Gereja Katolik tidak pernah melarang “mantan” Katolik untuk kembali menjadi Katolik. Sebaliknya, Gereja Katolik selalu terbuka kepada siapa pun yang pernah mengingkari kekatolikan, lalu ingin memeluknya kembali. Ia pasti akan disambut gembira oleh Gereja bila mau balik lagi ke rumahnya. Ia idak akan ditolak. Sebaliknya, Gereja akan membantunya, menuntunnya untuk melakukan proses rekonsiliasi. Ia akan mendapatkan pelayanan semestinya dari Gereja. Karena itu, para mantan Katolik idak perlu ragu atau takut bila mau kembali ke Gereja Katolik.
Namun, ia tidak bisa begitu saja masuk lagi ke Katolik. Tidak otomatis bagi mereka untuk bisa menerima hak dan kewajiban sebagaimana lazimnya umat Katolik. Ia tidak bisa langsung menerima Komuni suci, meminta pelayanan Sakramen-Sakramen Gerejani (misalnya Sakramen Perkawinan), atau mengambil bagian dalam kegiatan gerejani (contohnya menjadi pengurus Gereja). Ada hal-hal yang harus ia bereskan terlebih dahulu, terutama hal-hal yang menyangkut kesucian/pertobatan pribadi dan hal-hal yang bisa menjadi batu sandungan bagi umat. Setelah hal-hal ini dibereskan, ia diperkenankan kembali ke Gereja Katolik.
Apa yang harus dibereskan?
Pertama-tama, ia harus beres secara batin/rohani. Ia harus menunjukkan pertobatan. Ia mau menyadari kesalahan yang telah dilakukannya, yakni dengan keluar dari Gereja Katolik yang berarti ia telah mengingkari Kristus dan Gereja. Kesadaran bahwa ia telah ingkar janji untuk setia mengikuti Kristus dan menjadi anggota umatNya (Gereja) saat dibaptis akan mendorongnya memiliki niat yang suci. Niat untuk kembali ke Rumah Bapa lewat jalan kekatolikan.
Kesadaran akan kekeliruan masa lampau itu hendaknya ditunjukkan dengan tindakan konkret. Ia menyesal, lalu berbuat baik. Dalam rangka pemberesan dari “dosa-dosa” ini, biasanya Imam Paroki akan membantu mereka. Para gembala Gereja sangat terbuka baginya untuk berkonsultasi pribadi, pelayanan Sakramen Tobat, dan pembaruan janji baptis (dan perkawinan).
Berikutnya, ia harus memiliki niat yang tulus dan motivasi yang kuat. Ia memiliki alasan jelas dan mantap mengapa mau kembali lagi ke pangkuan Gereja Katolik. Kesungguhan hati dan keseriusan ini sangat penting karena kekatolikan bukan agama untuk coba-coba, main-main dengan agama atau sekedar pegangan (daripada tidak beragama). Menjadi Katolik membutuhkan komitmen, bukan sekedar komat-kamit. Motivasi dan kesungguhan hati tersebut bisa ia gali bersama dengan umat Katolik dan Imam Parokinya.
Karena itu, sangat dianjurkan agar para mantan Katolik mendekatkan diri lagi dengan umat Katolik, terutama mereka yang bisa menemui Imam Paroki. Lewat kedekatan dengan umat, komunio yang dahulu pernah dirusak akan dibangun kembali. Sementara audiensi dengan Imam Paroki memudahkannya untuk mengetahui hal atau tindakan apa saja yang harus dipersiapkan untuk menjadi Katolik lagi. Biasanya, Imam Paroki akan menggali latar belakang mengapa dahulu ia keluar dari Katolik dan mengapa sekarang mau kembali lagi menjadi Katolik. Imam Paroki juga akan memberikan petunjuk-petunjuk praktis yang diperlukan.
Apakah mantan Katolik akan dibaptis ulang?
Tidak. Baptisan Katolik hanya terjadi satu kali dalam hidup seseorang. Hal ini dilandasi oleh hakikat Sakramen Baptis yang bersifat materai, tak terbatalkan. Maka, baptisan akan tetap melekat sekalipun mereka keluar dari Gereja Katolik. Karena itu, mantan Katolik yang mau jadi Katolik lagi tidak akan dibaptis ulang. Hanya biasanya ia akan melakukan pembaruan janji baptis pada saat upacara penerimaan kembali ke dalam Gereja Katolik.
Apakah ada pelajaran agama Katolik lagi?
Tentu saja bagi mantan Katolik tidak perlu belajar agama lagi seperti dahulu ketika ia menjadi Katekumen. Paket pelajaran calon baptis tidak akan diajarkan lagi. Dengan demikian, ia juga tidak usah menunggu waktu hingga setahun untuk menjadi Katolik lagi. Namun, ada pembekalan atau penyegaran iman yang akan diperoleh agar jiwa dan semangat kekatolikan mereka hidup kembali. Paket “pelajaran agamanya” akan disesuaikan dengan keperluan. Jika ia memiliki hal-hal yang harus dibereskan (misalnya soap perkawinan), hal itu akan diurus terlebih dahulu. Intinya, imannya akan tetap dibina sehingga benar-benar siap dan pantas menjadi Katolik lagi.
Setelah membereskan hal-hal yang diperlukan dan dianggap siap/layak menjadi Katolik lagi, barulah ia akan diterima kembali ke dalam Gereja Katolik. Biasanya, ia akan diterima ke dalam Gereja Katolik dalam sebuah upacara penerimaan. Penerimaan itu sendiri bisa dilakukan dalam Ekaristi umat. Setelah Homili, ia akan berdiri di depan altar, lalu bersama-sama dengan umat, ia mengungkapkan iman kepercayaan Katolik (Janji Baptis dan Syahadar Para Rasul).
Apa “efek” dari upacara penerimaan itu?
Setelah diterima kembali dalam Gereja Katolik dalam sebuah upacara penerimaan, secara resmi ia menjadi umat Katolik lagi. Artinya, ia memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti umat Katolik yang lain. Ia terikat kembali dengan tanggungjawab sebagai umat Katolik dan berhak menerima kekayaan iman Katolik. Hal ini tampak, misalnya, dalam partisipasi mereka dalam kegiatan hidup menggereja dan dalam penerimaan Sakramen-Sakramen. Mereka bisa menerima Komuni Kudus, Sakramen-Sakramen Gereja, dan pelayanan gerejani non-sakramental (pemberkatan rumah, kunjungan, pemakaman). Dan bila keadaan memungkinkan, ia juga bisa berpartisipasi dalam kegiatan gerejani atau menjadi aktivis Gereja.
Apakah ada biaya?
Tidak ada biaya. Gereja Katolik tidak memungut biaya bila para mantan Katolik kembali lagi ke Gereja Katolik. Ia bisa memperoleh pelayanan gerejani dengan cuma-cuma. Semua berkat berasal dan tercurah dari Allah secara cuma-cuma. Karena itu, hal ini akan diberikan lagi dengan cuma-cuma kepada mereka yang membutuhkan pelayanan Gereja. Maka, hendaknya yang cuma-cuma itu tidak kita buat percuma. Sebaliknya, menjadi berkat bagi yang lain. Gereja Katolik sebagai institusi, dalam rangka menyelamatkan umatnya, berperan sebagai “guru” dan “ibu/bapa”.
Pertama, sebagai guru, Gereja tak henti-hentinya mewartakan kebenaran iman sesuai dengan contoh dan ajaran Yesus sendiri. Gereja terus mengartikan norma-norma moral dan mewartakannya kepada siapa pun yang berkehendak baik. Gereja terus berupaya supaya umat Kristiani bisa menghayati iman yang benar hingga sampai pada keselamatan yang Allah janjikan.
Begitu juga terhadap para mantan Katolik yang mau kembali. Gereja akan menyampaikan kebenaran dan mengupayakan agar norma-norma dan nilai-nilai kekatolikan bisa mereka hayati kembali. Mereka berhak menerima pengetahuan, pemahaman, dan ajaran Katolik demi perkembangan iman mereka.
Kedua, sebagai “ibu/bapa”, Gereja senantiasa mendekati mereka yang berada dalam kesulitan. Sesuai dengan teladan dan kerendahan hati Yesus, Gereja tidak akan meninggalkan mereka yang berada dalam kesulitan. Sebaliknya, Gereja mendekati, merangkul, dan melayani mereka. Dengan kesabaran, semangat persaudaraan, dan kasih sayang, saudara-saudari kita yang kesulitan akan Gereja berdayakan. Gereja akan mengasihi, mencintai, dan berjalan bersama mereka seperti seorang ibu/bapa yang menyayangi anak-anaknya. Relasi cinta seorang ibu/bapa terhadap anaknya itu tampak dalam keterbukaan Gereja menerima para mantan Katolik yang ingin kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Ia akan disongsong oleh Gereja, diperbaharui lagi ikatan perjanjiannya yang telah rusak, dan digabungkan kembali dalam sukacita bersama seluruh umat. Mereka akan ditempatkan kembali pada posisi yang sama dengan sesama umat.
Tidak ada cemoohan atau ejekan bagi mereka. Tidak ada pula sindiran atau cap “murtad” bagi mereka. Gereja menyadari bahwa semua orang bisa jatuh dalam kesalahan dan dosa, tetapi sedikit saja yang bisa bangkit dari dosa-dosanya. Maka, Gereja akan menyambut dan menerima para mantan Katolik ini dengan gembira.Kasus pindah agama merupakan peristiwa biasa dan lumrah, tetapi menarik untuk dibicarakan. Biasa dan lumrah karena pindah agama sudah terjadi sejak lama, sejak manusia ada dan institusi agama itu lahir. Hingga saat ini, peristiwa pindah agama itu tetap berlangsung, dan terus berlangsung hingga masa yang akan datang. Menarik karena dalam sebagian besar masyarakat dan lingkungan sosial kita, pindah agama merupakan peristiwa luar biasa, bahkan bisa menjadi aib yang harus disembunyikan.
Namun, kita harus memahami bahwa adalah hal biasa jika seseorang berpindah dari satu agama ke agama lain. Adalah wajar suatu agama kehilangan umat, sedangkan agama lain kedatangan umat baru. Karena itu, kita harus memahami bahwa pindah agama itu merupakan fakta tak terelakkan dalam masyarakat kita. Keragaman agama dan keyakinan serta kebebasan berkeyakinan di Indonesia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 memungkinkan peristiwa seseorang berpindah dari satu agama ke agama lain terus berlangsung. Sulit sekali bagi satu agama untuk membendung dan menghalangi hal ini, apalagi menghentikannya. Demikian pula bagi agama Katolik. Walau demikian, langkah-langkah pastoral antisipatif dan solutif untuk meminimalisasi kasus pindah agama ini harus selalu diupayakan.
Kita harus tahu kenapa peristiwa pindah agama ini terjadi. Kita harus memahami bahwa kondisi personal dan sosial ikut memberi andil seseorang berpindah agama. Hak dan kebebasan individu untuk beragama dan menghayatinya sesuai dengan kepercayaannya juga telah membuka peluang tiap orang untuk memilih agama yang pas bagi dirinya, tanpa intervensi pribadi lain. Hal ini diperkuat dengan keragaman agama di Indonesia yang memungkinkan seseorang untuk berpindah dari satu agama ke agama yang lain.
Pada dasarnya, semua agama itu bukan untuk main-main. Walaupun kita memiliki hak dan kebebasan beradama, halini tidak berarti kita boleh berganti-ganti agama atau mencoba dari satu agama ke agama yang lain. Hidup keagamaan membutuhkan komitmen, bukan coba-coba dan mana suka. Memilih agama juga bukan soal perasaan suka dan tidak suka, melainkan panggilan Tuhan. Suka-duka dalam menjalani kekatolikan harus dialami dan ditempatkan dalam keangka iman. Sukacita yang kita alami harus kita bawa sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas berkatNya. Sebaliknya, dukacita harus ktia hayati sebagai partisipasi kita dalam penderitaan Kristus agar kita bisa bangkit bersamaNya. Barangsiapa mau mengikuti Kristus harus siap memanggul salib dan menyangkal dirinya. Kurang bijak jika kita mau menjadi Katolik hanya kalau ada daya tarik dan sukacita semata, lalu menolak hal-hal yang tidak mengenakkan. Menjadi Katolik (dan juga agama lainnya) harus siap dengan segala konsekuensinya. Jika demikian, kita bisa menjadi umat Katolik yang taat yang berprinsip: “Sekali Katolik, Tetap Katolik.”
(Sumber: Catholic Forever – Mempertahankan Iman Katolik di Tengah Badai Zaman, Anfonsus Sutarno, Pr,
Fidei Press, 2009)