Featured Image Fallback

B B M

/

Seksi Komsos

Ada sepenggal cerita pendek dari epik/wiracarita Ramayana yang sudah dikenal sekian puluh abad yang lalu. Epik ini datang dari budaya Hindu di kaki pegunungan Himalaya ke Pulau Jawa lalu berkembang menjadi bagian budaya Jawa melalui media wayang. Di situ dikatakan bahwa Rama Wijaya (yang tak lain adalah titisan Dewa Wisnu) sedang memberikan petuah kepada Raja Alengka yang baru, Gunawan Wibisana. Adapun isi petuah itu berupa delapan butir kata sebagai  delapan pegangan dalam kehidupan. Tiga kata diantaranya, yakni: Bulan, Bintang dan Matahari (BBM). Ada tiga sifat dari BBM, yakni:

Berdaya guna: Mereka memberi faedah atau manfaat kepada orang lain. Bulan (Chandra): menciptakan suasana teduh, damai, cinta, sabar dan indah. Bintang (Kartika): memberi arah atau menjadi teladan. Matahari (Surya): menerangi, memberi kehangatan, menghidupkan dan menumbuhkan. Yesus juga berguna bagi orang lain bukan? Disini, kita akan melihat tujuh mukjijat yang dibuat Yesus dari Kana sampai Betania.

Berdaya makna: Setiap manusia bisa bermakna ketika dia bisa berbagi. Donato ergo sum! Matahari berbagi panasnya, bulan berbagi cahayanya, bintang berbagi kerlap kerlipnya. Disinilah, kita akan melihat tujuh nubuat yang dikatakan Yesus dari desa Sikhar sampai Yerusalem.

Berdaya tahan: Bulan, Bintang dan Matahari setiap hari bersinar, entah tanggal tua atau tanggal muda, entah sedang sehat atau sakit, entah diterima atau ditolak. Disinilah kita akan melihat tujuh wasiat Yesus di atas salib di puncak gunung Kalvari.

Tujuh Kalimat Wasiat Sebuah Bagian dari “Bulan Bintang dan Matahari”

Dalam banyak tradisi agama monoteis, soal angka tujuh, banyak ditampil-kenangkan sebagai lambang kepenuhan, keutuhan juga kesempurnaan. Misalnya, dalam agama Islam: Setiap orang yang naik haji ke Mekkah, harus mengelilingi Kaba’ah sebanyak tujuh kali, dan mereka memiliki tujuh pintu neraka, tujuh lapisan surga dan tujuh nabi yang mereka hormati secara khusus, seperti Nabi Muhammad setiap Jumat dan Nabi Isa setiap hari Minggu. Dalam agama Yahudi: setiap hari ketujuh, mereka hormati sebagai ‘Harinya Tuhan’ (Sabat), sehingga mereka tidak banyak melakukan pelbagai pekerjaan rutin. Orang-orang Buddha pun mengenal istilah tujuh cakra manusia dan tujuh langkah meditasi. Bukankah warna pelangi juga ada tujuh, mejikuhibiniu, ada juga istilah langit ketujuh, ada tujuh hari dalam satu minggu, ada tujuh Sakramen dan bahkan setiap manusia ternyata memiliki tujuh lubang dalam tubuhnya. Dan, pada kali ini, kita akan melihat, ternyata Yesus di atas salib, menyatakan tujuh kalimat wasiat-keramat yang tercatat-ketat oleh Injil:

Pertama, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34)

Ucapan ini menunjukkan keagungan jiwa-Nya untuk “BER-BESAR HATI”. Pada saat yang paling menyengsarakan, Ia mengajak kita  memiliki cinta kasih ilahi kepada orang lain, bahkan terhadap musuh. Sungguh cinta yang sangat mengherankan dan tak tergoyahkan, bahkan di tengah-tengah kebiadaban mereka. Ia ingin mengajak kita mempunyai banyak cinta dan pengampunan.

Kedua, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus.” (Lukas 23:43)

Ucapan Yesus yang kedua di kayu salib ini, merupakan sikapnya yang “BER-MURAH HATI” terhadap ucapan salah seorang penjahat, bernama Dismas, yang turut disalibkan dengan-Nya. Dengan itu, kita bisa melihat bahwa Yesus sungguh mencintai para pendosa yang bertobat. Dia datang sebagai Tuhan yang penuh belas kasih dan pengampunan yang besar. (Bdk: 1 Yohanes 1:9).

Ketiga, “Ya Bapa ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (Luk 23:46)

Disini Yesus mengutip Mazmur 22:2, dan dengan demikian menegaskan kembali  sifatNya untuk “BER-PASRAH”, kesadaran-Nya yang penuh tentang identitas-Nya sebagai Anak Allah. Sepanjang hidupNya, Yesus selalu mempercayakan dirinya ke dalam tangan BapaNya. Di akhir hidupNya, Ia pun menyerahkan diriNya kepada Bapa. Ucapan tersebut sendiri bersumber dari keyakinan-Nya bahwa melalui kematian, Ia akan datang kepada Bapa.

Keempat, “Eloi, Eloi, lama sabakthani?” (Mrk 15:34, Bdk: Mat 27:46)

Kalimat dalam bahasa Ibrani ini berarti, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Hal ini merupakan sebuah seruan yang menyayat hati. Ucapan perih ini mengikuti sebuah peristiwa ajaib, “Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga” (Markus 15:33). Selama hidupNya, Yesus tahu apa artinya ditinggalkan, begitu pedih, perih. Disinilah, kita diajak untuk lebih “BER-TERUS TERANG” terhadap Tuhan secara pribadi, terlebih ketika kita ada dalam pengalaman salib.

Kelima, “Ibu inilah, anakmu!” Anak, Inilah ibumu!” (Yoh 19:26-27)

Ucapan Yesus ini dialamatkan pertama-tama kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu”! Dikatakan dalam Kitab Suci, “Dekat salib Yesus, berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena” (Yoh 19:25). Dan terlebih lagi ketika Yesus melihat murid yang dikasihiNya, juga hadir di dekat salib. Dengan kata lain, Yesus mengajak kita “BER-PEDULI” terhadap keluarga kita.

Keenam, “Aku haus!” (Yoh 19:28)

Tampaklah Yesus juga sangat membutuhkan cinta kita. Bunda Teresa dari Calcutta mengatakan, hausNya tak pernah berkesudahan. Disinilah, Yesus mengajak kita untuk “BER-SOLIDER”, Yesus yang kerap hadir lewat sesama kita yang haus: yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir, juga membutuhkan cinta kasih kita.

Ketujuh, “Sudah selesai” (Yoh 19:30,“Tetelestai”)

Jauh sebelum menjalani penderitaan di kayu salib, Yesus berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Dan, kalimat inilah bukti nyatanya, purna karyanya sebagai utusan Allah yang “BER-TANGGUNG JAWAB.” Bukti cintanya kepada kita. Ini merupakan sebuah pekik kemenangan. Dengan berkata demikian, Ia menegaskan, bahwa Ia telah menyelesaikan seluruh tugas kemesiasan–Nya secara utuh dan penuh. Bahwa Ia sudah menerima secara penuh hukuman ilahi atas segala dosa dan kejahatan umat manusia. Karena itu, bagi mereka yang percaya kepada Kristus, tidak ada satu dosa pun tersisa untuk dihukum oleh Allah. Ia juga mengajarkan bahwa hidup pada hakekatnya ialah pengabdian sepenuh hati dan seutuh hati kepada Allah sang Pemberi hidup.

Pastinya, dari ketujuh kalimat wasiat Yesus, kita diajak semakin menghayati penggalan pernyataan ini,”benar, mengikutiMu bukan langit biru yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan penuh lika-liku, karena jalan itu pula yang pernah Kau lewati…..”

Bicara soal “7”: Selayang Pandang…..

Bicara soal angka tujuh, saya jadi teringat-kenang buku legendarisnya Stephen Covey, “Seven Habits” yang saya baca ketika masih duduk di bangku filsafat di bilangan Rawasari Jakarta Pusat. Ia mencandra, ada tujuh kebiasaan manusia yang berkualitas. Ternyata, dalam Injil juga banyak dimensi yang diangkat yang terkait lekat dengan angka “7”. Beberapa serpihan kecil saya angkat di sini:

Yesus dalam hidupNya (yang dicatat oleh Yohanes, murid yang dikasihiNya), membuat tujuh mukjizat. Mukjizat pertama, terjadi dalam sebuah keluarga di Kana, dalam sebuah peristiwa perkawinan. Mukjijzt terakhir juga terjadi dalam sebuah keluarga di Betania, dalam sebuah peristiwa kematian. Secara lengkap, mukjizat Tuhan, dalam injil Yohanes, yakni: Yoh 2:1-11; Yoh 4:46-54; Yoh 5:2-18; Yoh 6:1-15; Yoh 6:16-21; Yoh 9:1-41; Yoh 11:1-46).

Yesus juga memaparkan tujuh ajaran pokok (Yoh 3:1-21; Yoh 4:4-42; Yoh 5:19-47; Yoh 6:22-59; Yoh 7:37-44; Yoh 8:12-30; Yoh 10:1-21).

Yesus pernah juga menjelaskan perihal Kerajaan Surga sebanyak tujuh perumpamaan dalam sebuah bab di Injil Matius (Bdk. Mat 13). BagiNya surga itu seperti seorang penabur, seperti ilalang di tengah gandum, seperti biji sesawi, ragi, harta terpendam, mutiara indah, dan jala/pukat yang penuh ikan.

Yesus juga memperkenalkan diriNya dalam tujuh pernyataan diri. Setiap ‘Akulah’ adalah deskripsi yang Yesus berikan atas diri-Nya sendiri dan ditulis dalam injil Yohanes. Ketujuh pernyataan ini (Akulah Roti, Akulah Terang Dunia, Akulah Gembala yang Baik, Akulah Pintu, Akulah Jalan – Kebenaran dan Kehidupan, Akulah Pokok Anggur yang benar, dll) membantu kita untuk mengerti siapa sesungguhnya Yesus yang disebut Kristus itu.

Ternyata di lain matra, ada juga “Seven Habits” yang membuat kualitas manusia menjadi menurun.  Tujuh kebiasaan yang saya sebut sebagai “tujuh arus dosa” ini juga mungkin yang membuat Maria dari Magdala harus dibebaskan dari tujuh roh jahat yang ada di hatinya (Lukas 8:2). Mengacu pada Katekismus Katolik, pasal 6: “Para Malaikat dan Iblis”, dikatakan ada beberapa dari malaikat, membangkang dan segera dikirim ke neraka: Inilah malaikat-malaikat neraka atau yang kerap kita sebut sebagai para iblis. “Maka timbullah peperangan di sorga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapat tempat lagi di sorga.” (Wahyu 12:7-8). Dan, Alkitab seringkali berbicara tentang iblis sebagai orang sungguhan. “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah.” (Wahyu 12:9).

Sebetulnya ada tujuh roh jahat, malaikat neraka, yang ada dan berdiam dalam hati setiap pendosa. Mereka itu adalah: Lucifer untuk orang yang sombong. Mamon untuk orang yang tamak dan mata duitan. Asmodeus untuk orang yang jatuh pada dosa seksual. Satan untuk orang yang pemarah. Beelzebul untuk orang yang rakus-serakah. Leviathan buat orang yang iri hati. Belphegore untuk orang yang suka malas. Akibat jika para malaikat neraka ini hidup dalam hati kita, yakni: membunuh hidupnya rahmat Tuhan dalam diri kita.

Dosa sendiri, menurut Katekismus pasal 10, adalah “pikiran, perkataan, keinginan, dan perbuatan atau sikap acuh yang dilarang oleh hukum Allah”. Kita bersalah atas suatu dosa, jika:

a. kita menyadari bahwa kita melanggar perintah Allah, dan

b. kita dengan atas kemauan sendiri tetap melakukannya.

Disinilah kita melihat kembali 7 arus dosa itu, yakni:

Arus pertama, adalah kesombongan. Lihatlah, legenda sederhana kisah sang Lucifer. Lucifer ini pintar bermain musik, piawai memimpin koor dan elegan bernyanyi. Tapi ternyata kelebihannya ini juga menjadi kelemahannya, bukan?

Arus kedua, kemarahan. Lihatlah sepenggal kisah kakak beradik, Kain  Habel dalam Kej 4:1-16, “tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram (ay 5).”

Arus ketiga, kemalasan. Lihatlah kisah asmara terlarang antara Raja Daud dan Batsyeba binti Eliam, isteri Uria orang Het itu (2 Samuel 11:1-27).

Arus keempat, iri hati. Ingatlah kisah populer dalam Injil Lukas 15: 11-32 tentang anak yang hilang. Ternyata bukan hanya anak bungsu yang hilang, tapi anak yang sulung juga hilang karena hatinya penuh iri. Atau tentang Yusuf, anak bungsu yang disayang ayahnya, ternyata dibuang oleh kesepuluh kakaknya yang iri hati padanya, juga bisa menjelaskan arus keempat ini dengan lugas dan jelas.  Atau tentang orang Farisi dan Saduki yang iri terhadap Yesus.

Arus kelima, kerakusan. Sebuah film kartun animasi dari negerinya Oshin, ‘Doraemon’ dengan marsnya, “aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak sekali” menggambarkan secara tidak langsung tentang manusia yang rakus, yang tidak pernah bisa berkata cukup.

Arus keenam, ketamakan. Sekarang banyak terdengar istilah trendi, cewek matre atau cowok borju, UUDUjung Ujungnya Duit. Atau, we can not do it without du it”. Padahal sejak dulu, Yesus mengingatkan, dalam  Matius  19: 24, “Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Arus ketujuh, yakni percabulan. Maraknya praktek seks bebas, budaya pornografi dan pornoaksi, aneka kasus perkosaan dan pelecehan seksual menjadi contoh nyata menjamurnya arus dosa yang ketujuh ini.

Pepatah Latin mengatakan, “homo est animal symbolicum, manusia adalah makhluk yang penuh tanda.” Ada STNK, STTB, KTP, tanda tangan, tanda mata, tanda kasih, tanda tangan, tanda baca, dsbnya, Dan, ternyata, setiap pendosa pastilah juga mempunyai tujuh tanda dosa, yakni:

Tujuh tanda orang sombong: tidak solider, tinggi hati, membesar-besarkan diri melebihi kualitasnya, egois, keras kepala, suka menghina/merendahkan orang lain, serta tidak peduli nasehat.

Tujuh tanda orang pemarah: tidak sabaran, mudah berkeluh, ingin membalas dendam, tidak mau memaafkan, mudah membuat orang lain geram/kesal/marah, muram karena merasa tersingkir/disingkirkan, serta mudah gusar/tidak tenang.

Tujuh tanda orang malas: selalu terlambat, tidak bergairah, mudah putus asa, sukar diberi semangat, murung, tidak mantap/plin plan, dan sulit berkomitmen.

Tujuh tanda orang iri hati: mudah berbohong, kikir/pelit, kurang berbesar hati, suka melempar fitnah, suka bergosip/berdesas-desus, senang jika orang lain sedih dan sedih jika orang lain senang, serta mudah curiga.

Tujuh tanda orang rakus: makan/minum berlebihan, rakus, mudah membuang-buang makanan, hanya berpikir dan bicara soal makan, mengeluhkan soal makan, tak memikirkan orang lain/mengabaikan orang lain di meja makan, serta suka membual, omong kosong, dan riuh.

Tujuh tanda orang tamak: tidak mau berbagi dengan orang lain, tidak solider, merugikan orang lain, mementingkan diri sendiri, hanya berorientasi pada hal duniawi,suka menimbun kekayaan, dan pelit.

Tujuh tanda orang cabul: tidak mengendalikan khayalan, hanya mencari kenikmatan tubuh, suka mendengar/melihat hal-hal cabul, mengucap kata-kata kotor, pelecehan seksual, pemaksaan seksual serta sulit terbuka pada bapak rohani/bapak pengakuan.

Setiap orang dilahirkan dalam dosa. Ini maksudnya adalah setiap orang mewarisi sifat-sifat manusiawi yang lemah, terpisah dari rahmat yang dulu meliputinya sebelum Adam jatuh dalam dosa, dan berada dalam kuasa kematian. Saya kerap menyebutnya dengan istilah, “Original Sin”. (Bdk. Tulisan Paus Paulus VI, Kredo Umat Allah, paragraf 16).

Dan, sebetulnya ada tujuh karakter dosa yang bisa kita amati: 

Pertama, dosa itu seperti cinta, dari mata turun ke hati: Bukankah dosa juga banyak datang dari hal-hal yang kecil dan sederhana?

Kedua, dosa itu juga selalu punya buah-buahnya: Bukankah hidup kita seperti echo (gema) – ada vibrasi/auranya? Jika kita berbuat dosa, maka juga akan tampak dalam buah-buahnya bukan? Ingatlah pepatah sederhana dari negerinya Pangeran Charles, yang bilang, ”roots creates the fruits”, bukankah akar menentukan buahnya? Kalau hati kita penuh dosa, maka sangat bisa jadi segala tindak-tanduk kitapun berbuah dosa juga bukan?

Ketiga, dosa itu katanya seperti kebiasaan, ya seperti bunyi pemeo lama – bukankah kita bisa karena biasa? Aristoteles mengatakan, kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang.

Keempat, dosa itu kerap terkait dengan ’sensuum’: penerapan indera. Bukankah dengan panca indera kita, dengan tubuh, mulut, tangan, atau bahkan pikiran, kita mudah jatuh pada dosa?

Kelima, kadang dosa juga datang seperti iklan: Awalnya memikat tapi kerap akhirnya menjerat bukan? Soal selingkuh (yang kadang diartikan sebagai, ”selingan indah –keluarga utuh), bukankah banyak keluarga yang hancur karena ini?

Keenam, dosa katanya pun ibarat harta terpendam, seperti ilalang di tengah gandum, duri dalam daging, dosa selalu mengintip di tengah cinta, tidak enak bukan?

Ketujuh, dosa itu juga punya banyak jenisnya bukan? Ada macam-macam jenis dosa bukan? (Gal 5:19-21). Mengingat betapa banyaknya karakter dosa ini, bukankah wajar jika Paulus menegaskan, “sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima?” (2 Korintus 6:1).

Dosa kerap kali menggoda kita, bukan? Apakah godaan itu? Godaan adalah daya tarik untuk berbuat dosa. Kita juga bisa mengalahkan godaan, karena godaan mengundang kita, tetapi tidak memaksa kehendak bebas kita; selain itu, Allah selalu siap sedia menolong kita dalam perjuangan itu. “Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya. (1 Korintus 10:13). Apa yang mesti kita lakukan kalau tergoda? Pertama minta kepada Allah untuk menolong, dan lalu menyibukkan diri melakukan hal yang lain yang jauh lebih positif. “dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang Jahat.” (Matius 6:13). Kita juga dapat menghindari godaan-godaan, dengan cara menghindari orang-orang, tempat-tempat, dan hal-hal yang dapat dengan mudah menjerumuskan kita ke dalam dosa dan mintalah rahmat kepada Allah. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Korintus 12:9)

Selain itu, ternyata juga ada tujuh jenis sikap dasar melawan godaan.

Pertama, ’Bersyukur’, bukankah ketika hati penuh syukur, hidup akan terasa lebih damai?

Kedua, ’berhening’, bukankah ketika kita mau hening, hati kita lebih jernih mendengar suara Tuhan?

Ketiga, ’Berkata Positif’, tahu ‘kan betapa dashyatnya kekuatan sebuah kata?

Keempat, ’Berbagi’, bukanlah lebih indah jika kita mudah berbagi?

Kelima, ’berbesar hati (mengampuni), manusia kadang khilaf, persis disitulah kita diajak belajar mengampuni juga, bukan?

Keenam, ’bertobat’’, artinya metanoia: berbalik pada Tuhan, mau?

Ketujuh, berefleksi tentang kematian’, bukankah ketika kita berani berefleksi tentang kematian, kita semakin mencintai  Tuhan? “tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal melulu dari Allah, bukan dari diri kami” (2 Kor 4: 7).

Akhirnya, bersama Bunda Maria bin Yoakim, binti Anna, kita juga bisa mengingat ada tujuh  dukacita Maria, sebagai Mater Dolorosa, Bunda yang Berdukacita, yakni: – Nubuat simeon – Lari ke Mesir – Yesus hilang di bait Allah  – Menangisi jalan salib Yesus – Memandang wajah   Yesus di kayu salib – Memeluk jenasah Yesus     – Penguburan Yesus. Selain itu, kita juga  bisa memetik tujuh jurus cinta, yang dia tunjukkan:

Pertama, Ia senantiasa bersyukur (Luk 1:46-47), “Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukacita karena Allah penyelamatku”.

Kedua, Ia bersadar diri (Luk 1:38a), “Aku ini adalah hamba Tuhan”.

Ketiga, Ia berpasrah (Luk 1:38 b), “Jadilah padaku menurut perkataanMu” . Kerap orang yang pasrah membuat karya Allah lebih mudah dilaksanakan.

Keempat, Ia bermisioner (Luk 1:39), “berangkatlah Maria dan bergegas menuju sebuah kota di pegunungan Yehuda”. Maria datang dari sebuah tempat di sekitar Galilea, kemudian melahirkan Yesus di sebuah Betlehem, mengungsi ke Mesir, kembali ke Nazareth dan akhirnya menjalani masa tuanya bersama Yohanes rasul di Bukit Maria, Efesus Turki.   Kata ‘Misioner’ berasal dari bahasa Latin: Mittere: pergi, diutus). Kita  diajak  untuk mau pergi diutus juga.

Kelima, Ia berpeduli (Yoh 2:3), “Yesus, mereka kehabisan anggur”. Kepedulian dalam bahasa Inggris lebih diartikan sebagai “caring” (care=cor=hati), lebih tepat sebetulnya diartikan sebagai perHATIan.

Keenam, Ia berhati-hati (Lk 2:51), “Maria menyimpan semuanya dan merenungkannya dalam hati”. Maria adalah simbol (wo)man behind the scenes. Dia tidak banyak muncul, tapi kemunculannya selalu berarti, a significant sign.

Ketujuh, Ia bersabar (Yoh 2:5), “Apa yang dikatakanNya kepadamu, buatlah itu”. Ingatlah pernyataan Adel Bestravos, “Patience with others means love, patience with self means hope, patience with God means faith.

Bagaimana dengan kita sendiri? Kita mau apa sekarang?

(Kontribusi: Romo Jost Kokoh Prihatanto, Pr, Paroki Salib Suci, Cilincing, Jakarta Utara)

Artikel Serupa

Trinitas News: Romo Reynold Agustinus Sombolayuk, OMI

/

Felice

Hai Sobat Trinitas !! Yuk kenal lebih dekat dengan Pastor Paroki kita yang baru yaitu Romo Rey. Mungkin diantara sobat ada yang belum tahu. Yuk ...
SELENGKAPNYA