Featured Image Fallback

Ambillah dan Bacalah

/

Seksi Komsos

Agustinus bimbang luar biasa sejak berjumpa Ambrosius.  Ia ingin dibaptis dan menjadi Kristiani; namun merasa tidak mampu melepaskan diri dari ambisi kesuksesan duniawi serta nafsu seksual.  Suatu ketika ia berada di sebuah taman bersama beberapa sahabatnya.  Tatkala menyendiri, terdengar suara bocah berulang-ulang dari sebuah rumah, “Tolle lege – ambillah dan bacalah!”

Merasa seruan itu ditujukan baginya, ia segera menemui Alypius, sahabatnya, lalu membuka Kitab Suci.  Dengan tenang ia membaca ayat yang pertama kali ditemukan: “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.  Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:13-14).  Begitu selesai dibacanya, segala kebimbangannya sirna.

 

MERENUNGKAN ATAU MENAFSIRKAN?

Kita mengamini Kitab Suci adalah Sabda Tuhan.  Namun, kita masih asing dengan Kitab Suci.  Ada satu alasan umum untuk tidak menyentuh Kitab Suci.  Takut salah menafsirkan.  Takut sesat.

Suatu kali saya mendampingi retret 8 hari (Octiduum).  Saya dipercaya mendampingi 5 orang, salah satunya seorang pria tengah baya.  Lahir dan besar di Hong Kong lalu menetap di Toronto, ia adalah aktivis sebuah denominasi/Gereja Protestan.  Sebut saja namanya Mr. Liu.

Setiap hari saya bertemu masing-masing retretan sekitar 1/2 jam untuk berbincang (colloquium).  Diharapkan retretan menyampaikan permenungan pribadi, yang dialami di hadapan Tuhan dalam doa.  Apakah merasa dekat atau jauh dengan Tuhan, mengalami hati yang berkobar penuh inspirasi atau malah sepi dan kering.  Perndamping mendengarkannya, lalu mengusulkan poin renungan agar retretan bisa masuk lebih dalam.

Yang menarik dari Mr. Liu ialah bukan hanya waktu yang selalu menjadi hampir satu jam, tetapi juga dalam setiap pertemuan dia datang membawa beberapa lembar kertas berisi tulisan tangan untuk berkotbah kepada saya.  Rupanya waktu renungan pribadi setiap hari (setidaknya 4 x 1 jam/hari) digunakan untuk membuat “kotbah yang baik” buat saya.  Tafsiran yang dia bikin acapkali begitu harafiah.  Kotbah semacam ini terjadi sekitar 4-5 hari pertama dalam retret.

Di bangku akademik, Kitab Suci didekati secara ilmiah dengan ilmu tafsir (hermeneutika); sementara dalam retret Kitab Suci mesti didekati dengan sikap hati yang siap dan dengan rendah hati mendengarkan.  Sabda yang direnungkan dibaca dalam konteks personal yang merenungkannya: Tuhan hendak bicara apa secara pribadi denganku?  Ada unsur mencecap-cecap Sabda dan merasa-rasakannya.  Tentu saja akal-budi juga tetap digunakan.  Demikian pun pengetahuan memadai mengenai Kitab Suci juga akan sangat bermanfaat.  Tapi yang perlu diingat ialah bahwa Sabda yang ku-renungkan itu pertama-tama ditujukan kepada-ku secara pribadi karena Tuhan menjumpai-ku secara pribadi di sini dan saat ini.

Syukurlah, dengan berjalannya waktu dan sikap hati yang lebih pasrah (sumeleh – Jawa), Mr. Liu bisa lebih hening-wening.  3 hari terakhir, ia relatif lebih mengalami bagaimana perjumpaan pribadi dengan Tuhan; dalam lubuk hatinya, dalam sejarah hidupnya.  Ia akhirnya sadar kepandaiannya membuat tafsir ternyata bisa menjadi cara halus menghindari Tuhan.  Ia takut kalau Tuhan akan menguak sesuatu yang lama disembunyikannya dengan rapi.  Ketika hatinya menjadi lebih tenang dan pasrah, dan ketika yang disembunyikannya juga dengan rela ditunjukkannya kepada Tuhan, sungguh di luar dugaannya, Tuhan menatapnya penuh kasih tanpa cacian, tanpa tuduhan.  Seperti Simon Petrus, Mr. Liu mengalami tatapan mata yang penuh belas kasih itu, dan pergi keluar dengan menangis.

 

LANGKAH-LANGKAH SEDERHANA

Ada banyak cara yang bisa dicoba untuk membiarkan diri semakin akrab dengan Kitab Suci.  Untuk membuat diri kita semakin siap-sedia mendengarkan sapaan Tuhan secara pribadi dengan rendah hati.  Asal dengan jujur dan tulus dicari, pelan-pelan kita akan menemukan cara mana yang lebih cocok untuk kita.

Berikut ini salah satu contoh merenungkan Sabda.  Saya coba ringkas dan bahasakan ulang dari apa yang biasa disampaikan Rm. Armand M. Nigro, SJ.  Misalnya, kita hendak merenungkan Mazmur 23 (Tuhan, Gembalaku yang baik).

Jadilah hening! Dengan sadar, kubuat diri menjadi tenang.  Misalnya menyadari irama pernafasan.  Hening. Bening. Kuasa dari berada di hadirat Tuhan.  BersamaNya dan hanya bagi Dia.  Di sini, saat ini.  

Rasakan kerinduan jiwa!  Kurasakan jiwaku yang haus akan Dia.  Atau kumohon agar hatiku mengalami kerinduan mendalam akan Tuhan.

Dengarkan Dia!  Kubaca dengan tenang Mazmur tadi.  Kudengarkan sabdaNya dengan iman.  Penuh hormat dan kepercayaan.  Aku mendengarkan dengan penuh rasa syukur dan damai, tanpa menganalisis.  tak perlu kuatir mengenai konsekuensinya.  Tak usah terlalu menyibukkan pikiran dengan konklusi ataupun solusi.  Bersikap bersahaja seperti seorang bocah di pangkuan ayahnya, mendengarkan dengan penuh minat dongengnya.

Biarkan Tuhan menyertaimu!  Biarkan Tuhan bertindak apa saja atas diriku; mencintaiku, menghiburku, menguatkanku.  Apa pun itu biarkan Tuhan bertindak atas diriku.  Aku percayakan diriku sepenuhnya kepadaNya.

Biarkan hati menanggapi!  Ketika hatiku tergerak untuk menanggapi, aku pun dengan merdeka merespon.  Semakin jujur-asli semakin baik.  Spontan.  Kuutarakan apa yang ada dalam hatiku sebagaimana adanya, bahkan kalau aku hendak mengeluh atau protes.  Kalau tidak tahu apa yang hendak disampaikan, percaya saja bahwa Roh Kudus berdoa dalam lubuk hatiku.  Sekedar mengulang-ulang nama Yesus seirama nafas pun sudah merupakan doa yang baik.

Asal kita tulus jujur dalam pencarian, Roh yang sama pernah membimbing para penulis Kitab Suci untuk menuliskan Sabda juga akan membimbing kita.  Yang pasti, perjumpaan dengan Tuhan melalui permenungan Kitab Suci senantiasa transformatif.  Ada perubahan (transformasi) dari dalam, pelan tapi pasti.

 

PENUTUP

Kita tahu siapa Agustinus di awal tulisan ini.  Santo Agustinus (354-430), salah satu Pujangga besar dalam sejarah Gereja.  Ia tuturkan dengan jujur dan indah kisah pertobatannya dalam Confessiones.  Tuhan mempergunakan ayat Kitab Suci yang tanpa sengaja ia temukan untuk mempertobatkan dirinya.  Ia dibaptis, melayani Gereja sebagai seorang pengajar dan gembala yang cemerlang.

Tolle lege! Ambil dan bacalah!  Kiranya seruan yang sama ini juga ditujukan kepada kita semua, terlebih pada Bulan Kitab Suci ini.  Dalam bulan ini bersama Sri Paus kita berdoa agar Sada Tuhan semakin dimengerti, diterima dan dihayati sebagai sumber kemerdekaan dan kegembiraan yang sejati, Amin.

(Oleh: Romo A. Toto Subagya, SJ, Rubrik Kerasulan Doa, Majalah Utusan No. 09, Tahun ke-59, September 2009)

Artikel Serupa

Featured Image Fallback

Reboan – Refleksi Iman AREK KAJ

/

Seksi Komsos

Seringkali kita lebih mengandalkan kemampuan diri sendiri dan kehendak manusia, kita dapat  terjebak pada kesombongan dan keangkuhan diri. Melupakan kesatuan dengan sang pokok anggur sejati, ...
SELENGKAPNYA
Featured Image Fallback

Kerangka Acuan Gerakan Tahun Syukur KAJ 2015

/

Seksi Komsos

PENGANTAR Tahun 2015 adalah tahun terakhir preiode implementasi Arah Dasar Pastoral (Ardaspas) KAJ 2011-2015.  Setelah sosialisasi Ardaspas KAJ pada tahun 2011, di tahun-tahun berikutnya umat ...
SELENGKAPNYA