You are here : Home Artikel Romo Menyapa Tepuk Tangan Saat Komuni Kudus Dibagikan

Tepuk Tangan Saat Komuni Kudus Dibagikan

Di bawah ini adalah surat yang dilayangkan oleh Romo Frans Magnis Suseno, SJ dan terbit di Majalah Hidup mengenai tepuk tangan umat saat Komuni Kudus dibagikan : Perkenankan saya berbagi grundelan dengan para pembaca terhormat. Malam Natal saya konselebrasi dalam Misa di salah satu Gereja Paroki. Perhiasannya bagus, liturgi pantas, khotbah menyentuh, koor menyanyi indah, umat bersemangat. Hanya ini : waktu Komuni Suci dibagikan, seorang bapak dari koor dengan suara penyanyi professional, menyanyi solo, sangat ekspresif. Sesudah selesai, umat penuh semangat bertepuk tangan. Pada saat komuni dibagi!

Saya amat terkejut. Kok bisa! Komuni adalah peristiwa paling sakral bagi umat Katolik, bahkah ritus paling sakral dari semua agama. Pada saat itu, seluruh perhatian umat seharusnya seratus persen terpusat hanya pada satu ini: Yesus, Allah beserta kita yang sedang datang. Masak pada saat suci itu umat membawa diri bak penonton sinetron! (Pastor paroki kemudian menceritakan bahwa ia sudah memperingatkan umat tetapi tanpa hasil, dan bahwa pernah waktu itu mau memberikan Hosti Suci kepada seorang umat, dia itu bertepuk tangan dulu).

Apa umat belum pernah membaca I Korintus 11:29? Terus terang, andaikata saya yang memimpin upacara, saya akan langsung menghentikan seluruh pembagian Komuni dan mengajak umat berdoa Doa Tobat.

Saya mengalami tepuk tangan seperti itu juga pada Perayaan Ekaristi lain. Suatu kesesatan penghayatan yang memalukan apabila orang tidak lagi bisa membedakan antara ibadat yang diarahkan kepada Allah dan acara hiburan! Apakah dilupakan bahwa hormat semua pemeran dalam Ekaristi – pastor, pengkhotbah, koor, umat, dll terletak dalam pelayanan tanpa pamrih, demi kemuliaan Tuhan, yang mereka berikan? Apakah koor-koor kita lupa bahwa tugas satu-satunya mereka adalah membuka hati umat bagi Tuhan dengan keindahan lagu-lagu mereka. Tentu tepuk tangan pada akhir Misa, pada saat pastor menyatakan terima kasih adalah tepat dan sesuai.

Sebagai catatan: Lagu solo sebaiknya hanya diadakan pada akhir ibadat. Hal itu sepenuhnya juga berlaku bagi Ekaristi perkawinan. Kalau perkawinan ditempatkan dalam Ekaristi, seluruh perayaan harus berupa pujaan terhadap Allah dan bukan pemanis para mempelai. Kalau iman kita pada Ekaristi mau credible, kita harus belajar kembali menunjukkan sikap hormat terhadap Allah yang hadir.

Franz Magniz-Suseno SJ
Johar Baru, Jakarta Pusat.

 


Surat berikut ini adalah jawaban dari Romo Frans Magnis Suseno, SJ menanggapi banyaknya komentar umat terhadap surat pertamanya (di atas):

Surat saya tentu pendapat pribadi. Sejauh saya tahu, tahu ada aturan Gereja Katolik Indonesia, dan apakah ada aturan dari Vatikan, saya kurang ahli (dan saya lupa apakah dalam Surat +/- 8 tahun lalu tentang liturgi dari Roma yang sangat tegas, hal tepuk tangan disebut; yang mestinya tahu Rm. Dr. Martosujito Pr, dosen di FTW, Fakultas Teologi U. Sanata Dharma di Yogya).

Khususnya yang menyangkut bahwa saya akan langsung menghentikan pembagian Komuni (jadi dalam misa itu tidak akan ada pembagian Komuni kecuali yang sudah menerimanya) adalah sikap saya pribadi. Tidak harus orang bertindak sekeras itu.

Akan tetapi jelas juga bahwa yang saya tulis tentang sakralitas saat komuni adalah 100% ajaran dan keyakinan Gereja Katolik. Begitu pula bahwa kadang-kadang diizinkan tepuk tangan di tengah Misa, apalagi waktu Komuni, jelas secara objektif sebuah penghinaan Sakramen - "objektif": umat tidak sadar dan karena itu memang tidak sadar bahwa ia menghina dan karena itu juga bukan dosa yang harus diakukan. Karena itulah saya akan menghentikan Komuni. Supaya umat menjadi sadar. Saya tahu kebetulan bahwa Paus kita secara serius mempertimbangkan memindahkan "salam damai" ke akhir misa karena merasa bahwa keributan itu - orang tidak hanya berjabat tangan, melainkan jalan-jalan - mengganggu konsentrasi pada Komuni di mana kita - umat - seharusnya berada dalam keadaan doa batin siap-siap menyambut Tuhan Yesus.

Jadi meskipun dari Uskup setempat (Romo Kardinal) tidak ada instruksi, saya anggap yang saya tulis sesuai dengan semangat Gereja. Tepuk tangan di tengah Misa, apalagi waktu Komuni (atau waktu Doa Syukur Agung), amat sangat tidak tepat, dan sebetulnya memberi kesaksian negatif, kesaksian bahwa umat sebenarnya tidak percaya/sadar bahwa Tuhan ada di antara mereka. Bahkan khotbah yang sangat bagus pun tidak disambut dengan tepuk tangan (meskipun dalam keadaan sangat khusus boleh ada kekecualian). Saya - dan juga Paus - sangat khawatir kalau Misa merosot menjadi semacam "mari kita asyik bertemu". Misa itu rahasia di mana kita ditarik ke dalam keilahian Tuhan Yesus, dan itu memang mempersatukan kita: satu roti satu Kristus satu umat, sehingga segi keumatan memang penting juga dan hakiki, tetapi tidak dengan menyingkirkan hal luar biasa - adakah agama lain yang punya itu - bahwa Tuhan kita datang harafiah kepada kita.

Barangkali masalahnya hanya bahwa kita sepertinya tak pernah bisa serius, selalu bersemangat "biar merasa enak saja".

Semoga tulisan ini membantu.

Salam
Franz Magnis-Suseno SJ