You are here : Home Kalangan Orang Beriman Menikah Dengan Ipar, Bolehkah?

Menikah Dengan Ipar, Bolehkah?

Apakah Gereja mengizinkan seseorang menikah dengan saudara/saudari pasangan yang sudah meninggal (ipar)?  Apa ajaran Gereja mengenai menikah dengan kerabat?

Secara singkat, Gereja memang tidak melarang orang menikah dengan saudara/saudari iparnya kalau pasangannya sudah meninggal.  Ajaran Gereka mengenai menikah dengan kerabat tertuang dalam beberapa Kanon dalam Kitab Hukum Kanonik.

Kanon 1091 Pasal 1 mengatakan bahwa perkawinan antar saudara kandung dalam garis keturunan langsung, baik ke atas maupun ke bawah, adalah tidak sah.  Yang dimaksud dengan garis keturunan langsung adalah hubungan antara orang-orang yang diturunkan langsung dari satu ibu yang sama.  Ini berarti bahwa orang tidak boleh menikah kakek/nenek, orangtua, anak, cucu, dan seterusnya.  Ini sekedar gambaran.

Paragraf 2 dari Kanon yang sama berbicara tentang menikah dengan kerabat dalam garis keturunan menyamping, yakni orang-orang yang diturunkan dari leluhur yang sama.  Kanon ini menegaskan bahwa perkawinan antar-kerabat sampai dengan hubungan tingkat ke-4 adalah tidak sah.  Dalam praktik, ini berarti orang tidak dapat menikahi saudara/saudari, paman/tante, keponakan, atau sepupu.  Tetapi orang boleh menikah dengan anak dari sepupu pertama atau sepupu kedua.  Kitab Hubukum Kanonik 1917 juga melarang perkawinan dengan sepupu kedua.

Sehubungan dengan menikahi ipar, marilah kita kembali kepada Kitab Suci sebelum melihat apa yang dikatakan oleh hukum Gereja yang sekarang.  Kita ingat bahwa orang-orang Saduki, yang tidak percaya akan kebangkitan, sekali waktu datang kepada Yesus dengan suatu pertanyaan untuk mencobai Dia, "Guru, Musa mengatakan bahwa jika seorang suami mati tanpa meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan istrinya itu dan memberikan keturunan bagi saudaranya itu. (Mat 22:24).  Acuan kepada Musa ini tertulis dalam Kitab Ulangan 25:5-6, yang mengizinkan seorang janda menikah dengan saudara dari suaminya yang sudah meninggal kalau suami itu tidak meninggalkan anak, untuk melestarikan keturunan keluarga dan nama saudara yang meninggal.  Dengan demikian, Perjanjian Lama mengizinkan orang menikahi iparnya.

Dalam Perjanjian Baru, Yohanes Pembaptis menegur Raja Herodes bahwa tidaklah dibenarkan ia menikahi istri saudaranya Filipus, yakni iparnya (dk. Mat 14:4).  Tetapi alasan keberatan Yohanes adalah kenyataan bahwa Herodes adalah paman Herodias dan perkawinan pada tingkat hubungan ini dilarang.

Masuk ke masa sekarang, Kanon 1092 melarang menikahi ipar hanya dalam garis keturunan langsung, yakni ipar dari satu ibu atau satu ayah, anak tiri, dan seterusnya.  Jadi, menikahi saudara/saudari ipar diizinkan.  Dalam draft awal Kitab Hukum Kanonik, Kanon ini sebenarnya melarang orang menikahi saudara/saudari ipar, tetapi kebanyakan konsultor sepakat bahwa kalau mereka itu anak-anak dari perkawinan pertama, lebih bai bagi anak-anak kalau orangtua yang masih hidup itu menikahi tante atau paman.  Hal ini bisa dimengerti, karena tante atau paman dikenal dengan baik oleh anak-anak dan ini membuat peralihan itu lebih mudah.  Tetapi Gereja-Gereja Katolik Timur tetap tidak mengizinkan perkawinan ini (bdk KHK Gereja Timur, Kanon 809).

Akhirnya, Gereja memiliki kaidah-kaidah sehubungan dengan perkawinan antar-orang yang mempunyai hubungan keluarga berkat adopsi.  Kanon 1094 melarang anak angkat menikah dengan orangtua angkat atau kakek/nenek atau siapa pun juga dalam garis keturunan langsung.  Kanon ini juga melarang anak angkat menikah dengan saudara/saudari dalam keluarga yang mengangkatnya, tetapi tidak melarang ia menikah dengan tante atau paman, dan keponakan.

Kalau sebelum atau sesudah perkawinan diketahui bahwa pasangan berada dalam tingkat hubungan yang dilarang, mereka dapat minta kepada Uskup dispensasi dari halangan perkawinan.  Tergantung pada kedekatan tingkat hubungan, tidak mustahil akan diberikan untuk menikahi saudara kandung dalam garis keturunan langsung - yakni menikahi orangtua atau anak, dan seterusnya, atau saudara/saudari.

(Sumber: Ketika Iman Membutuhkan Jawaban Buku 2, Rm. John Fladder, Dioma, 2010)