Featured Image Fallback

Bila Nabi Jatuh Cinta

/

Seksi Komsos

Sebuah refleksi baca buku The Fifth Mountain. “Aku berani menghadapi raja Israel, putri dari Sidon itu, dan Dewan Kota Akbar, tapi satu kata itu – cinta – menimbulkan kengerian yang amat sangat dalam hatiku.” Perkenalanku dengan Paulo Coelho terjadi pada tahun 2000, ketika seorang teman putri memberiku buku The Alchemist. Aku bisa tahu bagaimana rasanya menyelami alam pikiran orang lain, terutama pikiran Santiago, si gembala. Perasaan yang sama kurasakan kembali ketika membaca karya Paulo Coelho yang lain, The Fifth Mountain (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Dalam novel itu, Coelho mengajakku untuk merasakan dan menyelami pikiran dan terlebih-lebih perasaan Nabi Elia.

Ketika Elia – tokoh utama dalam novel The Fifth Mountain – bergulat dengan panggilan Tuhan untuk menjadi nabi-Nya, ia dihantar untuk berkenalan dengan seorang janda di Sarfat, yang disebut Akbar, yang memberikan tumpangan padanya. Puncak ketegangan perkenalan mereka adalah saat anak sang janda tiba-tiba meninggal dunia. Semua menyalahkan sang Nabi, yang menyembah Allah Yang Satu. Namun Elia berhasil memanggil anak lelaki itu dari kematiannya. Allah Yang Satu dimuliakan. Sang Nabi dan sang Janda pun jatuh cinta. Aku tidak ketinggalan jatuh cinta pada untaian kalimat romantisnya:

“…Tak seorang pun tahu perasaan yang dibangkitkannya di dalam hati wanita, bahkan nabi-nabi yang berkomunikasi dengan Tuhan pun tidak tahu.” (hlm. 162)

Wow! Kurang terasa romantisnya? Masih pada halaman yang sama:

”Sebelum kau menggoreskannya di lempeng itu, kedua matamu telah melihat kata itu tergores di hatiku.”

Paulo Coelho bukanlah orang pertama dan satu-satunya yang telah memfiksikan seorang Nabi. Jauh sebelumnya, para pujangga kuno Eropa dan Timur Tengah sejak abad ke-12 dan ke-13 telah membuat berbagai karya yang mencoba mereka-reka perikehidupan para nabi. Di abad ke-20 dan ke-21 pun, masih banyak penulis yang melakukan hal sama. Kisah para nabi bahkan juga diangkat ke layar putih dengan berbagai tema dan judul seperti film Ten Commandement (Kisah Nabi Musa yang diperankan oleh Charlton Heston, Hollywood, 1969) dan “The Message” (Kisah Nabi Muhammad SAW karya Anthony Quinn, Hollywood, 1982).

Walau pemfiksian kisah nabi telah banyak dilakukan, aku belum pernah menemukan satu penulis atau sineas pun yang mencoba mengangkat sisi-sisi manusiawi seorang nabi dengan aspek rohaniah kehidupannya secara seimbang. Biasanya, kalau tidak condong pada aspek rohaniah saja, fiksi macam ini cenderung terlalu kurang ajar dalam menempatkan nabi sebagai manusia. Dalam buku David & Betsheba yang ditulis oleh Graham Grene, Daud digambarkan sebagai playboy yang hobi meniduri istri orang tanpa menyinggung sama sekali kelebihannya sebagai orang pilihan Allah. Demikian pula dalam Yusuf & Zulaikha karya Taufiqurrahman al-Azizy yang terus menerus mencekoki pembaca dengan bualan-bualan cinta imajiner sang penulis tentang Yusuf dan Zulaikha. Bagiku, tulisan-tulisan macam itu menunjukan bagaimana seorang penulis bisa menjadi voyeur – ”tukang intip” – yang terobsesi untuk “mengobrak-abrik” sisi-sisi pribadi kehidupan para nabi. Para penulis itu tak lebih dari kumpulan paparazi yang gemar mengumbar privasi orang lain.

Inilah yang menjadi kelebihan Coelho dalam The Fifth Mountain. Hanya Coelho-lah yang mampu mengangkat aspek kemanusiaan dan sekaligus rohaniah seorang nabi secara santun dan seimbang. Tak pelak lagi bahwa hal ini merupakan sebuah daya tarik dahsyat bagi pembaca buku bermutu. Bahkan teman putri yang memberiku buku The Alchemist adalah seorang muslimah, menganut kepercayaan yang berbeda dengan Coelho dan aku. Apa yang menyatukan kami?

Kejujuran Cinta

Sejak kecil kita mungkin diajari untuk menempatkan Tuhan, Sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya secara proporsional. Keyakinan yang saya anut mengajarkan bahwa seorang nabi hanyalah manusia biasa yang tetap tidak bisa disejajarkan dengan Sang Pencipta, betapa pun hebatnya mereka. Hal tersebut yang kemudian membuat saya dapat dengan cepat menerima The Fifth Mountain sebagai bacaan yang menyenangkan tanpa harus mengeliminasi sikap sopan dan hormatku pada para nabi. The Fifth Mountain mengajak kita untuk berandai-andai, seperti apa kira-kira perasaan Elia ketika beliau terbuang dari tanah airnya; ketika ia berada di sebuah negeri yang asing dan memusuhinya; bahkan ketika beliau bertemu dengan seorang janda yang membuatnya jatuh cinta. Jatuh cinta adalah sisi manusiawi paling indah yang dapat dirasakan oleh setiap manusia, termasuk para nabi. Inilah yang menjadi kesamaan antara Coelho, aku dan temanku tadi.

Sayangnya, banyak orang yang menabukan masalah cinta untuk dibicarakan. Apalagi jika objek pembicaraan itu ialah seorang nabi yang jelas memiliki sifat kudus (kudus dalam bahasa Ibrani kadosh, yang artinya ”dikhususkan bagi Allah”, memiliki sifat ilahi). Namun, aku ingin mengingatkan bahwa beberapa bagian dalam Kitab Suci pun memuat kisah cinta para nabi, seperti kisah Adam dengan Hawa, Abraham dengan Sarah dan Hagar, hingga kisah kesetiaan cinta istri Ayub ketika suaminya mendapat ujian berat dari Allah.

Cinta Elia yang digambarkan Coelho dalam novel ini tak terbatas pada hasrat seorang lelaki pada perempuan semata. Coelho juga menggambarkan bagaimana kasih sayang Elia pada anak sang janda setelah ibunya meninggal. Ini menunjukan bagaimana Coelho mencoba memberikan gambaran cinta sejati seorang manusia pilihan dalam novelnya. Dengan lugas dan teratur, Coelho mampu melibatkan pembaca dalam pergulatan alam pikiran sang nabi dari perspektif yang sangat manusiawi tanpa menyampingkan aspek kekudusannya. Pembaca diajaknya untuk ikut merasakan dan ‘menikmati’ bagaimana jika seandainya kita berada dalam posisi Elia. Pembaca sentimental mungkin akan menangis membaca beberapa bagian dalam buku ini, sementara pembaca yang temperamental akan marah, lalu yang dialektikal akan berpikir sepanjang malam, dan yang bodoh tak akan mau baca!

Sejujurnya aku akui bahwa ada beberapa bagian dalam The Fifth Mountain yang tidak aku sepakati. Namun hal itu tak mengurangi keasyikanku dalam membaca novel ini. Justru hal tersebut dapat memicu dialektika aku untuk terus bertanya dan merenungi kemanusiaan dan panggilan seorang nabi. Kita diajak untuk berandai-andai; “hmm… seperti apa ya, bila seorang nabi jatuh cinta?”

 

Bila Aku Jatuh Cinta

Band Nidji pernah melagukan:

Bila aku jatuh cinta, aku mendengar nyanyian 1000 dewa-dewi cinta,

menggema dunia.

Bila aku jatuh cinta, aku melihat matahari kan datang padaku dan  memelukku  dengan sayang.

Bila aku jatuh cinta, aku  melihat  sang  bulan kan datang padaku

dan  menemaniku, melewati dinginnya mimpi.”

Lirik yang begitu puitis, namun sungguh tepat. Jatuh cinta adalah pengalaman yang kuat. Namun jatuh cinta janganlah dipandang secara negatif. Bahkan pengalaman cinta merupakan dukungan yang kuat untuk mencintai sesama kita. Yesus sendiri bersabda: ”Bagaimana kamu akan mencintai Bapamu yang tak kelihatan kalau kamu tidak bisa mencintai yang kelihatan”. Namun yang lebih menarik dari pengalaman jatuh cinta adalah energi yang terlibat di dalamnya. Orang yang jatuh cinta rela dan mampu melakukan hal-hal menakjubkan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Elia berani mengajak sang janda dan anaknya untuk pergi meninggalkan Akbar. Sementara si janda rela untuk mempelajari hal-hal baru, seperti menulis huruf-huruf Byblos dan melukis.

Cinta juga membebaskan. Janda itu tahu bahwa Tuhan adalah hal yang paling penting bagi Elia, namun toh ia tetap berani mencintai Elia. Ia memiliki kebebasan, kemampuan untuk merasakan apa yang dihasratkan hati, tanpa perlu memikirkan pendapat orang-orang lain.

“Dia tidak membutuhkan izinnya untuk merasa kehilangan, untuk memikirkannya setiap saat, untuk menunggunya pulang malam, dan untuk mengkhawatirkan rencana-rencana yang disusun orang-orang untuk mencelakainya.” (hlm. 119)

Inilah energi kreatif, daya dorong untuk menciptakan hal-hal baru, menemukan terobosan-terobosan serta mencari celah-celah. Seperti pengalaman si gembala Santiago dalam The Alchemist, ketika kita jatuh cinta ”seluruh alam semesta akan membantumu”. Ini tentu saja masuk akal, sebab pada saat itu, seluruh energi terfokuskan pada satu hal, yakni kehidupan orang atau hal yang kita cintai.

Selain kisah cinta Elia, novel ini juga mengangkat pergulatan sang nabi ketika diberi kebebasan untuk memilih waktu dan tempat untuk mempertunjukkan mukjizat yang hendak dianugerahkan padanya. Apakah di hadapan bangsa Israel, bangsanya sendiri yang telah mengusirnya, atau di hadapan bangsa Fenisia, bangsa asing yang bersedia menerimanya dari pengasingan. Beberapa pergulatan lain pun dipaparkan secara mendalam dan rinci dengan terus menerus mempertunjukan bagaimana sisi manusiawi sang nabi dijalin dalam satu ikatan dengan kelebihan rohaniah untuk menerima wahyu secara kontinyu.

Salah satu adegan yang dramatis adalah ketika Akbar diserang oleh tentara Asyur dan seluruh kota diporak-porandakan. Di tengah lelap tidurnya di malam hari, pintu rumahnya didobrak dan ia dihantam jatuh ke tanah. Elia pun mendapati dirinya ditelikung oleh tentara-tentara Asyur. “Pada saat itulah Elia mendengar jeritan perempuan dari ruang bawah. Dengan kekuatan melebihi tenaga manusia, Elia mendorong kedua prajurit yang menahannya dan berusaha bangkit berdiri…” (hlm. 209) Tapi lagi-lagi Elia “dihantam, prajurit menendang kepalanya, dan dia pun pingsan.” Setelah siuman, saat diseret oleh para prajurit, ia hanya bisa berdoa: “Tuhan, perbuatlah padaku sekehendak-Mu, sebab aku telah mengabdikan hidup dan matiku untuk kemuliaan nama-Mu…tapi selamatkanlah perempuan yang telah memberikan tumpangan padaku!”

Pertanyaan bagiku dan mungkin bagi kita semua sekarang ini: apakah ketika jatuh cinta, kita berani untuk keluar dari diri kita sendiri, lebih memilih supaya orang lain memiliki hidup, ataukah kita malah diam, berkubang, hanya terkungkung di dalam diri? Sebagai orang-orang yang dipanggil (dikuduskan bagi Allah), kita bertujuan agar banyak orang mempunyai hidup dalam segala kelimpahan. Maka tepatlah Coelho bila dia menggambarkan Elia yang dibenturkan pada bencana demi bencana, sebab memang mengikuti Kristus bukan berarti cari aman, bukan cari perlindungan, tapi berani menghadapi tantangan. Untuk itu, kita harus berani “keluar” dan membagikan hidup kita. Inilah sebuah way of life, bukan life-style; sebuah jalan hidup yang ditawarkan bagi siapa saja yang hendak mengikuti jejak Kristus; sebuah pilihan yang hendak membawa hidup yang berlimpah bagi orang di sekitarnya. Maka, mengikuti jejak Kristus berarti menjadi orang yang memberikan hidup yang melimpah bagi orang lain (Yoh 10:10). Kita ditantang untuk berani keluar, membagikan hidup kita, entah apapun bentuknya.

Dan inilah konsekuensinya bila seorang nabi jatuh cinta….jatuh cinta pada Allah yang memanggilnya.

(Kontribusi: Romo H. Managamtua Simbolon, SJ, Pamong Seminari Menengah St. Petrus Kanisius, Mertoyudan, Jawa Tengah)

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Jiwa Keibuan Santa Klara

/

Seksi Komsos

Judul Buku: Santa Klara, Guru Hidup Kristiani Pengarang: Fr. Salvatore M. Sabato, OFMConv. Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Tahun terbit: 2012 Isi: 108 halaman Fr. Salvatore M. ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Bekal Katekis Pemula

/

Seksi Komsos

Judul Buku: Menjadi Katekis Volunter Penulis: St. Hendro Budiyanto Penerbit: Kanisius, 2011 Isi buku: 128 halaman Katekese adalah pengajaran, pendalaman, dan pendidikan iman agar seorang ...
SELENGKAPNYA