karena sinar Iman yang begitu kuat membuat manusia menjadi “bukan apa-apa” lagi, mendekati nihil dan lenyap. Pemahaman inilah yang mungkin menjelaskan mengapa Wojtyla selalu mampu menaruh kepercayaan besar kepada Tuhan. Ada sebuah energi “non-manusia” yang muncul dari pribadi Wojtyla bagia siapa saja yang secara pribadi bertemu atau berbicara dengannya; energi yang tidak bisa dianalisis atau diprediksi melalui ilmu-ilmu sosial. Ketika menjadi Paus, pertemuan-pertemuan dengan sang Paus ini selalu memunculkan kejutan. Tidak heran kalau kemudia beberapa pemimpin dunia enggan untuk dikunjungi atau bertemu muka secara pribadi dengan Paus asal Polandia ini. Berbagai kontroversi manusiawi selalu muncul setelah sebuah kunjungan pribadi Paus.
10 KONTROVERSI
Meski diakui sebagai salah satu Paus paling berhasil, ajaran Yohanes Paulus II tidak bebas dari bantahan, kecaman dan hujatan. Berikut kontroversi-kontroversi yang timbul selama masa kepausan Paus Yohanes Paulus II.
1. Hak Asasi Manusia
Sementara Paus Yohanes Paulus II mengagungkan & mendukung pelaksanaan HAM, akan tetapi di dalam gereja, para uskup, teolog, dan khususnya kaum perempuan tidak diberikan hak untuk menyuarakan HAM secara tuntas.
2. Peran Kaum Perempuan
Paus Yohanes Paulus II sangat menghormati Bunda Maria, selalu mewartakan konsep yang mulia mengenai masalah perempuan. Namun, bersamaan dengan itu, ia melarang kaun perempuan untuk mempraktikan pembatasan kelahiran serta menghalangi mereka untuk ditahbiskan sebagai imam.
3. Masalah Moral Seksualitas
Paus Yohanes Paulus II banyak berkotbah mengenai kemiskinan masal (mass poverty) dan penderitaan yang dialami oleh sebagian besar penduduk duania. Namun, is tidak melihat bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah ledakan penduduk yang tidak terkendali dan dominasi budaya kekuasaan laki-laki. Dengan larangan penggunaan alat-alat pencegah kelahiran, sesungguhnya Paus kurang memberi dukungan struktural pada pengetasas masalah kemiskinan.
4. Masalah Selibat untuk Imam
Dalam sejarah gereja selibat untuk para imam itu merupakan kebijaksanaan pastoral terkait kerangka zaman. Namun, selibat itu kemudia sangat ditekankan tanpa melihat situasi zaman dan kondisi pastoral yang sudah berubah. Akibatnya, kecuali di India, Korea, dan Indonesia, panggilan imamat (juga panggilan suster dan biarawan lain) semakin sedikit dan menurun tajam.
5. Tentang Gerakan Ekumene
Paus Yohanes Paulus II sangat menyuarakan gerakan ekumene, khususnya melalu ensiklik Ut Unum Sint (Agar Mereka Menjadi Satu) tahun 1995, Tahun 1996 ia menjadi paus pertama yang mengunjungi sinagoga Yahudi dan tahun 2001 masuk ke Masjid Agung Omayyad di Damaskus, Suriah. Namun, hubungan Vatikan dengan gereja-gereja Ortodoks dan gereja Reformis kurang baik. Vatikan tetap ingin menguasi sistem kekuasaan Roma dalam bidang liturgi dan administratif.
6. Kebijakan Pribadi
Sebagai Uskup Agung Krakow, Karol Wojtyla memang aktif berpartisipasi dan bahkan ikut merancang beberapa dokumen dan keputusan Konsili Vatikan II. Ia sangat gigih menekankan pentingnya kolegialitas para uskup sebagai mitra dari curia Roma. Namun, ketika ia menjadi Paus, kolegialitas tersebut justru diabaikan. Agenda sinode uskup banyak ditentukan oleh Vatikan. Sentralisme menjadi yang utama. Peran Paus menjadi lebih penting ketimbang peran pimpinan gereja lokal.
7. Masalah Kelirikalisme
Melalu kunjungannya yang begitu banyak, Paus Yohanes Paulus II akhirnya sering dianggap dan dinilai sebagai wakil dari gereje Eropa. Wakil Eropa ini, khususnya dalam memandang dan memberi prioritas persoalan, sering justru menjadi sebuah “batu sandungan” atau bahlan memunculkan permusuhan. Salah satu contohnya adalah pernyataannya di India tahun 1999 bahwa “millennium ketiga ini adalah millennium Kristen”. Ini adalah sebuah pengingkaran dari peran serta umat agama lain.
8. Darah Segar Gereja
Sebagai komunikator, Paus memang sangat efektif untuk kalangan orang muda. Namun, dalam kenyataannya, kaum muda yang tertarik kepada kehadirannya adalah kelompok-kelompok orang muda dari orang tua konservatif dan mapan. Dalam istilah sosiologis, mereka adalah “orang muda yang manis, yang dekat dengan kegiatan gereja” bukan kelompok orang muda yang memang kritis.
9. Dosa Gereja di Masa Lalu
Vatikan memang mengakui dosa masa lalu. Yang diakui adalah kesalahan dari “putra dan putri gereja”. Tidak disebutkan bahwa “para Paus” pun berbuat salah. Tampaknya “dosa masa lalu” tidak cukup hanya diakui belaka, tetapi hendaknya menjadi pegangan awal untuk memulai sesuatu yang baru. Salah satunya harus dipertanyakan adalah kerja sama – terutama dalah bidan keuangan – dari gereja dengan kelompok-kelompok ilegal.
10. Keberadaan Kaun Intelektual
Sentralisme Vatikan membuat siapa saja yang menentang ajaran Roma harus ditertibkan. Selama pemerintahannya, Yohanes Paulus II mengekskomunikasikan Uskup Perancis yang ingin tetap kembali ke liturgi sebelum Konsili Vatikan II dan seorang rahib Sri Lanka yang ingin mengadopsi ajaran gereja dalam konteks Asia. Beberapa guru besar dant eolog juga dilarang untun mengajar. Alasannya, karena buku-buku mereka atau tulisan mereka banyak mempertanyakan ajaran-ajaran Katolik yang sudah baku. Bahkan melalui surat pastoralnya, Ex Corde Ecclesiae (1990), Paus minta pada para uskup untuk selalu mengawasi para dosen teologi yang mengajar di Universitas Katolik.
Sepuluh kontroversi ini harus dibaca dalam kerangka sejarah dan falsafah Karol Wojtyla. Bukan maksudnya untuk memaparkan sebuah keburukan, melainkan untuk menunjukkan betapa bergolaknya kehidupan gereja Katolik yang merupakan tantangan bagi kita semua.
SALAH SATU KUNJUNGAN TERLAMA
9 – 13 Oktober 1989 merupakan salah satu rentang waktu kunjungan terlama Paus Yohanes Paulus II, namun teramat singkat bagi domba-dombanya yang merupakan kaum minoritas di Indonesia. Kepada umat Katolik, Paus menyampaikan harapan-harapan melalui khotbah pada setiap misa. Kepada Indonesia, Paus berharap umat menjadi garam dan terang dunia. Di jakarta, is ingin agar orang Katolik menjadi putra-putri yang tangguh dan warga sejati Indonesia. DI Yogyakarta, Paus menginginkan agar gereja Katolik berinkulturasi dengan budaya setempat. Di Maumere, Paus mengingatkan tentang pentingnya berdevosi kepada Bunda Maria. Kepada Dili, yang situasinua selalu menghangat, ia berkata, “Tidaklah selalu mudah untuk saling memaafkan dan rujuk. Namun, apa pun pertentangan yang masih ada, kepahitan dan luka-luka yang dialami, sebagai umat Kristen, Anda harus bersikap memaafkan. Karena Anda juga akan dimaafkan”. Di Medan, Paus berpesan tentang pentingnya peranan kaum awam. Ia mengajak umat Katolik agar bekerja sama dengan kelompok lain, terutama umat mayoritas Isalam dalam membangun Indonesia, agar generasi berikutnya dapat hidup ditandai rasa hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ia memuji gereja Katolik Indonesia yang meski umurnya masih muda, namun sangat aktif dan dinamis.
Paus Yohanes Paulus II akhirnya meninggal dunia pada hari Sabtu, 2 April 2005, pukul 21.37 waktu Roma (Minggu, 3 April, pukul 3.37 wib) karena septic shock (antara lain akibat infeksi saluran kemih) dan gagal jantung. Paus yang seorang Servus Servorum (abdi dari para abdi Tuhan), semangat mahaabdinya terlihat saat jenazah Yohanes Paulus II dimasukkan ke dalam peti menjelang pemakamannya, peti yang sangat sederhana terbuat dari kayu cypress (sejenis pinus) tanpa hiasan, tanpa kilap dan polesan, kecuali lambang Kristus dalam abjad Yunani dan huruf M yang berarti Maria sang Bunda junjungannya, serta injil bersampul merah diatasnya. Tak punya pasukan maupun kekayaan, Paus Yohanes Paulus II pemimpin Takhta Vatikan yang secara geografis hanya 44ha, ketika meninggal didatangi 4 juta orang, 200 pemimpin dunia, ratu dan raja, disaksikan semiliar manusia lewat siaran langsung dari 137 jaringan televisi di 81 negara.
MASA LALU
Karol Jozef Wojtyla lahir pada 18 Mei 1920 di Wadowice, kota kecil di Polandia, dari pasangan Karol Wojtyla Senior (Polandia) dan Emilia Kaczorowska (Lithuania). Orang tuanya langsung menamainya persis nama ayahnya, dan dibaptis pada 20 Juni 1920 dengan nama Jozef seperti nama ayah Yesus dan tohok militer yang membawa Polandia menuju kemerdekaannya. Tercetus keinginan Emilia agar Karol kelak menjadi pastor. “Ada sesuatu di situ, ia akan jadi prang besar,” kata tetangga yang orang Yahudi.
Dengan rambut pirang, tubuh besar khas Slavia, mata biru, ia lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan dengan umumnya anak-anak sebayanya. Pembawaannya pun periang. Hanya terkadang orang dapat menangkap sirat kesedihan seorang anak yang telah menjadi piatu tanpa ibu ketika baru berumur sembilan tahun. Karol besar dalam pendampingan seorang ayah yang rela pensiun dini demi merawat istri yang askit sejak Karol masih berusia 7 tahun. Purnawirawan letnan itu sangat religius dan Karol mengaku ayahnyalah seminarinya yang pertama. Malam-malam saat terjaga dari tidur, ia sering mendapati ayahnya sedang tekun bertelut dalam doa. Sepanjang kehiduapan, doa menjadi ciri khas Karol. Dari ayahnya juga Karol mendapatkan bakat pandai bergaul, pandai menirukan orang dan berakting. Hari-hari remajanya dipenuhi drama, bahkan menulis naskah-naskah drama. Namun menjelanf usai SLTA, sering juga terlintas keinginan untuk menjadi imam. Itu tidaklah mengherankan sebab segala aktivitas, entah olahraga entah belajar, menurut kenangan temannya, Antoni Bohdanowicz dalam memoir-nya, “Setiap selesai mengerjakan PR suatu pelajaran tertentu, Lolek (panggilan kecil Karol) pasti menghilang ke kamar sebelah. Beberapa menit kemudia dia kembali bergabung. Suatu kali pintu kemarnya tidak tertutup rapat dan terlihatlah dia sedang berlutut dalam doa.” Teman sekelasnya yang lain, Danuta Michalowska, menempelkan karton di mejanya dengan tulisan: “Karol Wojtyla Calon Santo”.
CALON SANTO
Karol Wojtyla – Yohanes Paulus II, adalah calon Santo. Pada tanggal 1 Mei lalu, telah diadakan upacara beatifikasi terhadap Yohanes Paulus II yang dipimpin oleh Paus Benediktus XVI di Basilika Santo Petrus Vatikan sekitar pukul 10.15 waktu Roma. Puncak perayaan ditandai dengan pengangkatan tirai foto Paus Yohanes Paulus II di atas kain tapestry. Sr. Marie Simon-Pierre (49) dari Perancis, penderita Parkinson yang sembuh karena doanya kepada Yohanes Paulus II, juga hadir dan membawa salah satu tabung kecil darah dari Paus Yohanes Paulus II yang diambil di hari-hari terakhir hidupnya. Tabung darah ini kemudian menjadi relic penghormatan terhadap Yohanes Paulus II. Sembuhnya Sr. Marie Simon-Pierre dari pernyakit Parkinson adalah mukjizat yang menghantar Yohanes Paulus II ke tahap terakhir calon Santo. Sr. Marie bersama suster-suster lain berdoa kepada almarhum Yohanes Paulus II untuk kesembuhannya. Sr. Marie sembuh sekitar 2-3 Juni 2005, “Saya bangun pada pukul 4 pagi dan merasakan sesuatu telah berubah pada diri saya.” Tinggal satu mukjizat lagi, maka Man of all Faiths ini menjadi Santo.
(Kontribusi: Andrea, Tim Komsos Paroki Trinitas. Sumber: situs-situs online dan Intisari Seri Biografi – Dari Wadowice Sampai Worldwide)